BAB IV
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
A. Arti Sumber hukum
Sumber berarti asal atau tempat keluar. Jika kata sumber dihubungkan dengan hukum menjadi sumber hukum, maka artinya adalah asal-usul hukum atau tempat keluar atau terjadinya hukum. Henry Campbell Black dalam Black Dictionary nya merumuskan sumber hukum sebagai asal yang daripadanya hukum positif tertentu memperoleh kewibawaan atau kekuataan memaksanya. Rumusan yang menegaskan sumber hukum sebagai asal kekuatan memaksannya hukum, lebih merupakan sumber materiil. Di samping sumber materiil ada pula sumber formil hukum, yang akan diuraikan di bawah nanti. Menurut Wayan Parthiana, sumber hukum tidak hanya berarti darimana hukum itu berasal, tetapi juga ada kaitannya dengan terjadinya hukum dan dalam bentuk apa saja hukum itu diwujudkan. Sumber hukum tersebut dapat dibedakan atas sumber materiil, formil dan filosofis. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum dalam arti apa yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikatnya hukum, dengan kata lain, mengapa hukum itu mengikat. Dalam hukum internasional terdapat beberapa teori mengenai hakikat mengikatnya hukum tersebut. Teori-teori ini meliputi: teori hukum alam, teori kehendak negara, teori kehendak bersama negara, teori kaidah hukum dan teori kenyataan sosial. Teori-teori ini sudah dibahas dalam bab II.
Sumber hukum formal, adalah sumber hukum dalam arti di manakah kita dapat menemukan ketentuan hukum itu? Mengenai hal ini akan dibahas pada bagian B berikutnya.
Sumber hukum dalam arti filosofis, adalah sumber hukum yang meneliti faktor-fakor penyebab yang turut membantu di dalam pembentukan suatu kaidah. Persoalan ini lebih terletak di luar hukum. Oleh karena itu, sumber filosofis ini tidak akan dibahas lebih lanjut.
B. Sumber formal hukum internasional
Dari sudut sejarah, hukum internasional bisa dijumapai dalam dokumen-dokumen berikut: 1. Kebiasaan internasional;
2. Perjanjian-perjanjian internasional;
3. Keputusan pengadilan dan badan arbitrai;
4. Pandangan para ahli;
5. Keputusan dari badan internasional yang ada.
Sumber hukum tersebut agak berbeda dengan sumber hukum yang disebutkan di dalam pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Di dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut dinyatakan bahwa dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional harus memberlakukan: perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.
Sumber hukum yang disebut pada angka 1 sampai dengan 3 merupakan sumber utama, sedangkan yang disebut pada angka 4 merupakan sumber tambahan. Urutan nomor penyebutan sumber tersebut tidak menunjukkan tingkat pentingnya atau pengutamaan dari sumber hukum tersebut. Pengutamaan hanya terjadi berkaitan dengan kedudukan sebagai sumber utama dan sumber pelengkap.
Seperti disebutkan di atas, bahwa sumber hukum berdasarkan pasal 38 (1) Statuta agak berbeda dengan sumber hukum berdasarkan sejarah. Pada yang disebut pertama, tidak terdapat keputusan badan arbitrasi dan badan (organ) internasional, sebaliknya di dalam yang kedua tidak ada ketentuan mengenai asas-asas hukum umum seperti disebutkan dalam pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional.
Selanjutnya, uraian mengenai sumber formal hukum internasional itu didasarkan pada ketentuan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut.
1 Perjanjian internasional
Menurut Oppenheim, perjanjian internasional adalah persetujuan yang bersifat kontrak di antara negara-negara atau organisasi negara-negara yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum di antara para pihak. Rumusan yang agak berbeda dikemukan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu: perjanjian yang diadakan antara masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Jadi, perjanjian internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh negara dengan negara atau negara dengan organisasi internasional dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum terentu. Perjanjian internasional dapat diadakan dalam bentuk tertulis, lisan ataupun dengan persetujuan diam-diam, bahkan dapat dengan bentuk-bentuk komunikasi lain seperti tanda atau isyarat. Perjanjian internasional jangan dikacaukan dengan berbagai dokumen yang berkaitan dengan perjanjian internasional tetapi bukan merupakan perjanjian internasional itu sendiri. Dokumen-dokumen itu adalah:
a) Memoire (Memorandum), adalah suatu nota diplomatik yang berisi ringkasan suatu kenyataan dasar tentang suatu urusan.
b) Proposal, adalah suatu dokumen yang membedakan suatu penawaran yang diajukan suatu negara kepada negara lain.
c) Note verbal, adalah suatu dokumen yang tidak ditandangani yang isinya ringkasan pembicaraan (tanya jawab) atau pristiwa seperti itu.
d) Proses verbal, adalah laporan pejabat atau rincian laporan rapat kerja sehari-hari mengenai suatu konferensi dan simpulan sementara yang dicapai, dan selalu ditandatangani oleh wakil-wakil peserta.
Dari sudut proses atau tahap pembuatannya, perjanjian internasional dapat dibedakan atas perjanjian yang terdiri atas dua tahap dan perjanjian yang terdiri atas tiga tahap. Perjanjian yang terdiri atas dua tahap, adalah perjanjian yang hanya melalui perundingan dan penandanganan, sedangkan yang terdiri atas tiga tahap adalah perjanjian yang melalui tahap perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Perjanjian internasional tiga tahap merupakan perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan rakyat. Perjanjian jenis ini, lazim disebut traktat (treaty). Sedangkan perjanjian yang hanya terdiri atas dua tahap adalah perjanjian yang sederhana dan untuk hal-hal yang tidak begitu penting. Persetujuan jenis ini disebut persetujuan (agreement).
Dilihat dari segi bentuknya, perjanjian internasional dapat digolongan sebagai berikut: a. Perjanjian antar Kepala Negara (Head of State Form). Para pihak dalam perjanjian ini disebut Negara Peserta Agung (High Contracting States). Bentuk ini hampir tidak ada lagi yang mempergunakannya. Sekarang, hanya dipakai untuk Konvensi- konvensi khusus, misalnya konvensi konsuler, dan jenis traktat yang lebih bersifat rahasia. Dalam praktik Kepala Negara dapat mewakilkan atau menguasakan Menteri Luar Negeri/Duta Besarnya mengadakan perjanjian jenis ini.
b. Bentuk antar pemerintah (Inter-Governmental Form) yang dirancang sebagai suatu persetujuan di antara negara-negara yang mengadakan perjanjian. Perjanjian ini biasanya digunakan untuk persetujuan-persetujuan yang bersifat teknis dan non politik, kecuali Traktat Aliansi Anglo-Jepang antara Pemerintah Inggris dan Jepang pada tahun 1902.
c. Bentuk Antar Negara, yang secara tegas dan tersirat dirancang sebagai persetujuan di antara negara-negara peserta. Para penandatangan seringkali disebut sebagai para pihak (the parties). Misalnya, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, 4 April 1949.
d. Traktat dapat dirundingkan dan ditandatangani oleh para menteri negara-negara peserta, umumnya oleh Menteri Luar Negeri.
e. Traktat yang merupakan persertujuan antar departemen yang ditandatangani oleh para wakil departemen negara-negara yang bersangkutan.
f. Traktat antara tokoh-tokoh politik negara peserta. Misalnya, persetujuan Munich September 1938 yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris Chamberlain, Perancis M. Daladier, Jerman Hitler, dan Italia Mussolini; dan traktat antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet (sekarang telah bubar) tentang Sistem Persenjataan Anti Balistik yang ditandatangani di Moskow pada tanggal 26 Mei 1972 Oleh Presiden Nixon dan Sekjen PKUS Leonid Breznev.
Dilihat dari segi subyek yang mengadakan perjanjian internasional, perjanjian internasional dapat dibedakan atas:
1. Perjanjian antar negara, yaitu perjanjian internasional yang diadakan oleh negara-negara sebagai besertanya.
2. Pejanjian antara negara-negara dengan subyek hukum lainnya, seperti antara negara dengan organisasi internasional atau dengan Takhta Suci (Vatikan).
3. Perjanjian antara sesama subyek hukum lain bukan negara, khususnya antara organisasi internasional satu dengan lainnya. Misalnya, perjanjian antara ASEAN dengan MEE.
Ditinjau dari segi jumlah pesertanya, perjanjian internasional dibedakan atas:
1. Perjanjian dwipihak (bilateral), yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak saja. Pada umumnya perjanjian jenis ini hanya mengatur soal-soal khusus mengenai kepentingan pihak-pihak dalam perjanjian itu. Contohnya: perjanjian Indonesia ~ RRT (sekarang RRC) 1954 mengenai dwi kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, dan perjanjian perdagangan. Karena itu, perjanjian ini bersifat tertutup, artinya hanya mengikat mereka yang mengadakan perjanjian itu saja, dan pihak lain tidak dapat mengikatkan diri ke dalamnya.
2. Perjanjian neka pihak atau jamak pihak (multilateral), yaitu perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara). Perjanjian ini umumnya bersifat terbuka dan mengatur hal-hal yang bersifat umum, dalam arti tidak hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan negara-negara peserta tetapi juga menyangkut kepentingan negara-negara lain yang bukan peserta perjanjian itu. Karena sifatnya terbuka, maka negara lain dapat menyatakan diri terikat, dengan cara aksesi (menyatakan terikat terikat untuk seluruhnya) atau adhesi (menyatakan diri terikat dengan pembatasan-pembatasan tertentu).
Dari segi fungsinya sebagai sumber hukum perjanjian internasional dapat dibedakan atas treaty contract dan law making treaties. Treay contract, adalah perjanjian sebagaimana halnya kontrak hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pesertanya, seperti: perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan. Law making treaties, atau traite lois, adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi mayarakat internasional secara keseluruhan, seperti Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dan Konvensi Hukum Laut III 1982.
Mochtar Kusumaatmadja, tidak menyetujui pembedaan atas treaty contract dan law making treaties. Ketidaksetujuannya didasarkan atas alasan sebagai berikut: 1. Secara yurisdis, setiap perjanjian baik yang disebut treaty contract maupun law maiking treaties adalah kontrak, yaitu persetujuan atau perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi para pesertanya;
2. Dari segi fungsinya sebagai sumber hukum, baik law making treaties maupun treaty contract adalah law making, artinya menimbulkan hukum.
Mochtar Kusumaatmadja mengakui bahwa law making treaties memang secara langsung menimbulkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat intrnasional secara keseluruhan. Namun, tak dapat disangkal bahwa treaty contract pun dapat secara tidak langsung membentuk kaidah-kaidah hukum melalui proses kebiasaan. Berkenaan dengan hal tersebut beliau lebih cendrung menggunakan istilah perjanjian khusus untuk treaty contract dan perjanjian umum untuk law making teraties.
2 Kebiasaan internasional
Baik dalam hukum nasional, lebih-lebih dalam hukum internasional kebiasaan merupakan sumber yang sangat penting. Selain itu, dalam hukum internasional banyak sekali ketentuan hukum internasional yang dikembangkan dari hukum kebiasaan. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum perang, hukum laut, dan hubungan konsuler misalnya semula berasal dari hukum kebiasaan, yang kemudian banyak dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional. Kebiasaan internasional tersebut merupakan praktik-praktik tertentu yang mendapat pengakuan di antara negara-negara yang diakui secara umum sebagai kewajiban. Kebiasaan (custom) jangan dikacaukan dengan kebiasaan belaka (usage). Pakar hukum berbicara mengenai hukum kebiasaan (custom) apabila suatu kebiasaan yang merupakan tindakan nyata dan terus-menerus diyakini menurut hukum internasional melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan kebiasaan saja (usage) adalah kebiasaan yang merupakan tindakan nyata yang berulang-ulang tanpa menjadi hak dan kewajiban. Contohnya, praktik pengecualian kendaraan diplomatik dari larangan parkir. Namun, ada kecendrungan kebiasaan belaka (usage) menjadi hukum. Dan ini adalah soal kenyataan, bukan soal praktis. Namun, semua teori menyatakan, segera setelah tingkah laku yang berulang-ulang diterima oleh negara-negara sebagai menimbulkan kewajiban atau hak, maka aturan yang disimpulkan daripadanya merupakan aturan hukum internasional. Untuk adanya hukum kebiasaan internasional harus dipenuhi empat unsur, yaitu: jangka waktu, keseragaman atau keruntutan praktik, keumuman praktik dan opinio juris necessitatis. Tiga yang pertama merupakan unsur fisik dan yang terakhir merupakan unsur psikologis.
a. jangka waktu
Keruntutan praktik melalui masa tertentu merupakan ciri yang melekat pada konsep kebiasaan. Oleh karena itu tidaklah mungkin berbicara mengenai konsep kebiasaan tanpa menegaskan bahwa praktik serupa telah diikuti dalam keadaan yang sama sehingga kebiasaan itu menjadi cukup umum untuk patut disebut kebiasaan. Dalam keadaan kongkrit berapa lama terbentuknya suatu kebiasaan merupakan hal yang sulit. Tidak ada ketentuan yang pasti mengenai hal ini. Ada kalanya diperlukan suatu waktu yang lama sekali, tetapi ada juga contoh bahwa masyarakat internasional menerima satu pola tindakan sebagai hukum kebiasaan setelah waktu yang tidak begitu lama. Konsep landas kontinen misalnya, baru muncul sejak tahun 1945 pada saat Presiden Truman mengeluarkan Proklamasi mengenai Landasan Kontinen tersebut. Proklamasi ini dikuti oleh proklamasi serupa oleh negara-negara lain dan pada Konferensi Hukum Laut tahun 1958 telah diterima sebagai Konvensi Landas Kontinen. Memang pada masa sekarang, kebiasaan itu bisa berlangsung sangat singkat. Ini disebabkan oleh karena hubungan internasional yang jauh lebih kerap, dan sangat meningkatnya arus lintas perbatasan serta kerjasama antar negara sekarang ini merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
b. Keseragaman, keruntutan praktik
Menurut Brownlie keseragaman yang diperlukan di sini adalah keseragaman substansial, artinya tidak boleh ada pertentangan di dalam praktik. Ini misalnya, dapat dilihat dalam perkara the Haya de la Torre antara Kolombia dengan Peru di depan Mahkamah Internasional. Dalam kasus ini, Mahkamah Internasional tidak menemukan adanya unsur hukum kebiasaan. Ini ditegaskan Mahkamah sebagai berikut:
“....Mahkamah menyingkapkan begitu banyak ketidakpastian dan pertentangan, banyak kekurangan dan ketidaksesuaian dalam pelaksanaan suaka diplomatik dan dalam pendapat resmi yang ditegaskan atas berbagai perisiwa, terdapat begitu banyak ketidaksesuaian dan penggantian konvensi yang cepat yang diratifikasi oleh beberapa negara dan ditolak oleh negara yang lain, dan praktik ini dipengaruhi begitu banyak pertimbangan kebijakan politik dalam berbagai perkara, sehingga tidak mungkin untuk melihat semua ini sebagai kebiasaan yang runtut dan seragam, yang diterima sebagai hukum.
Dalam perkara lainnya, yaitu perkara the Fisheries Mahkamah menolak adanya aturan (kebiasaan) 10 mil untuk teluk dengan pertimbangan yang sama. Dalam perkara ini, Mahkamah menyatakan sebagai berikut:
“.....bahwa walaupun aturan sepuluh mil telah diterima oleh negara-negara tertentu baik dalam hukum nasional mereka maupun dalam traktat atau konvensi mereka, dan walaupun putusan arbitrasi tertentu telah memberlakukannya di antara negara-negara, negara-negara lain menerima pembatasan yang berbeda. Akibatnya, aturan sepuluh mil tidak berlaku”.
c. Keumuman praktik
Ini merupakan segi yang melengkapi keruntutan. Tentu saja universalitas tidak diperlukan. Yang terpenting di sini adalah tidak ada keberatan dari negara-negara. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan jalan diplomatik (protes) atau dengan jalan hukum, yaitu dengan mengajukan keberatan-keberatan tersebut kepada Mahkamah Internasional.
d. Opninio juris at necessitatis
Berdasarkan unsur ini, maka suatu kebiasaan baru menjadi hukum internasional apabila sudah diterima sebagai hukum. Menurut Brierly, pengakuan oleh negara-negara atas praktik tertentu “sebagai kewajiban”, dan Hudson, mensyaratkan suatu “konsepsi bahwa praktik itu dibutuhkan oleh atau sesuai dengan hukum internasional yang berlaku”. Dengan kata lain untuk bisa diterima sebagai hukum, kebiasaan itu dibutuhkan atau sesuai dengan hukum internasional. Dengan demikian, tidak semua kebiasaan bisa diterima sebagai hukum. Kebiasaan yang tidak sesuai dengan perasaan hukum tidak akan bisa menjadi hukum kebiasaan internasional. Ini bisa dilihat misalnya dalam Perang Dunia II ada kebiasaan dari kapal selam Jerman untuk menenggelamkan kapal dagang milik lawan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dan tanpa memberi kesempatan kepada awak kapal untuk menyelamatkan diri. Hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang mengharuskan kapal selam sebelum menenggelamkan kapal dagang musuh harus memberikan peeringatan dan kesempatan kepada awak kapal untuk menyelematkan diri. Oleh karena itu, maka praktik ini tidak pernah bisa diterima sebagai hukum kebiasaan internasional.
3 Asas hukum umum
Bersama-sama dengan putusan pengadilan, asas-asas hukum umum merupakan sumber pelengkap dari hukum internasional. Sebagai sumber hukum pelengkap, asas hukum umum, umumnya digunakan sebagai “pengisi kesenjangan (“gap filler”) jika tidak hukum traktat atau hukum kebiasaan pada hal tertentu. Menurut Baron Descamp (Belgia) asas hukum umum adalah “aturan hukum internasional yang diakui oleh kesadaran hukum bangsa-bangsa beradab”. Root dan Phillimore mengaitkan asas ini dengan pengertian peraturan yang diterima dalam hukum negara semua negara beradab.Contoh asas-asas hukum nasional tersebut meliputi asas kepatutan (equity), estopel, pacta sunt servanda, meperkaya diri secara tidak pantas (unjust enrichment), dan penggunaan pembuktian tak langsung (the use of circumstantial evidence.) William merumuskan asas umum hukum sebagai “asas-asas umum mengenai keadilan, hukum alam, analogi dengan hukum perdata, asas-asas perbandingan hukum atau konsepsi-konsepsi umum hukum internasional. Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi sumber hukum di sini adalah asas hukum umum. Jadi, bukan hanya asas hukum internasional. Arti perkataan umum di sini sangat penting karena ini menunjukkan bahwa hukum internasional merupakan bagian dari sistem hukum yang lebih besar, yaitu hukum pada umumnya. Karenanya, maka asas-asas hukum perdata seperti pacta sunt servanda, bona fides (itikad baik), abus du droit, dan asas adimplenti non est adiplendum juga tercakup dalam pengertian ini. Demikian pula dengan asas-asas hukum pidana, seperti asas tidak menimpakan kesalahan pada orang yang tidak melakukan perbuatan pidana, asas pertanggunggungjawaban pidana, dan tidak memberikan keuntungan kepada orang yang melakukan kejahatan; dan asas hukum tatanegara atau hukum tata usaha negara, seperti asas exess du povoir juga tercakup dalam pengertian asas-asas hukum umum tersebut. Wolfgang Friedman membedakan asas hukum umum tersebut atas tiga macam, yaitu: 1. asas pendekatan dan penafsiran semua jenis hubungan-hubungan hukum;
2. patokan minimum kebebasan prosedur;
3. asas hukum subtantif yang diakui cukup luas dan tegas dalam sistem hukum utama dunia yang diakui sebagai asas-asas hukum internasional.
1. Asas penafsiran
Asas penafsiran meliputi : asas kepatutan (equity), estoppel dan asas penyalahgunaan hak (abuse of right [abus du droit).
Asas kepatutan ini merupakan asas yang sangat peting dalam sistem hukum modern. Asas ini dalam sistem hukum common law disebut dengan berbagai istilah, yaitu “reasonable”, “fair”. Menurut Lauterpacht, Hudson, de Visscher dan Dahm, asas kepatutan merupakan bagian dan bidang peradilan modern. Asas kepatutan ini mendasari putusan Mahkamah Internasional Permanen dalam perkara Division of Waters from the River Meuse. Dalam perkara ini, Belanda mengajukan tuntutan kepada Mahkamah atas pembagian perairan Sungai Belgia untuk tujuan pembuatan terusan yang dilakukan Belgia. Tuntutan ini ditolak karena Belanda sendiri sebelumnya telah melakukan hal yang sama.
Asas estoppel, mengharuskan orang yang meyakinkan orang lain mengenai keadaan sesuatu dengan perkataan atau perbuatan, bertindak untuk mempetegas keyakinan tersebut, dan menghindari tindakan yang berbeda untuk menegaskan terhadap pihak tersebut atas keadaan sesuatu itu. Atau dengan kata lain, orang atau negara yang mengakui memiliki suatu harus bertindak sesuai dengan pengakuan tersebut guna menegaskan pengakuan tersebut.
Asas larangan penyalahgunaan hak mengharuskan pemilik untuk menggunakan cara-cara yang memiliki akibat antisosial yang lebih besar daripada manfaat sah dari hak-hak pemilik. Misalnya, membiarkan wilayahnya dipergunakan untuk dijadikan sebagai pangkalan untuk melakukan serangan terhadap negara tetangga.
2. Patokan minimum acara yang adil
Adanya himpunan asas dasar tentang due process (proses peradilan) yaitu patokan minimum tertentu dalam administrasi peradilan yang adil dan pelaksanaan umum dalam sistem hukum dunia sehingga asas-asas tersebut menjadi patokan hukum internasional. Standar internasional ini telah lama memainkan peranan penting dalam artikulasi tanggung jawab internasional negara melebihi kepentingan ekonomi. Asas-asas ini antara lain, tak seorang pun akan ditangkap atau ditahan sampai waktu tak terbatas tanpa diadili, dan, tak seorang pun dapat dihukum tanpa diberi kesempatan untuk didengar di persidangan.
3. Asas umum substantif
Asas ini berkaitan dengan peranan yang dimainkan oleh asas-asas umum hukum substantif nasional dalam hukum internasional. Untuk memperjelas hal ini dapat diberikan dua buah contoh, yaitu: