Senin, 26 September 2011

Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional


BAB III
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL
DENGAN HUKUM NASIONAL

          Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dapat dilihat dari dua segi, yakni segi teoritis dan segi praktis. Kedua segi ini terlihat pada persoalan-persoalan berikut:[56]
a)   persoalan ilmu hukum tentang hubungan di antara kedua sistem hukum; dan
b)  persoalan praktik, yakni mengenai pengaruh dari masing-masing sistem hukum terhadap yang lainnya.
          Persoalan yang pertama (a) persoalan teoritis, yaitu hubungan hukum internasional dengan hukum nasional sebagai  bagian dari sistem hukum pada umumnya, sebagai hukum yang efektif dan benar-benar hidup dalam kenyataan.[57] Yang kedua (b) persoalan praktik, yang dapat kita jumpai pada, misalnya, apakah perjanjian atau kebiasaan internasional berlaku seluruhnya dalam hukum nasional? Apakah ada pengaruh hukum nasional terhadap hukum internasional?.[58] Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam praktik berbagai negara.




A.      Teori-teori hubungan hukum internasional dengan hukum nasional
     
          Teori-teori tentang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional berkaitan erat dengan pandangan mengenai dasar keberadaan dan berlakunya hukum internasional.
          Ada dua teori mengenai keberadaan dan berlakunya hukum internasional, yakni teori voluntaris dan obyektivis. Menurut voluntarisme ada dan berlakunya hukum internasional karena kemauan negara. Sebaliknya, menurut obyektivist ada dan berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan negara.[59]
          Perbedaan pandangan ini menimbulkan akibat yang berbeda pula. Pendapat pertama, membawa akibat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang berdampingan dan terpisah. Sedangkan yang kedua, beranggapan bahwa keduanya merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Akibat berikutnya, adalah persoalan peringkat di antara kedua perangkat hukum itu.[60]
          Dengan demikian, maka persoalan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional menimbulkan dua teori. Teori-teori tersebut adalah teori monisme, dan dualisme.
          Menurut teori dualisme, hukum nasional dan hukum internasional merupakan sistem yang terpisah. Keduanya,  tidak  memiliki  hubungan  saling  mengatasi  dan membawahi. Keduanya mengatur hal yang sama, yang satu tidak mendasari yang lain.[61] Pendukung utama dari teori ini adalah Triepel dan Anzilotti, dua orang penulis positivist. Para penganut positivist memandang mengikatnya hukum internasional didasarkan pada kemauan negara. Oleh karena itu, wajar jika mereka memandang bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri.[62]
          Hukum internasional menurut teori dualisme, secara mendasar berbeda dengan hukum nasional dari beberapa negara. Perbedaan tersebut adalah:[63]

·       Pertama, berkaitan dengan sumber  hukum  internasional  dan  hukum  nasional. Hukum nasional bersumber pada kebiasaan yang tumbuh dalam batas wilayah negara tersebut dan undang-undang yang dibuat oleh pengundang-undang. Hukum internasional bersumber pada kebiasaan yang tumbuh di antara negara-negara dan perjanjian yang membentuk hukum yang ditandatangani oleh negara-negara itu;
·       Kedua, berkaitan dengan hubungan yang diatur oleh kedua sistem hukum tersebut. Hukum nasional mengatur hubungan orang perorangan di bawah kekuasaan suatu negara dan hubungan negara dengan orang perorangan. Di lain pihak hukum internasional mengatur hubungan antar negara;
·       Ketiga, berkaitan dengan muatan dari kedua hukum itu. Hukum nasional adalah hukum mengenai kedaulatan negara, sedangkan hukum internasional adalah hukum antar negara-negara berdaulat ~ bukan hukum yang mengatasi negara-negara itu, karenanya merupakan hukum yang lemah.

          Alasan-alasan yang agak berbeda dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, para penganut aliran dualisme mengemukakan alasan-alasan: (1) sumber hukum kedua perangkat hukum itu berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama negara-negara, (2) subyek hukum keduanya berlainan. Subyek hukum dari hukum nasional adalah orang perorangan baik dalam hukum perdata maupun publik, sedangkan hukum internasional subyeknya adalah negara; (3) strukturnya berbeda. Lembaga-lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum, seperti mahkamah dan organ-organ eksekutif   di dalam kenyataannya hanya ada di dalam lingkungan hukum nasional. Dan, daya berlakunya atau keabsahan kaidah-kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan hukum internasional.[64]
          Pandangan dualisme tersebut menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:[65]

1. Kaidah-kaidah atau perangkat-perangkat hukum  yang satu tak mungkin bersumber atau berdasar pada kaidah yang lain. Jadi, tidak ada persoalan hirarchi antara kedua sistem hukum tersebut, karena kedua sistem hukum tersebut pada hakikatnya berlaian, tidak saling tergantung, dan yang satu terlepas dari yang lain.
2. Tak mungkin ada pertentangan antara kedua sistem hukum tersebut. Yang mungkin hanya penunjukan (renvoi).
3. Agar dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional, hukum internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional.
         
Sekalipun menentang teori dualisme, Sir Gerald Fizmaurice juga berpendapat bahwa sebagai sistem hukum, hukum internasional dan hukum nasional tidak bertentangan. Ini, karena lingkungan belakunya berbeda. Masing-masing menempati kedudukan tertinggi di bidangnya. Namun, hukum internasional dan hukum nasional bisa menimbulkan pertentangan kewajiban. Ketakmampuan negara bertindak  dalam bidang dalam negeri sebagaimana diharuskan hukum internasional tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum nasional tetapi hanya menimbulkan tanggung jawab negara di bidang internasional.[66]
          Alasan-alasan yang dikemukakan para penganut teori dualisme memiliki kelemahan-kelemahan, yakni:[67]

a) Pendapat yang menyatakan sumber hukum adalah kemauan negara tidak tepat. Ada dan berlakunya hukum terlepas dari kemauan negara. Yang jelas hukum itu ada dan berlaku karena diperlukan oleh kebutuhan manusia yang beradab. Tanpa hukum, kehidupan yang teratur tidak mungkin terwujud. Hal ini berlaku pula dalam hukum internasional. Jadi, adanya hukum hanya merupakan prasyarat bagi adanya kehidupan manusia yang teratur terlepas dari keinginan para subyek hukum itu untuk terikat.
b)  Berlainannya subyek hukum antara hukum internasional dengan hukum nasional juga tidak tepat. Sebab, dalam satu lingkungan hukum pun subyeknya bisa saja berlainan. Di dalam hukum nasional misalnya, ada perbedaan antara subyek hukum di bidang hukum perdata dan hukum publik. Juga, tidak tepat menyatakan bahwa subyek hukum internasional adalah negara. Sebab, selain negara, orang perorangan pun pada masa sekarang bisa menjadi subyek hukum.
c) Perbedaan berdasarkan struktur juga tidak tepat. Sebab, persoalan struktur hanya merupakan persoalan gradual bukan hakiki. Perbedaan ini hanya menunjukkan gejala dari tahap integrasi masyarakat nasional dan internasional. Sebagai masyarakat, masyarakat nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mayarakat internasional. Oleh karena itu, bentuk-bentuk organisasinya pun lebih bekembang dan lebih sempurna. 
d) Pemisahan mutlak hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat menjelaskan dengan memuaskan kenyataan dalam praktik, yakni hukum nasional tunduk atau sesuai dengan hukum internasional. Adanya hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional bukan merupakan bukti kurang efektifnya hukum internasional.

          Selain para penulis positivist, teori dualisme ini didukung pula oleh para penulis lainnya dan secara tersirat juga oleh para hakim pengadilan. Namun, berbeda dengan alasan yang dikemukakan para positivist mereka terutama memandang adanya perbedaan empiris dalam sumber formal kedua sistem hukum tersebut. Di satu pihak, hukum internasional sebagian besar terdiri dari hukum kebiasaan dan traktat; dan, hukum nasional di pihak lain, terutama terdiri dari hukum buatan hakim (judge made law) dan undang-undang.[68]
          Aliran kedua, yaitu aliran monisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan yang saling terkait dari satu bentuk sistem hukum yang lebih besar.[69] Menurut penganut teori monisme, semua hukum merupakan satu kesatuan tunggal yang mengikat negara-negara, orang-perorangan ataupun kesatuan-kesatuan bukan negara.[70]
          Aliran ini menolak semua alasan yang dikemukakan penganut aliran dualisme. Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk menyangkalnya. Pertama, bahwa  kedua sistem hukum tersebut mengatur tingkah laku orang-perorangan. Bedanya, hanya pada lingkup tingkah laku yang diatur oleh kedua sistem hukum tersebut. Kedua, paham monisme menegaskan bahwa lingkup kedua bidang hukum itu terutama adalah subyek hukum terlepas dari kehendak mereka. Ketiga, kedua sistem hukum itu merupakan perwujudan dari satu konsepsi tentang hukum.[71]

          Akibat  dari pandangan paham monisme tersebut, adalah adanya hubungan peringkat (hirarkhi) antara kedua perangkat hukum tersebut. Dalam kaitan dengan persoalan peringkat ini, aliran monisme dapat dibedakan atas aliran monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional (monisme dengan primat hukum nasional) dan aliran monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional (monisme dengan primat hukum internasional).
          Menurut paham monisme dengan pengutamaan hukum nasional, dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional. Sebaliknya, menurut paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional, yang utama adalah hukum internasional.
          Dalam pandangan paham monisme dengan pengutamaan (primat) pada hukum nasional, hukum internasional tidak lain dari kelanjutan hukum nasional, atau hukum nasional untuk urusan luar negeri (Auszeres Staatsrecht). Pandangan ini pada hakikatnya memandang bahwa hukum internasional bersumber pada hukum nasional.
          Untuk mendukung teorinya, para pemuka aliran ini (antara lain Max Wenzel dari mazhab Bon), mengemukakan alasan-alsan sebagai berikut:[72]

1. tak ada satu organisasi pun di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia;
2. dasar dari hukum internasional terletak pada wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian internasional. Jadi, merupakan wewenang konstitusional.

Paham ini memiliki kelemahan-kelemhan, yakni:[73]
1. Terlalu memandang hukum sebagai hukum yang tertulis saja, sehingga melihat hukum internasional hanya pada hukum yang bersumber pada perjanjian internasional. Pandangan ini, jelas tidak benar. 
2. Pendirian yang mengutamakan hukum nasional daripada hukum internasional merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional yang mengikat negara-negara. Karena menggantungkan berlakunya hukum internasional pada hukum nasional sama saja artinya dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara. Keterikatan ini bisa ditiadakan  jika negara tersebut menarik kehendaknya untuk terikat pada hukum internasional. Dalam hal ini paham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional memiliki simpulan yang tidak jauh berbeda dengan paham dualisme.
          Sebaliknya, paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional menyatakan bahwa hukum internasional memiliki peringkat yang lebih tinggi daripada hukum nasional. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional, dan kekuatan mengikatnya pada hakikatnya berdasarkan pendelegasian wewenang dari hukum intrnasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross) dan disokong oleh aliran yang berpengaruh di Perancis (Duguit, Scelle dan Burquin). Teori-teori   ini  pun  tidak  luput dari kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahannya adalah:[74]
1. Pandangan yang menyatakan bahwa hukum nasional tergantung pada hukum internasional sama saja dengan menyatakan bahwa hukum internasional lebih dahulu ada dari pada hukum nasional. Ini tidak sesuai dengan kenyataan. Justeru sebaliknya. Dalam  sejarah hukum nasional lebih dahulu ada daripada hukum internasional.
2. Kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari hukum internasional atau merupakan derivasi daripadanya, juga tidak benar. Kenyataannya, wewenang suatu negara sepenuhnya termasuk wewenang hukum nasional.
          Dengan demikian, maka baik paham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional maupun paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional keduanya tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Pandangan dualisme yang menyatakan bahwa kedua perangkat hukum tersebut sama sekali terpisah, tidak masuk akal, karena pada hakikatnya menyangkal adanya hukum internasional. Dan paham monisme yang mengaitkan tunduknya negara pada hukum internasional dengan persoalan hubungan subordinasi dalam arti Struktural organis juga tidak masuk akal, karena tidak sesuai dengan kenyataan.[75]



B. Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dalam praktik negara-negara

          Tinjauan teoritis hubungan hukum nasional dengan hukum internasional ternyata tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu, kita sebaiknya melepasakan diri dari persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, dan melihatnya dari sudut praktik.

          Didalam praktik, banyak contoh yang menunjukkan bahwa hukum internasional memperlihatkan  kewibawaannya  terhadap  hukum  internasional. Pada umumnya, hukum internasional itu ditaati. Kepatuhan negara terhadap hukum internasional karena untuk mengatur hubungan negara diperlukan hukum internasional.[76]
          Memang,   dalam    kenyataan   sehari-hari   acap terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional. Namun, dibandingkan dengan penaatan terhadap keseluruhan hukum internasional, maka pelanggaran tersebut jauh lebih rendah tingkat keacapannya dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi.
          Dalam hukum humaniter internasional misalnya, acap terjadi pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran itu berupa pemboman desa-desa atau kota yang tak dipertahankan, serangan terhadap penduduk sipil, perlakuan tidak baik terhadap tawanan perang, perkosaan, penyiksaan dan lain-lain tetapi kita harus melihatnya secara keseluruhan. Dengan mempertimbangkan semua kasus bahwa jiwa manusia bisa diselamatkan karena para petempur (combatant) masih memiliki rasa kemanusiaan sesuai dengan hukum humaniter.[77]

          Hal-hal lain yang memberikan petunjuk ditaatinya hukum internasional pada umumnya, seperti ketentuan mengenai perbatasan, perjanjian internasional, perlakuan terhadap orang asing dan hak miliknya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa aturan-aturan hukum internasional mengenai hal tersebut tidak pernah dilnggar. Pelanggaran sesekali terjadi. Oleh karena itu, pelanggaran ini lebih tepat dikatakan sebagai pengecualian atas penaatan hukum yang pada umumnya dipatuhi.[78]
          Tegasnya,  hukum internasional pada umumnya ditaati oleh masyarakat internasional. Dalam menerapkan hukum internasional dalam lingkup nasional tersebut acap dilakukan penyeusian-penyesuain dengan hukum nasional. Penyesuaian-penyesuaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan  berbagai macam teori. Teori-teori tersebut adalah, teori koordinasi, inkorporasi, transformasi, delegasi, harmonisasi dan filterisasi. Berdasarkan teori-teori ini, hukum internasional tidak perlu dipertentangkan dengan hukum nasional, tidak perlu dipersoalkan mengenai pringkat, dan tidak perlu dipisahkan secara tegas satu dengan lainnya.[79]

          Teori koordinasi dapat disimpulkan dari pendapat Fitzmaurice dan Rouseau. Menurut Fitzmaurice, hukum internasional dan hukum nasional tidak bertentangan, karena keduanya berlaku dalam lingkup yang berbeda. Yang ada, hanyalah pertentangan kewajiban. Kewajiban negara dalam bidang nasional untuk bertindak dengan cara yang diharuskan oleh hukum internasional. Tidak dilaksanakannya kewajiban ini tidak berakibat tidak sahnya hukum nasional, tetapi hanya berupa tanggung jawab negara di bidang internasional. Sebagai hukum koordinasi, hukum internasional menurut Rousseau tidak menetapkan pencabutan sertamerta hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional. Para penulis ini, mengutamakan praktik daripada teori.[80]
          Teori transformasi menekankan segi perubahan dan penyesuaian (baik bentuk maupun isinya) hukum internasional dengan kondisi hukum nasional suatu negara. Berdasarkan teori ini, hukum internasional itu berlaku jika sudah dialihkan ke dalam hukum nasional. Pengalihan ini dilakukan dengan cara pengundangan hukum internasional tersebut ke dalam hukum nasional. Dengan cara ini, hukum internasional akan berlaku efektif di suatu negara.
          Menurut teori delegasi negara memiliki hak untuk menerima keberadaan hukum intenasional. Negara diberi wewenang untuk menerima dan menolaknya. Teori harmonisasi menekankan pada segi-segi keseimbangan atau keserasian antara hukum nasional dengan hukum internasional. Dengan pendekatan ini hukum internasional dan hukum nasional tetap terpelihara kewibawaannya. Teori filterisasi tetap mengakui keberadaan hukum internasional tetapi di dalam pelaksanaannya dilakukan penyaringan guna disesuaikan dengan kepentingan nasional negara-negara bersangkutan.[81]
          Hukum internasional, merupakan bagian dari hukum nasional. Demikian menurut teori inkorporasi. Selanjutnya, bagaimana penerapan hukum internasional pada tataran nasional, akan diuraikan dalam praktik yang diterapkan diberbagai negara.

1. Inggris

Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional


BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HUKUM INTERNASIONAL

          Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antar negara telah tumbuh hanya dalam masa empat ratus tahun terakhir. Biasanya diambil sebagai awal lahirnya hukum internasional modern, yaitu pada saat ditandanganinya Perjanjian Perdamaian West Phalia, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa, tahun 1648.[29]
          Akan tetapi, jika hukum internasional diartikan dalam arti luas yang mencakup pula hukum bangsa-bangsa (law of nations), maka hukum internasional sangat tua usianya. Sam Suhaedi Admawira menyebutkan bahwa sejak tahun 5000 SM, sebelum terbentuknya sistem kenegaraan Romawi  (tahun 117) dan Yunani (431 SM) di lembah Tigris dan Furat telah berdiri Kerajaan Sumeria. Pada waktu bersamaan di sekitar Lembah Nil sudah berdiri negara-negara kota, akan tetapi baru bisa dipersatukan oleh Menes pada tahun 3200 SM. Negara-negara kota yang terkenal dari segi hukum bangsa-bangsa adalah Uma dan Lagash. Pada tahun 3100 SM di antara kedua kerajaan ini diadakan perjanjian perdamaian, yang pada masa sekarang dapat disebut sebagai perjanjian internasional. Perjanjian lainnya, dibuat antara Raja Rattusilish III dari Kerajaan Hittite dengan Raja Ramses II dari Kerajaan Mesir. Perjanjian ini berisi kesepakatan tentang pemeliharaan perdamaian yang kekal, penghapusan perang, dan persekutuan.[30]
          Di lingkungan kebudayaan India Kuno terdapat kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Kerajaan-kerajaan di India pada masa beberapa abad sebelum Masehi sudah mengadakan hubungan satu dengan lainnya. Adat kebiasaan yang mengatur hubungan di antara para raja itu disebut Desa Dharma. Gautamasutra (abad VI SM) merupakan salah satu karya tertua di bidang hukum, berisi hukum kerajaan, hukum kasta dan hukum keluarga. Undang-undang Manu (abad V SM) juga menyebut hukum kerajaan. Hukum bangsa-bangsa di zaman India Kuno juga sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau kerajaan demikian, mengatur ketentuan kedudukan dan hak-hak istimewa diplomat, perjanjian, hak-hak dan kewajiban raja, dan hukum perang.[31]
          Lingkungan kebudayaan lain yang telah mengenal semacam hukum bangsa-bangsa adalah kebudayaan Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama mereka sudah dikenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian, perlakuan orang asing dan cara melakukan perang. Hanya saja,  dalam yang disebut terakhir ini, dalam hukum Yahudi dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan terhadap mereka yang digolongkan sebagai musuh bebuyutan.
          Dalam kebudayaan Yunani terdapat aturan-aturan yang melindugi bentara (combattant) di dalam perang. Menurut hukum perang pada waktu itu para bentara tidak boleh diganggu gugat, perang harus diumumkan lebih dahulu, dan para tawanan dapat dijadikan budak. Masyarakat Yunani juga sudah mengenal lembaga perwasitan, dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya, menggunakan wakil-wakil dagang yang disebut konsul. Sumbangan paling berharga yang diberikan kebudayaan Yunani adalah konsep hukum yang bersifat mutlak dan mendunia yang berasal dari akal manusia. Konsep hukum alam yang dikembangkan para filsuf pada abad III M. diteruskan ke Roma.  Dan, dari Roma diteruskan ke suluruh dunia. Hukum alam ini memegang peranan penting dalam perkembangan hukum internasional, yang setelah terdesak oleh ajaran positivist bangkit kembali setelah Perang Dunia II dalam wujud asas-asas hukum umum.
          Pada masa imperium Romawi hukum internasional tidak mengalami perkembangan pesat. Ini disebabkan, karena pada masa itu masyarakat dunia merupakan suatu imperium, yang menguasai seluruh wilayah di dalam lingkungan imperium Romawi. Akibatnya, tak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan tentunya dengan hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan itu. Terhambatnya perkembangan hukum internasional pada masa ini, disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu :
1. kesatuan duniawi dan rohani sebagian Eropa di bawah imperium Romawi Suci;
2. struktur feodal Eropa Barat yang terikat pada suatu jenjangwibawa yang menghambat timbulnya negara-negara merdeka dan mencegah negara-negara untuk memperoleh sifat unitaris dan wibawa negara-negara modern.

          Sekalipun demikian, hukum Romawi telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan hukum internasional. Istilah ius gentium yang berasal dari bahasa Latin merupakan sumbangan hukum Romawi.[32] Konsep-konsep mengenai occupatio, servituut, bonafides, dari hukum perdata, dan asas pacta sunt servanda berasal dari hukum atau kebudayaan Romawi.[33] Jadi, sumbangan Romawi terhadap hukum internasional tidak terletak pada ketentuan-ketentuan hukumnya, tetapi terletak pada konsep-konsep hukumnya, yang menampilkan analogi dan sendi-sendi yang dapat menyesuikan diri secara langsung dengan pengaturan hubungan-hubungan antara negara-negara modern.
          Pada abad pertengahan terdapat dua lingkungan kebudayaan di luar Eropa Barat, yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium, karena posisinya yang lemah mempraktikkan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya, yang merupakan sumbangan terpenting dari kekaisaran Byzantium.
          Sumbangan terpenting yang diberikan Dunia Islam adalah di bidang hukum perang. Perang menurut konsep Islam dibenarkan untuk membela diri, menghilangkan tindakan sewenang-wenang, dan menghilangkan tindakan fitnah. Selain itu, dalam Islam telah diperkenalkan perlakuan yang baik terhdap tawanan perang (Q.II, 190, 191). Tawanan perang dapat dibebaskan baik melalui pertukaran, perkawinan, atau karena memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang diberikan oleh tawanan perang. Perbudakan atas tawanan perang bukan berasal dari Islam tetapi hanya sebagai tindakan timbal balik dan  pembalasan (reciporocity).[34] Dalam hukum Islam mengenai sudah dikenal larangan menyerang orang tua, anak-anak dan perempuan. Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasul, dan praktik Sahabat melarang mencincang mayat musuh, tetapi memerintahkan untuk menguburkan mereka dengan sebaik-baiknya, melarang tindakan khianat, mengingkari janji, melakukan pembakaran, merusak pohon, menyembelih membunuhi hewan-hewan ternak kecuali untuk kebutuhan makan, dan memelihara tempat-tempat ibadah.[35] Dan, hubungan antar bangsa, berupa hidup bertetangga secara baik diatur di dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13.
          Sementara itu, di Eropa Barat hukum internasional pada Abad Pertengahan dikuasai oleh sistem feodal dan keagamaan di bawah Paus sebagai penguasa tertinggi. Aturan hukum kegerejaan dihimpun di dalam Corpus Juris Canonici, yang menempatkan hukum Gereja di atas negara. Doktrin ini ditentang Marthin Luther, lewat gerakan Protestan yang menghendaki reformasi (pembaharuan). Keadaan ini menimbulkan perang agama selama 30 tahun, dan berakhir pada tahun 1647 dengan diadakannya Perjanjian Perdamaian West Phalia.[36]
          Dengan pertumbuhan sejumlah negara  merdeka di Eropa, dimulailah perkembangan modern hukum internasional. Yang dipandang sebagai titik pangkal pertumbuhan negara modern dan perkembangan baru di bidang hukum internasional adalah Perjanjian Perdamaian West Phalia. Perjanjian West Phalia dipandang sebagai peletak dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional, karena:[37]
1. Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun perjanjian West Phalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang terjadi karena perang itu di Eropa;
2.  perjanjian perdamaian itu mengakhiri selama-lamanya usaha kaisar Romawi yang suci (the Holy Roman Emperor) untuk menegakkan kembali imperium Romawi yang suci;
3. hubungan negara dilepaskan dengan gereja dan didasarkan atas kepentingan nasional negara yang bersangkutan;
4. kemerdekaan Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui oleh Perjanjian West Phalia.

          Perjanjian West Phalia merupakan titik puncak dari proses yang sudah dimulai sejak Abad Pertengahan, yaitu gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, khususnya perebutan kekuasaan duniawi antara negara dan gereja. Dengan demikian, kita dapat menempatkan perjanjian West Phalia di dalam keseluruhan kerangka sejarah. Ini, akan dapat menghindarkan timbulnya kekeliruan seolah-olah sebelum  perjanjian perdamaian tersebut tidak ada negara nasional. Padahal sebelum perjanjian perdamaian West Phalia telah ada kerajaan-kerajaan kecil di samping tiga negara besar di Eropa Barat yaitu: Perancis, Spanyol dan Inggris dan beberapa masyarakat di pinggiran masyarakat Kristen Eropa seperti Skandinavia dan Rusia.
          Masyarakat internasional baru yang terbentuk setelah Perjanjian West Phlia memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan susunan masyarakat Kristen Eropa di abad pertengahan yang berdasarkan feodalisme. Ciri-ciri tersebut adalah:[38]

1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi yang ekseklusif di dalam wilayahnya;
2. Hubungan-hubungan nasional satu dengan lainnya didasarkan atas persamaan derajat;
3. Tidak ada kekuasaan di atas negara yang diakui oleh masyarakat negara-negara;
4. Hubungan antar negara berdasarkan atas hukum yang banyak diambil alih dari lembaga-lembaga hukum perdata Romawi;
5. Negara-negara mengakui adanya hukum internasional yang mengatur hubungan negara-negara itu  tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara di dalam mematuhi hukum ini;
6. Tidak ada pengadilan (internasional) dan polisi internasional yang memaksakan ditaatinya hukum internasional;
7. Anggapan terhadap perang bergeser dari segi keagamaan ke doktrim bellum justum sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran bahwa perang merupakan salah satu penggunaan kekerasan (selain represaille) dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan nasional (perang yang benar).

          Dasar-dasar Perjanjian West Phalia kemudian  diperkuat oleh Perjanjian Utrecht (1713) yang menekankan bahwa keamanan atau perdamaian dapat dipulihkan lewat keseimbangan kekuasaan yang adil (justum potentiae equalibrium) yang dapat dipakai sebagai landasan persahabatan yang kekal.[39]
          Dengan pertumbuhan negara-negara merdeka tersebut dilakukan proses pembentukan aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dalam hubungan timbal balik di antara negara-negara tersebut. Di Italia misalnya, banyak negara kecil yang merdeka, mengadakan hubungan diplomatik satu dengan lainnya atau dengan dunia luar. Hubungan-hubungan ini melahirkan aturan hukum kebiasaan di bidang diplomatik seperti, pengangkatan, penerimaan dan kekebalan utusan diplomatik.[40]
          Di penghujung abad ke-15 dan 16 sudah banyak para ahli hukum yang mengarahkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat negara-negara berdaulat, memikirkan dan menulis aneka masalah hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya aturan hukum yang mengatur segi-segi hubungan antara negara-negara. Para penulis tersebut adalah Vittoria (1480-1546), teoloog pada Universitas Salamanca, Belli (1502-1575) dan Gentilis (1552-1608) dari Italia, Brunus (1491-1563) dari Jerman, Fernando Vasquez de Mancaca (1512-1569) dari Spanyol, Baltazar Ayala (1548-1584)  dan Suarez (1548-1617) dari Spanyol, dan Grotius (1583-1645), ahli hukum dari  Belanda. 
          Dari sekian banyak penulis tersebut,  Grotiuslah yang dipandang sebagai bapak hukum internasional.  Ini disebabkan karena ajarannya memiliki nilai intrinsik yang tinggi  dan sesuai dengan panggilan jaman. Ajarannya    didasarkan pada  hukum alam yang telah disekulerkan. Ia memberikan tempat yang penting bagi negara-negara nasional. Selain itu, ia banyak menempatkan praktik negara dan perjanjian antar negara di samping hukum alam yang diilhami akal manusia sebagai sumber hukum alam. Dialah yang meletakkan dasar-dasar bagi sistematika pembahasan hukum internasional, yang sebagian besar, masih diikuti sampai sekarang. Karyanya yang terpenting di bidang ini adalah De Jure Belli ac Pacis.
          Akan tetapi, tidak semua ahli hukum internasional menyetujui Grotius sebagai bapak hukum internasional. Oppenheim misalnya, menyatakan bahwa sebutan bapak hukum internasional kepada Grotius berlebihan. Sebab, sebelum Grotius sudah ada sarjana yang menulis di bidang hukum internasional. Sarjana-sarjana itu adalah Francisco Vittoria dan Alberico Gentili.[41] Beberapa penulis lainnya juga menolak pendapat bahwa Grotius sebagai bapak hukum internasional. Ini didasarkan pada alasan bahwa Grotius banyak mendapat ide dari tulisan-tulisan Gentilis, dan ia mengikuti tulisan-tulisan Gentilis, Ayala dan penulis-penulis lain. Memang, baik Grotius maupun Gentilis banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis sebelumnya.[42]
          Penulis-penulis terkemuka setelah Grotius di abad ke-18 yang besar pengaruhnya bagi perkembangan hukum internasional adalah Zouche (1590-1660), Guru Besar Hukum Perdata di Oxford, Pufendorf (1632-1694), Guru Besar Universitas Heidelberg, Binkershoek (1673-1743), seorang ahli hukum Belanda, Christian Wolf (1609-1764), seorang ahli hukum dan filsafat Jerman dan Emerich Vattel (1714-1767), seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss. Mereka pada umumnya digolongkan ke dalam aliran hukum alam dan positivist.
          Pufendorf dan Wolf adalah para penganaut aliran hukum alam. Menurut Pufendorf, hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang berpangkal pada akal manusia, yang mengatur kehidupan manusia kapan dan di mana saja ia berada, baik ia hidup berorganisasi di dalam negara atau tidak. Christian Wolf mengemukakan teori Civitas Maxima. Teori ini memandang hukum internasional sebagai hukum dunia yang belaku pada Negara Dunia, yang  meliputi negara-negara di dunia. Sebaliknya, Zouche, Binkershoek dan von Martens adalah penganut positivist. Mereka mementingkan praktik negara sebagai sumber hukum yang terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian. Sekalipun tidak menolak hukum alam secara mutlak.[43]
          Emerich Vattel dapat digolongkan sebagai aliran eclectic, yakni aliran yang memilih segi-segi baik dari kedua aliran tersebut. Karya Vattel memiliki pengaruh besar bagi perkembangan hukum internasional di kemudian hari, utamanya di Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya penting karena:[44]
1. tulisannya banyak memuat adat kebiasaan dan perjanjian antar negara yang sangat berharga sebagai sumber atau bukti hukum;
2. tulisan-tulisannya memiliki sumbangan yang besar dalam menjelaskan pengertian dan pengembangan konsep  dan pembahasan persolan hukum internasional secara sistematis.
          Revolusi Perancis dan Amerika pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga mempengaruhi perkembangan hukum internasional lewat internasionalisasi hubungan antar bangsa (Eropa, Amerika, Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan antar  bangsa  ini  melahirkan  asas-asas  dan gagasan-gagasan    baru   yang memperkaya hukum internasional. Gagasan-gagasan tersebut antara lain: hak suatu bangsa untuk mengubah atau menyusun pemerintahannya, serangan kepada suatu negara dianggap sebagai serangan terhadap semua bangsa, kepentingan manusia di atas kepentingan negara, perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45]
          Selanjutnya melalui Kongres Wina (1815) yang mengakhiri Perang Napoleon ditetapkan kembali garis batas negara-negara di Eropa di samping larangan perbudakan secara internasional. Di bidang diplomasi diciptakan suatu Protokol yang disebut Protokol Aix-la-Capelle (1818) yang masih bertahan sampai sekarang.
          Perlawanan terhadap Napoleon digalang lewat Persekutuan Sempurna atau lebih terkenal dengan sebutan the Consert of Europe. Negara-negara sekutu ini terdiri atas Austria, Inggris, Prusia, Rusia, dan setelah tumbangnya Napoleon ditambah dengan Perancis. Melalui Concert of Europe ini ditingkatkan kerjasama di Eropa dalam berbagai bidang berdasarkan hukum internasional.[46]
          Di antara negara-negara besar di Eropa sendiri terjadi pertentangan internal, antara negara-negara yang ingin mempertahankan absolutisme dan yang ingin menghapuskannya. Untuk mempertahankan absolutisme tersebut, negara-negara Austria, Prusia dan Rusia membentuk Persekutuan Suci (Holy Alliance, 1815) dengan memasukkan segi-segi keagamaan di dalamnya. Usaha negara-negara ini gagal, karena tidak dapat membendung pikiran-pikiran baru yang lebih demokratis. Pergolakan yang terjadi di Eropa merambah pula ke Benua Amerika. Untuk mempertahankan Amerika dari dominasi Eropa melalui Holy Aliance, dikeluarkan suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doktrin Monroe pada tahun 1823. Menurut doktrin ini Benua Amerika tidak lagi dipandang sebagai berada di bawah penjajahan Eropa di masa yang akan datang. [47]
Perkembangan ini terjadi selama abad ke-19. Abad ini dapat dipandang sebagai puncak kejayaan dalam tingkat kedewasaan negara nasional. Perkembangan ini sangat didukung  oleh munclnya negara-negara baru yang kuat di Eropa dan di luar Eropa, perluasan peradaban Eropa, pemodernan pengangkutan dunia, kehancuran dahsyat oleh prang modern dan pengaruh temuan-temuan baru. Keadaan ini mendesak untuk adanya  aturan yang mengatur perilaku negara dalam urusan internasional. Selama abad ini terjadi perkembangan yang menonjol di bidang hukum perang dan netralitas, penyelesaian sengketa melalui lembaga perwasitan, dan timbulnya kebiasaan negara merundingkan perjanjian umum untuk mengatur kepentingan timbal balik.[48]
          Kejadian terpenting di abad ke-19 dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional adalah Konferensi Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa tahun 1864. Kedua Konferensi memelopori Perjanjian Perdamaian Den Haag di akhir abad ke-19 (tahun 1899), yang penting sekali artinya dalam perkembangan hukum internasional. Pentingnya konferensi-konferensi ini, karena untuk pertamakalinya konferensi internasionaldipergunakan secara sadar untuk melahirkan konvensi-konvensi internasional yang membentuk perjanjian-perjanjian yang berlaku umum dan dilaksanakan secara berkala.[49]
          Perkembangan penting  berikutnya,  terjadi  pada  abad ke-20. Pada permulaan  abad ini diadakan Perjanjian Perdamaian Den Haag II, tahun 1907.  Hasil terpenting dari Konferensi Perdamaian Den Haag I dan II selain dari Konvensi-konvensi di bidang hukum perang  adalah dibentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen. Kemudian, pada tahun 1921 dibentuk pula Mahkamah Internasional Permanen, yang setelah bubar pada tahun 1946 digantikan oleh Mahkamah Internasional yang dibentuk pada tahun 1945.[50]
          Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Konferensi Perdamaian Den Haag 1899 dan 1907  mengakhiri tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yang didasarkan atas negara kebangsaan, dan dimasukinya tahap kedua, yaitu tahap konsolidasi. Tahap konsolidasi masyarakat internasional ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[51]

1. Negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan. Jika dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yaitu setelah terjadinya perjanjian West Phalia, kekuasaan nyata negara masih berada di tangan raja; setelah terjadinya revolusi Perancis kekuasaan yang dipegang beralih ke tangan rakyat sehingga negara kebangsaan telah benar-benar menjadi negara nasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan lagi kerajaan dalam bentuk baru;
2. Konferensi-konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang meletakkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku universal. Diadakannya konferensi semacam ini secara berkala merupakan langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional sebagai masyarakat hukum. Konferensi yang bersifat umum dan universal ini, sedikit banyak memenuhi fungsi legislatif masyarakat internasional. Konferensi-konferensi perdamaian ini dapat dipandang sebagai pelopor usaha yang lebih terarah di kemudian hari kepada pembentukan hukum internasional  melalui perjanjian, yaitu uaha kodifikasi hukum internasional dalam rangka Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. Pembentukan Mahkamah Internasional Arbitrasi Permanen merupakan kejadian penting dalam mewujudkan masyarakat hukum internasional.  Terbentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antar bangsa di Abad Perterngahan. Pembentukan Arbitrasi Internasional Permanen ini kemudian diikuti pula dengan pembentukan Mahkamah Internasional Permanen tahun 1921, yang merupakan mahkamah untuk mengadili perkara-perkara internasional menurut hukum. Dibentuknya lembaga-lembaga dengan wewenang penyelesaian sengketa internasional tanpa menggunakan kekerasan senjata, merupakan tanda bahwa masyarakat internasional telah memasuki tahap kedewasaan. Dari sudut perkembangan masyarakat hukum kejadian ini penting karena dengan pembentukan kedua Mahkamah ini berarti telah diambil langkah-langkah pertama dalam memperjuangkan kekuasaan peradilan sebagai salah satu fungsi yang sangat penting dalam masyarakat hukum.

          Dalam masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den Haag 1907 telah timbul pula kejadian-kejadian penting bagi perkembangan masyarakat internasional, yaitu (1) Perjanjian Larangan Perang sebagai cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand- Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928, dan (2) Didirikannya Liga Bangsa-Bangsa dengan Perjanjian Versailles sesudah Perang Dunia I dan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II.[52]
          Kemunculan dua organisasi internasional tersebut menambah dimensi baru bagi masyarakat internasional modern yang sangat penting artinya bagi perkembangan hukum internasional modern, yaitu gejala organisasi atau lembaga internasional yang melintasi batas-batas negara yang mempunyai wewenang dan tugas di samping dan kadang-kadang di atas kekuasaan negara nasional.
          Tahap berikutnya dari perkembangan masyarakat dan hukum internasional adalah tahap emansipasi politik negara-negara yang melepaskan diri dari belenggu penjajahan ke dalam masyarakat internasional yang merdeka dan berdaulat. Tahap ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I dan mencapai puncaknya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam tahap ini, negara-negara bekas jajahan, terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ikut serta secara aktif di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional baru di berbagai forum internasional.[53]
          Pada masa sebelum tahap perkembangan yang disebut terakhir ini, hukum internasional tidak berlaku secara universal dan seragam. Pada masa ini hukum internasional bekerja pada dua bidang yang berbeda. Di satu sisi, hukum internasional sesuai dengan tipe hubungan yang dibentuk di antara bangsa-bangsa beradab (civilized states)  dan dunia sisanya, hubungan yang sebagian besar tergantung pada kenyataan gejala penguasaan oleh sebagian kecil negara terhadap negara-negara lain. Di sisi lain hukum internasional sesuai dengan hubungan inter se, hubungan ini terbatas pada Negara-negara Anggota “Klub” sejauh  klub tersebut menjamin satu dengan lainnya memiliki kedaultan dan kemerdekaan atas dasar timbal balik penuh (full reciprocity). Dengan cara ini, hukum beroperasi dalam lingkungan yang agak berbeda yang mengatur di satu sisi suatu “masyarakat” internasional  yang terbatas pada klub ekslusif, dan  di sisi lain, sekumpulan bangsa asing (overseas peoples) yang dikeluarkan dari masyarakat internasional ini.[54] 
          Hukum ini, yang oleh Bedjaoui disebut sebagai hukum internasional klasik, tidak lain daripada hukum Eropa. Hukum internasional klasik ini merupakan suatu sistem norma  dengan muatan geografis (hukum Eropa), ilham etik dan agama (hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum perniagaan) dan tujuan politik (hukum imperialistik). Dan, sesuai dengan tatanan ekonomi pada waktu itu, hukum initernasional ini juga merupakan (a) Hukum Oligarkis (Oligarchic law) yang mengatur hubungan di antara negara-negara berada yang termasuk pada klub tersebut, (b) Hukum Plutokratik (Plutocatic law) yang memperkenankan negara-negara tersebut mengekploitasi negara-negara yang lebih lemah; (c) Sejauh mungkin merupakan hukum non intervensi (Non interventionist law)….. [55]   
           











[29]Ibid.,  hal. 7.
[30]Sam Suhaedi Admawira,  Hukum Internasional, CV. Aulia, Bandung, tt, 78-79.


            [31]Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 24-25.



[32] Ibid.,  hal. 27
[33]Starke, op. cit.,  hal. 9.

[34]Ali Ali Mansyur, Asy Syariatul Islamiyah wal Qanunud Dauliyul ‘Am, Alih bahasa Muhammad Zain Hassan, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 79-80.
[35] Ibid.,  hal. 57-59.



[36] A. Masyhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional,, Malang, IKIP Malang, 1995, hal. 16.
[37]Satarke, op. cit,  hal. 9
[38]Kusumaatmadja, op. cit., hal. 29-30

            [39]Effendi et al., op. cit., hal. 18
[40]Kusumaatmadja, loc. cit,  
[41]Oppenheim - Lauterpacht, op. cit.,  hal. 91.
[42]Starke, op. cit.,  hal. 10.
[43]Kusumaatmadja, op. cit.,  hal.
[44]Ibid.,  hal. 33.
[45]Efendi et al., op. cit., hal. 18. Ibid.,  hal. 18.
[46] Ibid.,  hal. 18.




[47]Ibid., hal. 19.
[48]Starke, op. cit.,  hal. 12.



[49]Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 35.
[50] Starke, op. cit.,  hal. 12-13
[51] Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 36-37
[52]Ibid.,  hal. 38.
[53]Lihat Effendi et.al., op. cit., hal. 23-24.
[54]Lihat Mohammed Bedjaoui, ‘General Introduction’ dalam Mohammed Bedjaoui (Ed), Inhternational Law, Achievement and Prospect,  UNESCO, Paris – Martinus Nijhoff, Dordrecht/ Boston/London, 1991, hal. 6-7. 

[55]  Ibid., hal. 6