BAB III
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL
DENGAN HUKUM NASIONAL
Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dapat dilihat dari dua segi, yakni segi teoritis dan segi praktis. Kedua segi ini terlihat pada persoalan-persoalan berikut:[56]
a) persoalan ilmu hukum tentang hubungan di antara kedua sistem hukum; dan
b) persoalan praktik, yakni mengenai pengaruh dari masing-masing sistem hukum terhadap yang lainnya.
Persoalan yang pertama (a) persoalan teoritis, yaitu hubungan hukum internasional dengan hukum nasional sebagai bagian dari sistem hukum pada umumnya, sebagai hukum yang efektif dan benar-benar hidup dalam kenyataan.[57] Yang kedua (b) persoalan praktik, yang dapat kita jumpai pada, misalnya, apakah perjanjian atau kebiasaan internasional berlaku seluruhnya dalam hukum nasional? Apakah ada pengaruh hukum nasional terhadap hukum internasional?.[58] Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam praktik berbagai negara.
A. Teori-teori hubungan hukum internasional dengan hukum nasional
Teori-teori tentang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional berkaitan erat dengan pandangan mengenai dasar keberadaan dan berlakunya hukum internasional.
Ada dua teori mengenai keberadaan dan berlakunya hukum internasional, yakni teori voluntaris dan obyektivis. Menurut voluntarisme ada dan berlakunya hukum internasional karena kemauan negara. Sebaliknya, menurut obyektivist ada dan berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan negara.[59]
Perbedaan pandangan ini menimbulkan akibat yang berbeda pula. Pendapat pertama, membawa akibat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang berdampingan dan terpisah. Sedangkan yang kedua, beranggapan bahwa keduanya merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Akibat berikutnya, adalah persoalan peringkat di antara kedua perangkat hukum itu.[60]
Dengan demikian, maka persoalan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional menimbulkan dua teori. Teori-teori tersebut adalah teori monisme, dan dualisme.
Menurut teori dualisme, hukum nasional dan hukum internasional merupakan sistem yang terpisah. Keduanya, tidak memiliki hubungan saling mengatasi dan membawahi. Keduanya mengatur hal yang sama, yang satu tidak mendasari yang lain.[61] Pendukung utama dari teori ini adalah Triepel dan Anzilotti, dua orang penulis positivist. Para penganut positivist memandang mengikatnya hukum internasional didasarkan pada kemauan negara. Oleh karena itu, wajar jika mereka memandang bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri.[62]
Hukum internasional menurut teori dualisme, secara mendasar berbeda dengan hukum nasional dari beberapa negara. Perbedaan tersebut adalah:[63]
· Pertama, berkaitan dengan sumber hukum internasional dan hukum nasional. Hukum nasional bersumber pada kebiasaan yang tumbuh dalam batas wilayah negara tersebut dan undang-undang yang dibuat oleh pengundang-undang. Hukum internasional bersumber pada kebiasaan yang tumbuh di antara negara-negara dan perjanjian yang membentuk hukum yang ditandatangani oleh negara-negara itu;
· Kedua, berkaitan dengan hubungan yang diatur oleh kedua sistem hukum tersebut. Hukum nasional mengatur hubungan orang perorangan di bawah kekuasaan suatu negara dan hubungan negara dengan orang perorangan. Di lain pihak hukum internasional mengatur hubungan antar negara;
· Ketiga, berkaitan dengan muatan dari kedua hukum itu. Hukum nasional adalah hukum mengenai kedaulatan negara, sedangkan hukum internasional adalah hukum antar negara-negara berdaulat ~ bukan hukum yang mengatasi negara-negara itu, karenanya merupakan hukum yang lemah.
Alasan-alasan yang agak berbeda dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, para penganut aliran dualisme mengemukakan alasan-alasan: (1) sumber hukum kedua perangkat hukum itu berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama negara-negara, (2) subyek hukum keduanya berlainan. Subyek hukum dari hukum nasional adalah orang perorangan baik dalam hukum perdata maupun publik, sedangkan hukum internasional subyeknya adalah negara; (3) strukturnya berbeda. Lembaga-lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum, seperti mahkamah dan organ-organ eksekutif di dalam kenyataannya hanya ada di dalam lingkungan hukum nasional. Dan, daya berlakunya atau keabsahan kaidah-kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan hukum internasional.[64]
Pandangan dualisme tersebut menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:[65]
1. Kaidah-kaidah atau perangkat-perangkat hukum yang satu tak mungkin bersumber atau berdasar pada kaidah yang lain. Jadi, tidak ada persoalan hirarchi antara kedua sistem hukum tersebut, karena kedua sistem hukum tersebut pada hakikatnya berlaian, tidak saling tergantung, dan yang satu terlepas dari yang lain.
2. Tak mungkin ada pertentangan antara kedua sistem hukum tersebut. Yang mungkin hanya penunjukan (renvoi).
3. Agar dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional, hukum internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional.
Sekalipun menentang teori dualisme, Sir Gerald Fizmaurice juga berpendapat bahwa sebagai sistem hukum, hukum internasional dan hukum nasional tidak bertentangan. Ini, karena lingkungan belakunya berbeda. Masing-masing menempati kedudukan tertinggi di bidangnya. Namun, hukum internasional dan hukum nasional bisa menimbulkan pertentangan kewajiban. Ketakmampuan negara bertindak dalam bidang dalam negeri sebagaimana diharuskan hukum internasional tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum nasional tetapi hanya menimbulkan tanggung jawab negara di bidang internasional.[66]
Alasan-alasan yang dikemukakan para penganut teori dualisme memiliki kelemahan-kelemahan, yakni:[67]
a) Pendapat yang menyatakan sumber hukum adalah kemauan negara tidak tepat. Ada dan berlakunya hukum terlepas dari kemauan negara. Yang jelas hukum itu ada dan berlaku karena diperlukan oleh kebutuhan manusia yang beradab. Tanpa hukum, kehidupan yang teratur tidak mungkin terwujud. Hal ini berlaku pula dalam hukum internasional. Jadi, adanya hukum hanya merupakan prasyarat bagi adanya kehidupan manusia yang teratur terlepas dari keinginan para subyek hukum itu untuk terikat.
b) Berlainannya subyek hukum antara hukum internasional dengan hukum nasional juga tidak tepat. Sebab, dalam satu lingkungan hukum pun subyeknya bisa saja berlainan. Di dalam hukum nasional misalnya, ada perbedaan antara subyek hukum di bidang hukum perdata dan hukum publik. Juga, tidak tepat menyatakan bahwa subyek hukum internasional adalah negara. Sebab, selain negara, orang perorangan pun pada masa sekarang bisa menjadi subyek hukum.
c) Perbedaan berdasarkan struktur juga tidak tepat. Sebab, persoalan struktur hanya merupakan persoalan gradual bukan hakiki. Perbedaan ini hanya menunjukkan gejala dari tahap integrasi masyarakat nasional dan internasional. Sebagai masyarakat, masyarakat nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mayarakat internasional. Oleh karena itu, bentuk-bentuk organisasinya pun lebih bekembang dan lebih sempurna.
d) Pemisahan mutlak hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat menjelaskan dengan memuaskan kenyataan dalam praktik, yakni hukum nasional tunduk atau sesuai dengan hukum internasional. Adanya hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional bukan merupakan bukti kurang efektifnya hukum internasional.
Selain para penulis positivist, teori dualisme ini didukung pula oleh para penulis lainnya dan secara tersirat juga oleh para hakim pengadilan. Namun, berbeda dengan alasan yang dikemukakan para positivist mereka terutama memandang adanya perbedaan empiris dalam sumber formal kedua sistem hukum tersebut. Di satu pihak, hukum internasional sebagian besar terdiri dari hukum kebiasaan dan traktat; dan, hukum nasional di pihak lain, terutama terdiri dari hukum buatan hakim (judge made law) dan undang-undang.[68]
Aliran kedua, yaitu aliran monisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan yang saling terkait dari satu bentuk sistem hukum yang lebih besar.[69] Menurut penganut teori monisme, semua hukum merupakan satu kesatuan tunggal yang mengikat negara-negara, orang-perorangan ataupun kesatuan-kesatuan bukan negara.[70]
Aliran ini menolak semua alasan yang dikemukakan penganut aliran dualisme. Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk menyangkalnya. Pertama, bahwa kedua sistem hukum tersebut mengatur tingkah laku orang-perorangan. Bedanya, hanya pada lingkup tingkah laku yang diatur oleh kedua sistem hukum tersebut. Kedua, paham monisme menegaskan bahwa lingkup kedua bidang hukum itu terutama adalah subyek hukum terlepas dari kehendak mereka. Ketiga, kedua sistem hukum itu merupakan perwujudan dari satu konsepsi tentang hukum.[71]
Akibat dari pandangan paham monisme tersebut, adalah adanya hubungan peringkat (hirarkhi) antara kedua perangkat hukum tersebut. Dalam kaitan dengan persoalan peringkat ini, aliran monisme dapat dibedakan atas aliran monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional (monisme dengan primat hukum nasional) dan aliran monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional (monisme dengan primat hukum internasional).
Menurut paham monisme dengan pengutamaan hukum nasional, dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional. Sebaliknya, menurut paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional, yang utama adalah hukum internasional.
Dalam pandangan paham monisme dengan pengutamaan (primat) pada hukum nasional, hukum internasional tidak lain dari kelanjutan hukum nasional, atau hukum nasional untuk urusan luar negeri (Auszeres Staatsrecht). Pandangan ini pada hakikatnya memandang bahwa hukum internasional bersumber pada hukum nasional.
Untuk mendukung teorinya, para pemuka aliran ini (antara lain Max Wenzel dari mazhab Bon), mengemukakan alasan-alsan sebagai berikut:[72]
1. tak ada satu organisasi pun di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia;
2. dasar dari hukum internasional terletak pada wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian internasional. Jadi, merupakan wewenang konstitusional.
Paham ini memiliki kelemahan-kelemhan, yakni:[73]
1. Terlalu memandang hukum sebagai hukum yang tertulis saja, sehingga melihat hukum internasional hanya pada hukum yang bersumber pada perjanjian internasional. Pandangan ini, jelas tidak benar.
2. Pendirian yang mengutamakan hukum nasional daripada hukum internasional merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional yang mengikat negara-negara. Karena menggantungkan berlakunya hukum internasional pada hukum nasional sama saja artinya dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara. Keterikatan ini bisa ditiadakan jika negara tersebut menarik kehendaknya untuk terikat pada hukum internasional. Dalam hal ini paham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional memiliki simpulan yang tidak jauh berbeda dengan paham dualisme.
Sebaliknya, paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional menyatakan bahwa hukum internasional memiliki peringkat yang lebih tinggi daripada hukum nasional. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional, dan kekuatan mengikatnya pada hakikatnya berdasarkan pendelegasian wewenang dari hukum intrnasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross) dan disokong oleh aliran yang berpengaruh di Perancis (Duguit, Scelle dan Burquin). Teori-teori ini pun tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahannya adalah:[74]
1. Pandangan yang menyatakan bahwa hukum nasional tergantung pada hukum internasional sama saja dengan menyatakan bahwa hukum internasional lebih dahulu ada dari pada hukum nasional. Ini tidak sesuai dengan kenyataan. Justeru sebaliknya. Dalam sejarah hukum nasional lebih dahulu ada daripada hukum internasional.
2. Kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari hukum internasional atau merupakan derivasi daripadanya, juga tidak benar. Kenyataannya, wewenang suatu negara sepenuhnya termasuk wewenang hukum nasional.
Dengan demikian, maka baik paham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional maupun paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional keduanya tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Pandangan dualisme yang menyatakan bahwa kedua perangkat hukum tersebut sama sekali terpisah, tidak masuk akal, karena pada hakikatnya menyangkal adanya hukum internasional. Dan paham monisme yang mengaitkan tunduknya negara pada hukum internasional dengan persoalan hubungan subordinasi dalam arti Struktural organis juga tidak masuk akal, karena tidak sesuai dengan kenyataan.[75]
B. Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dalam praktik negara-negara
Tinjauan teoritis hubungan hukum nasional dengan hukum internasional ternyata tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu, kita sebaiknya melepasakan diri dari persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, dan melihatnya dari sudut praktik.
Didalam praktik, banyak contoh yang menunjukkan bahwa hukum internasional memperlihatkan kewibawaannya terhadap hukum internasional. Pada umumnya, hukum internasional itu ditaati. Kepatuhan negara terhadap hukum internasional karena untuk mengatur hubungan negara diperlukan hukum internasional.[76]
Memang, dalam kenyataan sehari-hari acap terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional. Namun, dibandingkan dengan penaatan terhadap keseluruhan hukum internasional, maka pelanggaran tersebut jauh lebih rendah tingkat keacapannya dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi.
Dalam hukum humaniter internasional misalnya, acap terjadi pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran itu berupa pemboman desa-desa atau kota yang tak dipertahankan, serangan terhadap penduduk sipil, perlakuan tidak baik terhadap tawanan perang, perkosaan, penyiksaan dan lain-lain tetapi kita harus melihatnya secara keseluruhan. Dengan mempertimbangkan semua kasus bahwa jiwa manusia bisa diselamatkan karena para petempur (combatant) masih memiliki rasa kemanusiaan sesuai dengan hukum humaniter.[77]
Hal-hal lain yang memberikan petunjuk ditaatinya hukum internasional pada umumnya, seperti ketentuan mengenai perbatasan, perjanjian internasional, perlakuan terhadap orang asing dan hak miliknya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa aturan-aturan hukum internasional mengenai hal tersebut tidak pernah dilnggar. Pelanggaran sesekali terjadi. Oleh karena itu, pelanggaran ini lebih tepat dikatakan sebagai pengecualian atas penaatan hukum yang pada umumnya dipatuhi.[78]
Tegasnya, hukum internasional pada umumnya ditaati oleh masyarakat internasional. Dalam menerapkan hukum internasional dalam lingkup nasional tersebut acap dilakukan penyeusian-penyesuain dengan hukum nasional. Penyesuaian-penyesuaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan berbagai macam teori. Teori-teori tersebut adalah, teori koordinasi, inkorporasi, transformasi, delegasi, harmonisasi dan filterisasi. Berdasarkan teori-teori ini, hukum internasional tidak perlu dipertentangkan dengan hukum nasional, tidak perlu dipersoalkan mengenai pringkat, dan tidak perlu dipisahkan secara tegas satu dengan lainnya.[79]
Teori koordinasi dapat disimpulkan dari pendapat Fitzmaurice dan Rouseau. Menurut Fitzmaurice, hukum internasional dan hukum nasional tidak bertentangan, karena keduanya berlaku dalam lingkup yang berbeda. Yang ada, hanyalah pertentangan kewajiban. Kewajiban negara dalam bidang nasional untuk bertindak dengan cara yang diharuskan oleh hukum internasional. Tidak dilaksanakannya kewajiban ini tidak berakibat tidak sahnya hukum nasional, tetapi hanya berupa tanggung jawab negara di bidang internasional. Sebagai hukum koordinasi, hukum internasional menurut Rousseau tidak menetapkan pencabutan sertamerta hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional. Para penulis ini, mengutamakan praktik daripada teori.[80]
Teori transformasi menekankan segi perubahan dan penyesuaian (baik bentuk maupun isinya) hukum internasional dengan kondisi hukum nasional suatu negara. Berdasarkan teori ini, hukum internasional itu berlaku jika sudah dialihkan ke dalam hukum nasional. Pengalihan ini dilakukan dengan cara pengundangan hukum internasional tersebut ke dalam hukum nasional. Dengan cara ini, hukum internasional akan berlaku efektif di suatu negara.
Menurut teori delegasi negara memiliki hak untuk menerima keberadaan hukum intenasional. Negara diberi wewenang untuk menerima dan menolaknya. Teori harmonisasi menekankan pada segi-segi keseimbangan atau keserasian antara hukum nasional dengan hukum internasional. Dengan pendekatan ini hukum internasional dan hukum nasional tetap terpelihara kewibawaannya. Teori filterisasi tetap mengakui keberadaan hukum internasional tetapi di dalam pelaksanaannya dilakukan penyaringan guna disesuaikan dengan kepentingan nasional negara-negara bersangkutan.[81]
Hukum internasional, merupakan bagian dari hukum nasional. Demikian menurut teori inkorporasi. Selanjutnya, bagaimana penerapan hukum internasional pada tataran nasional, akan diuraikan dalam praktik yang diterapkan diberbagai negara.
1. Inggris