Kamis, 15 September 2011

Tanggung jawab Pengangkut berdasarkan "Sistem Warsawa"


Tanggung Jawab Pengangkut berdasarkan “Sistem Warsawa”
1.    Catatan Pengantar
Adalah Konvensi Warsawa untuk  Unifikasi Peraturan-peraturan Tertentu berkaitan dengan Pengangkutan  Internasional melalui Udara, tertanggal sejak 1929, yang secara tegas menetapkan dan memaparkan, sebagai prinsip-prinsipn utamanya prinsip tanggung jawab pengangkut udara atas kerugian yang timbul kepada penumpang, bagasi dan barang, dan juga karena kerugian yang disebabkan oleh penundaan.
Peraturan Konvensi Warsawa berlaku di seluruh  dunia dan menunjukkan keandalan dan kemanfaatannya.  Penumpang  mengetahui bahwa di mana dan kapan pun dia  terbang, ada tingkat keseragaman tgertentu dalam peraturan-peraturan yang mengatur tanggung jawab pengangkut, sementara pengangkut yang menyadari batas tanggung jawabnya, dapat membuat pengaturan-pengaturan untuk menjamin dirinya sendiri atas kemungkinan kerugian. Oleh karena itu, tepat untuk menelaah hakikat dan pertimbangan    landasan hukum yang menjadi dasar tanggung jawab pengakut udara, dan dampaknya pada praktik sehari-hari.
Dengan perjalanan waktu dan pengakutan mulai berkembang dalam skala luas, Konvensi Warsawa telah diubah dan ditambah dengan sejumlah kebiasaan untuk menjaganya agar tetap tidak using. Perubahan dan/atrau penambahan itu adalah sebagai berikut:
(1) Protokol Denhaag 1955. Protokol ini ditambahkan pada Konvensi Warsawa dengan  Konvensi Warsawa dengan tujuan menyesuaiakannya dengan kebutuhan pengangkutan modern. Protocol ini  mulai berlaku sejak 1 Agustus 1963, sembilanbelas hari setelah ratifikasi oleh 30 negara.
(2) Konvensi Guadalajara 1961 untuk Unifikasi Peraturan-peraturan Tetentu berkaitan dengan Pengakutan Internasional melalui Udara yang dilakukan oleh Orang selain daripada Pengangkut yang berkontrak. Perubahan ini berbentuk suatu Konvensi Pelengkap karena  ditandatangani karena terkait dengan pokok-pokok persoalan yang sama skali baru, yakni carter.Konvensi ini mulai berlaku 1 Mei, 1964.
(3) Protokol Guatemala 8 Maret 1971 juga dimaksudkan menjadi amandemen pada Konvensi Warsawa. Namun, Protokol ini belum berlaku.
(4) Empat Protokol perubahan lain ditandtangai di Monhteral pada 25 September, 1975. Protocol-protokol ini juga belum berlaku.
(5) Akhirnya ada Persetujuan Montreal Mei 1966, suatu persetujuan swasta yang ditandatangani para pengangkut IATA dan the United States Civil Aeronatic Board, dan yang disebut “Malta Agreement”, yang merupakan suatu persetujuan swasta di antara sejumlah pengangkut udara, sebagian besar dari Eropa.
2.    Konvensi Warsawa
2.1         Penerapan
Naskah asli Konvensi Warsawa dapat dengan baik ditelaah pertama dalam pengertian keberlakuannya, dan kita segera mengetahui dalam Pasal 1 “bahwa Perotokol ini berlaku hanya apabila pengangkutan ini bersifat internasional (sekalipun banyak Negara menerapkan peraturannya juga pada pengangkutan di dalam perbatasan-perbatasan Negara mereka). Unsur utama lain yakni Konvensi berlaku pada semua pengakutan internasional atas orang, bagasi atau barang.
Pengakutan apa saja oleh pesawat udara juga dicakup oleh Konvensi ini, tetapi hanya jika dilaksanakan oleh sebuah perusahaan pengangkutan udara. Pengangkutan serampangan lainnya tidak termasuk di dalamnya. Alas an pengcualian dibuat untuk pengakutan oleh sebuah perusahaan oleh sebuah perusahaan pengangkutan yakni tiket bebas biasanya dikeluarkan dengan mekasud memperoleh imbalan, misalnya untuk tujuan propaganda. Peraturan-peraturan mengenai pengangkutan serampangan saja (apa saja), jika terjadi biasanya dijumpai dalam pengangkutan dalam hukum Nasional.
Memang, timbul pertanyaan, apa pastinya yang dianggap sebagai “pengangkutan internasional”?   Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan pengangkutan internasional? Pasal 1 memberikan jawaban. Untuk tujuan Konvensi pengangkutan internasional berarti setiap pengakutan di mana sesuai dengan persetujuan yang dibuat para pihak, tempat pemberangkatan dan tempat tujuan baik ada interupsi (sela) dalam pengangkutan atau transit atau tidak, berada baik di dalam dua wilayah Negara pihak yang berkontrak, atau di dalam Negara Pihak Peserta Agung Yang Berkontrak jika disetujui tempat pemberhentian di dalam wilayah Negara lain. Penerapan Konvensi tidak terpengaruh oleh kejadian-kejadian incidental seperti pendaratan darurat.   
Hendaknya dicatat, terkait dengan “tempat-tempat pemberhentian yang disepakati” bahwa ini dianggap cukup bagi mereka untuk dirujuk misalnya, dalam jadwak pengangkutan, sekalipun tempat-tempat itu tidak secara khusus disebut di dalam dokumen. Dalam kasus yang sama ditentukan bahwa “sebuah tempat antara yang padanya pengakutan mungkin terputus tidak dianggap sebagai “tempat tujuan”. Ada tiga pengecualian untuk penerapan Konvensi ini:
a.    Konvensi tidak berlaku pada [pengangkutan ninternasional melalui udara yang dilakukan dengan cara percobaan melalui navigasi udara yang   dijalankan dengan memperhatikan penetapan jasa-jasa udara regular pada suatu rute tertentu misalnya jika perusahaan peswat udara merencanakan terbang di atas the North Pole (Pasal 34);
b.    Konvensi tidak berlaku pada pengangkutan yang dilakukan dalam keadaan luar biasa jika lingkup normal bisnis pengangkutan udara   misalnya jika terjadi kecelakaan atas pesawat terbang  yang membawa mesin baru ke sebuah kapal yang mengalami kesulitan mesin ketika melakukan penangkapan ikan sarden (Pasal 34).
c.    Konvensi tidak berlaku dalam pengangkutan yang dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat konvensi pos internasional (Pasal 2 ayat 2)
Berbeda dengan Konvensi lainnya, Konvensi Warasawa menyebutkab secara tegas bahwa syarat-syaratnya berlaku pada pengangkutan yang dilakukan oleh Negara. Namun, mungkin untuk mengadakan persyaratan (reservasi (reservation)) yang mengecualikan tipe pengangkutan ini. Pertanyaannya adalah apakan Konvensi Warswa ditangguhkan sebagai akibat Perang Dunia II atau tidak merupakan persoalan yang secara partaktik penting,sebagaimana dicontohkan dengan sebuah kecelakaan di dekat Frankfurt dalam tahun 1952 yang melibatkan pesawat KLM yang terbang dari Johanesburg (Afrika Selatan) ke Amsterdam (Belanda) melalui Kano (Nigeria), Roma (Italia) dan Frankfurt (Republik Federal Jerman).
Menganalisi  kasus dalam pengertian keberlakuan Konvensi Warsama orang harus berhati-hati dengan memperhatikan fakta-fakta: Uni Afrika Selatan tidak mengaksesi Konvensi pada saat kecelakaan tersebut, sehingga konvensi ini tidak berlaku kepada para penumpang pesawat yang menaiki pesawat di Johanesburg. Belanda dan Nigeria keduanya meratifikasi Konvensi (Inggris meratikasinya atas nama Nigeria), dan kedua nengara telah mengukuhkan lagi keabsahan Konvensi dengan Republik Federal Jerman. Selaras dengan ini, maka Konvensi berlaku kepada para penumpang yang naik di Kano dengan tujuan Frankfurt atau Amsterdam.
Masalah tambahan dalam hubungan antara Nigeria dan Republik Federal Jerman yakni sekalipun kedua Negara telah meratifikasi Konvensi, keadaan perang secara formal masih berlaku di antara keduanya, belum ada traktat perdamaian yang mereka tandatangani. Pertanyaan yang timbul di sini apakah Konvensi Warsawa, sebuah persetujuan non politik, dibatalkan karena  keadaan perang atau hanya ditangguhkan, dan dalam kasus belakangan ini, apakah ketentuan ini berlaku lagi setelah permusuhan usai.
Dalam sebuah kasus pengadilan Amerika, hakim menetapkan bahwa apakah Konensi selaras dengan kepentingan politik atau kemanan Negara harus diputuskan kasus per kasus.
Apakah Negara penandatangan yang tidak meratifikasi menjadi pihak pada Konvensi? Dalam keputusan House of Lords dalam kasus Philippine v. Imperial Airways peertanyaan ini dijawab ya.
Konvensi tidak mencakup semua hubungan antara pengangkut dan penumpang atau pengirim barang. Peratiuran Pelengkap dijumpai dalam Pwersyaratan-Persyaratan IATA (IATA Conditions) berdasarkan Konvensi tersebut…
Pada jenis pesawat apa Konvensi Warsawa akan berlaku? Karena Konvensi ini sendiri tidak memberikan petunjuk  kita hendaknya bersandar pada definisi yang ditemukan dalam Lampiran-lampiran pada Konvensi Chicago, sebuah definisi yang berasal dari Konvensi Paris, yaitu ‘setiap mesin yang dapat memperoleh dukungan  dalam atmosfir dari reaksi udara. Sebuah definisi yang sangat luas, karena definisi ini mencakup juga helicopter, pesawat terbang laying, balon dsb. ICAO telah mengubah definisi ini dengan menambahkan kata-kata ‘selain daripada reaksi terhadap permukaan bumi’ merupakan isyarat menbgenai ketidakberlakuan Konvensi pada pengangkutan hovercraft.
Pertanyaan lain yang memerlukan jawaban: apakah tepatnya penumpang itu?   Seorang pengangkut dalam pengertian Konvensi  adalah seorang yang diangkut oleh pesawat terbang berdasarkan kontrak pengangkutan. Apakah seorang pegawai (employee) pesawat udara dianggap sebagai penumpang dalam pengetian Konvensi?  Mengenai hal ini pendapat terpecah. Pada satu  sisi ada pendapat yang menegaskan bahwa Konvensi berlaku secara eksklusif pada hubungan-hubungan hukum di antara pengangkut dan penumpang  yang memiliki kontrak pengangkutan dengannya. Tak ada satu kewajiban pun di dalam Konvensi terkait dengan orang yang tidak memiliki kontrak pengangkutan dengan pengangkut. Namun, para penulis lainnya, mengikuti pendapat bahwa pegawai  tidak hanya terikat pada syarat-syarat-syarat kontraknya tetapi juga dengan  syarat-syarat kontrak pengangkutan. Menarik membandingkan hal ini dengan Konvensi Roma 1952, yang mungkin tidak  berlaku apabila ada kontrak kerja.  
   
2.2         Dokumen pengangkutan.
2.2.1    Tiket pengakut

Untuk pengakutan penumpang pengangkutan berkewajiban menerbitkan sebuah tiket yang memuat rincian berikut:
-      Tempat dan tanggal terbit;
-      Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
-      Tempat berhenti sementara (transit), jika ada;
-      Nama dan alamat penbgangkut, dan
-      Sebuah pemberitahuan (notice) bahwa pengkutan mematuhi ketentuan-ketentuan Konvensi Warsawa.
Apabila tidak diterbitkan tiket atau  apabila tiket yang diperoleh hilang atau mengandung kontrak pengangkutan yang tidak tepat Konvensi tetap berlaku. Namun akibatnya bagi seorang pengangkut yang menerina penumpang tanpa menerbitkan tiket sangat luas: ia tidak akan dapat menuntut pengecualian atau pembatasan tanggung jawab yang ditetapkan dalam Konvensi, dan ia akan bertanggung jawab sepenuhnya. Adalah karena perundangan domestic untuk memutuskan apakah syarat-syarat kontrak pengangkutan yang sah berlaku. Mengenai tiket ada dua masalah:
(1) Apa yang harus dimasukkan dalam tiket dan dokumen? Unsur-iunsur ini telah disebutkan di atas.
(2) Apakah ada hukuman bagi pengangkut yang tidak mematuhi syarat-syarat Konnvensi?  
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, menurut Konvensi Warsawa pengangkut dibebani tanggung jawab tak terbatas apabila tidak  menerbitkan tiket kepada penumpang.  Berdasarkan Protokol Den Haag aturan ini diberlakukan juga kepada semua pegawainya yang dimilikinya, tidak perlu diatur untuk tiket yang diterbitkan kepada penunmpang secara pribadi. Sikap yang sangat berbeda sekarang berlaku di  pengadilan-pengadilan Amerika Serikat: penyerahan tiket harus memungkinkan penumpang untuk menerima pemberitahuan yang cukup (to take adequate notice) mengenai pembatasan tanggung jawab.
          Sebuah ilustrasi dari prinsip ini dijumpai dalam kasus Merten v. Flying Tiger Line, yang menganggap bahwa “tiket diserahkan kepada penumpang dengan cara sedemikian rupa yang member kesempatan yang sepatunya (reasonable opportunity) kepadanya untuk mengambil tindakan melindungi dirinya sendiri terhadap pembatsan tanggung jawab tersebut. Tindakan melindungi diri sendiri tersebut, misalnya dapat berupa memutuskan untuk tidak terbang, mengadakan kontrak khusus dengan pengangkut, atau mengambil tindakan-tindakan tambah untuk penerbangan itu. Dalam kasus ini tiket tidak serahkan sampai Marten naik ke pesawat terbang. 
          Suatu keadaan menarik timbul apabila penumpang tidak dapat memahami bahasa yang digunakan menerbitkan notice (pemberitahuan) tersebut. Pengadilan Tinggi Yunani menetapkan bahwa fakta penggugat tidak mengetahui bahasa Inggris dan dengan demikian tidak memahami notice tentang berlakunya pembatasan Konvensi Warsawa tidak relevan. Dalam sebuah kasus pengangkutan yang tidak tercakup oleh peraturan Konvensi Warsawa, dianggap oleh pengadilan Pwerancis bahwa di Perancis penerbitan sebuah tiket yang dibuat dalam bahasa Inggris tidak bertentangan dengan hukum.
          Sebagaimana ditunjukkan di atas, tiket harus menyebutkan jadwal pemberhentian antara (transit), dan tafsiran kaku atas Pasal 3 mengharuskan semua rincian  itu disebutkan secara sendiri-sendiri di dalam tiket.

2.2.2    Cek bagasi
Pasal 4 Konvensi mengharuskan bahwa suatu cek bagasi harus diterbitkan untuk pengangkutan bagasi selain daripada butir-butir yang penumpangkan kenakan kepada diri mereka senditri. Cek bagasi harus dibuatkan salinan, dan harus memuat keterangan-ketrangan yang sama dengan keterangan-keterangan di atas yang disebutkan untuk tiket penumpang, jumlah dan berat paket, jumlah nilai yang dinyatakan apabila penumpang membuat pernyataan (deklarasi), dan akhirnya sebuah pernyataan atas akibat bahwa bagasi akan diserahkan dengan beban cek tersebut. Dalam hal cek tidak ada, atau cek hilang kontrak tetap berlaku, dan peraturan-peraturan Konvensi berlaku. Bagaimanapun, pengangkut akan mematuhi tanggung jawab  tak gterbatas jika penerimaan bagasi tanpa menerbitkan cek bagasi. Hal yang sama berlaku dalam hal ketidaktepatan dalam pengusian cek. 
Jumlah persyaratan dikurangi secara  bermakna dengan amandemen Protokol Den Haag;  dengan ,mengikuti praktik sehari-hari, sekarang cek bagasi dapat digabungkn dengan atau dimasukkan di dalam tiket penumpang. Satu-satunya rujukan kepada kemungkinan pembatasan tanggung jawab yang berlaku masih bersifat wajib atas tiket tersebut.
Terkait dengabn bagasi  kita mencatat bahwa IATA memasukkan di dalam Pasal 1 Persyaratan-persaratan Umum Pengangkutan (Penumpang)nya sebuah klausul yang menguraikan makna dari istilah bagasi yang berbunyi sebagai berikut: “Bagasi adalah barang-barang (kecil), efek-efek dan property personal lainnya dari seorang penumpang sebagai diperlukan atau cocok untuk dikenakan, digunakan, nyaman, atau enak  terkait dengan perjalanannya. Kecuali ditegaskan sebaliknya harus dimasukkan bagasi penumpang dengan cek dan tanpa cek”.
Pasal IX ayat 1 (a) IATA menentukan bahwa pengangkutan tidak boleh memasuukkan di dalam bagasinya:
(1) Barang-barang yang tidak merupakan bagasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1
(2) Barang-barang yang mungkin membaahayakan peswat udara atau orang atau barang di atas pesawat terbang
(3) Barang-barang angkutan yang dilarang yang dilarang oleh hukum yang berlaku untuk diangkut dari, ke atau melalui
(4) Barang-barang yang menurut pengangkut tidak sesuai untuk pengangkutan karena alas an berat, ukuran atau sifatnya.
(5) Hewan hidup …. (dengan pengecualian yang disebutkan dalam ayat-ayat lain Pasal ini).
Pengangkuat dapat menolak mengangkut bagi dari barang-barang yang disebutksan diatas, dan ia dapat menolak pengangkutan barang sebelum dari suatu bagasi dengan alas an penemuan bahwa bagasi oenumpang tidak memuat barang-barang tersebut. Selain itu pengangkut memiliki hak untuk meminta penumpang mengijinkan penelitian dirinya atau bagasinbya untuk menentukan apakah ia memiliki
2.2.3     
2.3         ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar