Rabu, 14 September 2011

Bahan Ajar Hukum Internasional


BAGIAN I
UMUM
BAB I 
PENDAHULUAN

A.  Pengertian hukum internasional

          Yang dimaksud dengan hukum internasional di sini adalah hukum internasional publik. Penegasan ini perlu, guna membedakan hukum internasional dengan hukum perdata internasional. Kedua jenis hukum ini sekalipun memiliki persamaan tetapi juga memiliki perbedaan-perbedaan.
          Untuk memperoleh kejelasan mengenai persamaan dan perbedaan antara kedua bidang hukum itu, Mochtar Kusumaatmadja merumuskan kedua bidang hukum tersebut sebagai berikut:[1]
    
1.    Hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur  hubungan hukum perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan kata lain, hukum yang mengatur hubungan perdata antara pelaku hukum yang berlainan.
2.    Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat perdata.

          Dari kedua rumusan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menegaskan adanya persamaan dan perbedaan antara kedua bidang hukum tersebut. Persamaannya, yakni keduanya mengatur hubungan hukum yang melintasi batas-batas negara. Perbedaannya terletak pada sifat dari hubungan hukumnya. Hukum perdata internasional mengatur hubungan hukum yang bersifat perdata, sedangkan hukum internasional publik mengatur hubungan hukum yang tidak bersifat perdata.[2]
          Selain itu, berbeda dengan hukum internasional (publik) yang aturan hukumnya benar-benar bersifat internasional dalam arti hanya ada satu hukum yang berlaku bagi masyarakat internasional,[3] hukum perdata internasional pada hakikatnya merupakan hukum nasional. Hanya saja, dalam hukum perdata internasional ada unsur asingnya. Unsur asing itu terdapat di dalam hubungan hukumnya[4]
          Timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan hukum internasional tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa rumusan yang diajukan oleh para pakar di bidang hukum internasional.
          Oppenheim merumuskan hukum internasional sebagai himpunan aturan kebiasaan dan perjanjian internasional yang dianggap mengikat menurut hukum oleh negara-negara dalam hubungan mereka satu dengan lainnya.[5] Menurut Brierly, hukum internasional dapat dirumuskan sebagai himpunan aturan dan asas-asas perilaku yang mengikat terhadap negara-negara beradab dalam hubungan negara-negara ini satu dengan lainnya.[6] Sejalan dengan rumusan ini Mohammed Bedjaoui menegaskan bahwa hukum internasional terdiri dari seperangkat norma dalam bentuk tertulis atau sebaliknya, yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan hubungan di antara negara-negara itu sendiri.[7]   
          Ketiga  rumusan tersebut, menegaskan bahwa hukum internasional mengatur hubungan antar negara. Rumusan ini, yang menekankan pada pengaturan hubungan antar negara[8] dapat kita golongkan sebagai rumusan tradisional, suatu  rumusan yang sudah  tidak sesuai dengan kenyataan sekarang. Pada masa sekarang hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar negara, tetapi juga mengatur hubungan hukum antara negara dengan organisasi internasional bahkan juga dengan orang perorangan. Tegasnya, hukum internasional tidak lagi sekedar mengatur hubungan atau persoalan antar negara tetapi lebih luas daripada itu.
          Sejalan dengan kenyataan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan sebagai berikut:[9]
Hubungan atau persoalan internasional pada masa sekarang tidak semuanya dapat disebut hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan antar negara. Kedudukan-kedudukan pejabat internasional tempat mereka bekerja tidak tercakup di dalamnya.
Demikian pula pelanggaran-pelanggaran ketentuan pidana daripada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 oleh perorangan tidak dapat dikatakan persoalan antar negara. Sebaliknya, persoalan di atas sukar digolongkan dalam bidang hukum tata usaha negara atau hukum pidana yang tradisional.

          Berdasarkan kenyataan ini, maka hukum internasional dirumuskan sebagai keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara: (1) negara dengan negara, (2) negara dengan subyek hukum lain bukan negara, dan subyek hukum bukan negara  satu sama lain.[10]  Rumusan yang hamper sama dikemukakan juga oleh T.J. Lawrence. Lawrence merumuskan hukum internasional sebagai kumpulan peratyuran yang menetapkan perbuatan himpunan umum Negara-negara yang beradab dalam hubungan mereka satu dengan lainnya, dan masing-masing Negara tersebut dengan subyek-subyek hokum lainnya “the aggregate of the rules which determine the conduct of the general body of civilised States in their dealings with each other and each others subjects. (T.J. Lawrence)”.[11]
Rumusan atau batasan ini dapat kita sebut sebagai rumusan modern. Rumusan modern ini dikemukakan juga oleh,  dan J.G. Starke. Menurut Starke:[12]
Hukum internasional dapat dirumuskan sebagai himpunan hukum yang sebagian besar terdiri atas asas-asas dan aturan-aturan perilaku yang dirasakan mengikat untuk ditaati oleh negara-negara itu, dan karena itu pada umumnya ditaati dalam hubungan negara-negara itu satu dengan lainnya, dan mencakup juga:
a) aturan hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan lembaga atau organisasi internasional itu satu dengan lainnya, dan
b) hubungan lembaga atau organisasi internasional itu dengan negara dan orang perorangan, dan aturan hukum tertentu yang berkaitan  dengan orang-perorangan dan badan-badan bukan negara sejauh hak-hak dan kewajiban orang-perorangan itu merupakan kepentingan masyarakat internasional.
         
          Dengan demikian, maka hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar negara, tetapi juga mengatur hubungan antara negara dengan subyek hukum lain bukan negara, dan subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya. Tentang subyek hukum bukan negara ini akan dibahas dalam bagian lainnya.
          Oppenheim membedakan hukum internasional atas hukum internasional universal, hukum internasional umum dan hukum internasional khusus.[13] Hukum internasional universal, adalah hukum internasional yang berlaku untuk semua negara tanpa kecuali, seperti hukum yang berkaitan dengan hak-hak duta, dan hukum mengenai perjanjian internasional. Hukum internasional umum adalah hukum internasional yang mengikat banyak sekali negara, seperti Deklarasi Paris 1856, Perjanjian Internasional tentang Ruang angkasa 1967. Dan, hukum internasional khusus adalah hukum internasional yang mengikat dua atau beberapa negara.
          Tampaknya, apa yang disebut hukum internasional universal dijadikan satu dengan hukum internasional umum oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut beliau, dalam perwujudannya di samping hukum internasional umum dikenal juga hukum internasional regional dan hukum internasional khusus. Hukum internasional regional, adalah hukum internasional yang terdapat dan berlaku di kawasan tertentu. Hukum internasional jenis ini bersumber dari kebiasaan, dan pesertanya terbatas pada kawasan tersebut.  Sedangkan hukum internasional khusus, adalah hukum internasional yang berlaku untuk negara-negara tertentu. Hukum internasional khusus ini timbul dari perjanjian internasional neka pihak, dan pesertanya tidak mesti terbatas pada kawasan tertentu saja.[14] Baik hukum internasional regional  maupun hukum internasioal khusus, keduanya, tidak bertentangan dengan hukum internasional umum. Bahkan, keduanya dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional umum. Konsep tentang landas kontinen yang bermula dari Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman pada tahun 1945 misalnya, dengan cepat diterima oleh masyarakat internasional dan sekarang menjadi hukum internasional yang berlaku umum.
          Selain istilah hukum internasional, dikenal juga istilah hukum dunia (world law). Kedua istilah ini bertolak dari konsep yang berbeda. Pengertian hukum internasional didasarkan pada pikiran adanya sejumlah negara berdaulat, masing-masing berdiri sendiri, yang satu tidak di bawah yang lainnya. Di sini, tidak terdapat suatu badan yang berada di atas negara, baik dalam bentuk negara dunia maupun badan internasional lainnya. Dan, oleh karena itu, tertib hukum yang mengaturnya bersifat koordinasi. Hukum dunia didasarkan pada konsep yang sama sekali berbeda. Konsep yang mendasari hukum dunia ini banyak dipengaruhi oleh analogi dalam hukum tata negara. Menurut konsep ini, hukum dunia merupakan semacam negara (federal) dunia yang meliputi semua negara di dunia. secara hirarkhis negara dunia berada di atas negara-negara. Dan, tertib hukum yang mengaturnya bersifat subordinasi. Sesuai dengan kenyataan, maka konsep pertama yang  mendasari tertib hukum internasional lebih sesuai dengan keadaan sekarang. Kemungkinan terwujudnya negara dunia, yang diatur oleh hukum dunia masih jauh dari kenyataan.

B. Sifat dan hakikat mengikatnya hukum internasional

          Sebagaimana halnya dengan hukum pada umumnya, hukum internasional juga harus memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat itu adalah: ada masyarakat, ada seperangkat aturan tingkah laku manusia di dalam masyarakat, dan adanya persetujuan akan adanya kekuasaan dari luar yang memaksakan ditaatinya aturan hukum tersebut.[15]
          Menurut Oppenheim, masyarakat merupakan himpunan dari sejumlah orang-perorangan yang sedikit banyak terikat bersama melalui kepentingan bersama yang menimbulkan hubungan tetap dan beragam di antara orang-perorangan tunggal itu. Rumusan masyarakat ini, tidak hanya meliputi masyarakat orang-perorangan, tetapi juga masyarakat dari masyarakat pribadi (individual community) seperti negara.[16] Jadi, sebagaimana halnya dengan orang-perorangan sebagai anggota masyarakat, maka suatu negara pun merupakan anggota dari masyarakat negara-negara atau masyarakat internasional. Sekarang, terdapat lebih dari 190 negara, 185 negara di antaranya adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.[17]

          Akan tetapi, adanya sejumlah negara saja tidak cukup untuk membuktikan adanya masyarakat internasional. Untuk itu, diperlukan hubungan tetap di antara negara-negara yang merupakan anggota dari masyarakat internasional itu. Hubungan tetap di antara negara-negara itu dapat terlihat dari berbagai hubungan, seperti hubungan perdagangan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga. Hubungan tetap ini perlu dipelihara dan dipertahankan. Dan, untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan ini diperlukan hukum.[18]
          Adanya sejumlah negara ini merupakan unsur materiil (fakta fisik) bagi adanya masyarakat internasional. Di samping unsur materiil ini diperlukan pula faktor lain yang merupakan unsur pengikat bagi masyarakat internasional tersebut, yaitu faktor non materil. Unsur pengikat atau faktor non materiil ini adalah, adanya kesamaan asas-asas hukum di antara bangsa-bangsa di dunia. Asas-asas yang bersamaan ini dalam ajaran mengenai sumber hukum formal dikenal dengan asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, yang merupakan penjelmaan dari hukum alam.[19] Jadi, adanya masyarakat internasional merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah.

          Jika keberadaan masyarakat internasional merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah, demikian pula halnya dengan aturan tingkah laku dalam masyarakat internasional. Aturan-aturan tingkah laku dalam masyarakat internasional ini dapat dijumpai baik dalam hukum perjanjian  maupun hukum kebiasaan internasional. Penggunaan bendera putih sebagai bendera diplomatik pada masa perang, dan pemberian suaka kepada orang-orang yang meminta perlindungan di Kantor Kedutaan Asing berasal dari hukum kebiasaan. Dan, aturan-aturan mengenai hubungan diplomatik, hukum laut internasional, hukum ruang angkasa, dan hukum perjanjian internasional bisa dijumpai dalam berbagai perjanjian internasional.
          Selanjutnya, untuk berlakunya hukum internasional harus ada kekuasaan dari luar yang memaksakan penaatannya. Dalam hukum internasional, kekuasaan dari luar tersebut adalah masyarakat internasional.
          Berbeda dengan hukum nasional, yang memiliki badan-badan legislatif, eksekutif, peradilan atau badan polisional yang dapat memaksakan ditaatinya aturan hukum ini, di dalam hukum internasional badan-badan ini tidak ada.[20] Tidak adanya badan-badan ini, menyebabkan beberapa pemikir seperti Hobbes, Pufendorf, Spinoza dan Austin menyangkal sifat mengikat dari hukum internasional. Bagi mereka, hukum internasional bukanlah hukum. Menurut Austin hukum internasional bukan hukum dalam arti sebenarnya, tetapi hanya aturan moral positif.[21]
          Pendapat Austin ini, sejalan dengan pandangannya tentang hukum. Austin merumuskan hukum sebagai perintah umum dari suatu penguasa (sovereign) yang ditujukan kepada warganya (his subjects). Sebagai perintah hukum harus dikeluarkan oleh orang atau badan yang dipatuhi oleh masyarakat tertentu. Pembentuk hukum tersebut juga meliputi pembentuk undang-undang.[22]
          Pendapat Austin tidak sepenuhnya benar. Pengertian hukum yang dikemukakan Austin, hanya benar untuk hukum tertulis atau hukum dalam arti undang-undang, yang dibuat oleh Parlemen di negara konstitusional atau kekuasaan berdaulat lainnya di negara-negara nir konstitusional. Pengertian tersebut tidak mencakup hukum kebiasaan. Padahal, dalam kenyataannya tidak ada suatu masyarakat yang hanya cukup dengan hukum tertulis saja. Di mana pun selalu ada hukum kebiasaan yang berdampingan dengan hukum tertulis.[23]

          Selanjutnya, pendapat Austin juga dibantah  Starke. Menurut Starke, pendapat Austin dibatah oleh kenyataan berikut:[24]
a.  Yurisprudensi historis modern tidak memperhitungkan kekuatan teori hukum umum Austin. Sudah ditunjukkan bahwa dalam banyak masyarakat tanpa suatu otoritas legislatif formal pun suatu sistem hukum berlaku dan ditaati dan bahwa hukum demikian tidak berbeda dalam operasi mengikatnya dari hukum suatu negara dengan suatu otoritas legislatif sesungguhnya.
b. Pandangan-pandangan Austin, sekalipun benar bagi zamannya, tidaklah benar bagi hukum internasional dewasa ini. Pada abad pertengahan yang lalu, sejumlah besar “perundangan internasional” sudah terlahir sebagai akibat perjanjian-perjanjian pembuatan hukum dan konvensi-konvensi, dan proporsi-proporsi aturan kebiasaan hukum internasional berkurang. Seandainya benar bahwa otoritas legislatif berdaulat yang tegas di bidang internasioal, prosedur untuk merumuskan aturan-aturan “perundangan internasional” ini dengan jalan konferensi-konferensi internasional atau melalui organ -organ internasional yang ada praktis seperti sudah diselesaikan, sekalipun tidak seefisien prosedur legislatif negara. 
c.  Masalah-masalah hukum intenasional selalu ditangani sebagai masalah yuridis oleh siapa pun yang melaksnakan urusan internasional dalam berbagai Departemen Luar Negeri, atau melalui berbagai badan-badan administratif internasional yang ada. Dengan kata lain, instansi-instansi otoritatif yang bertanggung jawab atas tetap berlangsungnya pergaulan internasional tidak menganggap hukum internasional kitab undang-undang moral belaka.

          Bahwa hukum internasional bukanlah aturan moral belaka, karena berbeda dengan moral yang bersumber dari kesadaran hati nurani dan daya paksanya berasal dari dalam, maka hukum termasuk hukum internasional dipaksakan oleh kekuasaan dari luar.[25] Yang dimaksud dengan kekuasaan dari luar, adalah kekuasaan dari masyarakat. Dan, untuk hukum internasional kekuasaan dari luar tersebut tentu saja masyarakat internasional.
          Jadi, hukum internasional benar-benar merupakan hukum yang mengikat masyarakat internasional. Hanya saja, diakui bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah. Kelemahan ini, terutama mencolok pada masa perang. Sebab, pada masa ini pihak-pihak yang berperang acap meremehkan aturan hukum internasional tentang perang. Akan tetapi, hukum yang lemah tetaplah hukum.[26]
          Persoalannya, apakah yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam berbagai teori tentang mengikatnya hukum internasional. Teori-teri tersebut adalah: (1) teori hukum alam, (2) teori kehendak negara, (3) teori kehendak bersama negara, (4) teori kaidah hukum dan (5) teori kenyataan kemasyarakatan (fakta sosial).[27]

          Menurut teori hukum alam, hukum internasional mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan bangsa-bangsa. Dengan kata lain, negara-negara terikat pada hukum internasional dalam hubungannya satu dengan lainnya karena hukum internasional merupakan  hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum alam.Teori ini disekularkan oleh Hugo de Groot dan lebih disempurnakan oleh Emerich Vattel (1714-1767).
          Menurut Vattel hukum bangsa-bangsa yang muncul dari hukum alam mutlak perlu dipatuhi. Sebab, hukum bangsa-bangsa ini mengandung petunjuk-petunjuk yang diperintahkan hukum alam kepada negara-negara, dan tidak kurang mengikatnya terhadap negara-negara daripada terhadap individu-individu.
          Kelemahan dari teori ini, karena sifatnya yang samar-samar dan tergantung pada pendapat subyektif dari yang bersangkutan seperti konsep keadilan, kepentingan masyarakat internasional, kemanfaatan, keharusan dan sebagainya. Kesamaran ini semakin bertambah dalam kaitannya dengan hukum internasional. Ini, disebabkan karena perbedaan taraf integrasi, kebudayaan dan sistem nilai yang biasanya dikaitkan dengan hukum alam meskipun istilah yang dipergunakan mungkin sama.

          Meskipun demikian, konsep hukum alam ini mempunyai pengaruh besar dan baik bagi prkembangan hukum internasional. Konsep hukum alam ini telah menimbulkan  keseganan terhadap hukum internasional, meletakkan dasar moral yang berharga bagi hukum internasional dan bagi perkembangan selanjutnya.
          Sisa-sisa dari teori hukum alam masih ada sampai sekarang. Ini bisa dilihat misalnya, dalam konsep yang melandasi Pernyataan Hak-hak dan Kewajiban Negara-negara (Draft Decalaration on the Rights and Duties of States) yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional.[28]
          Teori kehendak negara menyatakan tunduknya negara kepada hukum internasional adalah atas kemauan negra itu sendiri. Menurut para penganut teori ini, sumber dari segala hukum adalah negara, dan, hukum internasional itu mengikat karena negara-negara itu atas kemauan sendiri tunduk pada hukum internasional. Tokoh dari aliran ini adalah George Jellineck, dan  Zorn. Menurut Zorn, hukum internasional tidak lain dari hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara.
          Teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu (1) tidak dapat menerangkan bagaimana hukum internasional itu mengikat; (2) bagaimana kalau suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk terikat?; (3) mengapa negara baru langsung terikat pada hukum internasional, terlepas dari dari ada tidaknya kemauan untuk terikat pada hukum internasional?; dan (4) bagaimana halnya dengan hukum kebiasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh teori kehendak negara.
          Bukan kehendak negara satu-satu persatu yang mengikat mereka pada hukum internasional, melainkan kemauan bersama dari negara-negara itu. Demikian, menurut Tripel. Kehendak bersama ini lebih tinggi daripada kehendak masing-masing negara. Teori ini disebutnya, “Vreinbarungstheorie”. Hukum kebiasaan, menurut teori ini, merupakan persetujuan diam-diam. Dan, Triepel menolak kemungkinan untuk suatu negara melepaskan diri dari ikatan tersebut.
          Oleh karena  berlakunya hukum internasional disandarkan pada kemauan negara, maka teori ini pada dasarnya memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian internasional. Di sini teori kehendak mempunyai titik pertemuan dengan teori alami tentang perjanjian. Menurut teori hukum alam klasik, hukum itu mengikat sepanjang orang-orang mau terikat olehnya. Diterapkan pada nasyarakat internasional yang pada waktu itu merupakan masyarakat antar negara, teori ini sampai pada simpulan yang sama dengan teori kehendak.
          Dasar fikiran dari teori kehendak atau kehendak bersama tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan hukum yang mengikat kehidupan. Sebab, ia bisa saja melepaskan diri dari kekuatan hukum yang mengikat itu dengan cara menarik kembali persetujuannya untuk terikat. Dan, persetujuan negara untuk tunduk kepada hukum internasional menghendaki  adanya norma atau hukum lebih dulu terlepas dari kehendak negara-negara, sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan.
          Teori berikutnya mengenai mengikatnya hukum internasional adalah teori kaidah hukum. Menurut teori ini, norma hukumlah yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional. Teori ini dikemukakan oleh para penganut mazhab Wina, yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Mazhab ini berpendapat, bahwa yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional adalah kaidah hukum yang lebih tinggi yang didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi, dan berakhir pada kaidah dasar (Grundnorm) sebagai kaidah yang tertinggi. Kaidah dasar ini harus diterima sebagai hipotesa asal (Ursprungshypothesis) yang tak dapat diterangkan secara hukum. Dan, yang dianggap sebagai kaidah dasar dari hukum internasional adalah asas Pacta Sunt Servanda.
          Teori ini tidak dapat menerangkan apa sebabnya kaidah dasar itu mengikat. Akibatnya, seluruh sistem yang logis menjadi tergantung di awang-awang, sebab, tidak mungkin menyandarkan kekuatan hukum internasional itu pada suatu hipotesa. Dengan menyatakan bahwa persoalan kekuatan grundnorm merupakan persoalan di luar hukum, maka persoalan mengikatnya hukum internasional dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum. Dengan demikian, maka teori tentang dasar mengikatnya hukum internasional dikembalikan lagi kepada teori-teori hukum alam.
          Berbeda dengan teori-teori tersebut di atas, mazhab Perancis dengan para pemukanya, Fauchile, Scelle dan Duguit berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum internasioal dengan mengaitkannya pada kenyataan-kenyataan hidup manusia. Mereka mendasarkan kekuatan mengikatnya hukum internasional didasarkan pada faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia, yang mereka sebut faktor-faktor kemasyarakatan (fait sosial). Kenyataan-kenyataan kemasyarakatan inilah yang menjadi dasar mengikatnya segala hukum. Dan, ini dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang perorangan juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar mengikatnya hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu guna terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.

C. Sanksi dalam hukum internasional

          Penolakan hukum internasional sebagai hukum selain didasarkan pada alasan bahwa hukum internsional tidak dibentuk oleh suatu badan yang khusus untuk itu, seperti badan legislatif atau pengundang-undang pada hukum nasional juga kerap didasarkan pada alasan ketiadaan sanksi pada jenis hukum ini. Penolak atas dasar ketiadaan sanksi ini disebabkan karena kekeliruan pandangan mengenai makna sanksi.
          Bagi para penolak ini, sanksi acap hanya dilihat seperti sanksi pada hukum pidana. Di sini, sanksi kerap dilihat sebagai hukuman pencabutan kebebasan (hukuman penjara), dan hukuman penghilangan nyawa (hukuman). Karena dikaitkan dengan hukuman pada hukum pidana, juga bekerjanya hukum internasional kerap dikaitkan dengan polisi dan kejaksanaan, serta badan peradilan (pidana)[29] internasional. Mereka mengabaikan adanya berbagai macam atau bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan oleh masyarakat internasional jika terjadai berbagai pelanggaran terhadap hukum internasional.
          Philip M. Brown, menyebut  sanksi internasional sebagai “compulsory force of reciprocal advantage and fear of retalation”. Dalam The North Atlantic  Coast Fisheries Arbitration of 1910, pengadilan (arbitrasi) menyebut sanksi hukum internasional sebagai “appeal to public opinion, publication of correspondence, cencure by Parliament, demand for arbitration with the odium attendant  on a refusal to arbitrate, rufture of relation, reprisal etc.”.[30]
          Keberadaan sanksi dalam hukum internasional juga ditegaskan oleh Hans Kelsen dalam karya terakhirnya Principles of International Law. Di sini Kelsen sampai pada simpulan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sebenarnya (true law)  karena …. Hukum ini memberikan sanksi, seperti penggunaan pembalasan (reprisal), perang dan penggunaan kekerasan pada umunya, dan menyebabkan penggunaan sanksi-sanksi ini sah sebagai tindakan pembalasan (counter-measures) terhadap kesalahan menurut hukum (legal wrong), tetapi ini tidak sah pada kasus-kasus lain …. [31]
         
         

         



[1]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I - Bagian Umum, Binacipta, Bandung, 1978, hal 1,2).
[2]I b i d, hal. 1.
[3]Anthony Aust mengemukakan:  ‘that is the body of rules of the domestic law  of a state which applies when a legal issue contains a foreign element, and it has to be decided whether a domestic court should apply foreign law or cede jurisdiction to a foreign court. Many of the rules are now found in legislation’ (hukum perdata internasional adalah himpunan  peraturan hokum nasional (domestic law) dari suatu Negara yang berlaku ketika masalah hokum (legal issue) mengandung unsure asing, dan masalah tersebut harus diputuskan baik oleh pengadilan nasional (domestic court) akan menerapkan hokum asing. Banyak dari peraturan ini sekarang ditemukan dalam perundang-undangan (legislation) (Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University Press, 2005, hal. 1).
[4]Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, BPHN, Jakarta, 1977, hal.  6.
[5]L. Oppenheim - H. Lauterpacht, International Law, A. Treatise, Vol.I Peace, Longmans, Green  & Co, London - New York - Toronto, 1955, hal. 4.
[6]J.L. Brierly,  The Law of Nations, Humpery Waldock, Oxford, London, 1972, hal. 1
[7]Lihat Mohammed Bedjaoui, ‘General Introduction’ dalam Mohammed Bedjaoui (Ed), Inhternational Law, Achievement and Prospect,  UNESCO, Paris – Martinus Nijhoff, Dordrecht/ Boston/London, 1991, hal. 2. 
[8]Bedjaoui menegaskan sebagai berikut “… in principle, it regulate the conduct of state and not that individual.  States are still almost the only protagonist on the international stage. …. The fundamental characteristic of this international law is thus that its function function is to regulate the relations between States, in other words between entities known to be sovereign and which in principle, assert their independence of any legal order.    
[9]Kusumaatmadja, op. cit., hal. 2,3
[10]Ibid,  hal. 3-4.
[11]T.J. Lawrence,  A Handbook of Internatinal Law, Cambridge, 1885, Digitized by Mcrosoft, hal. 1.
[12]J.G. Starke, Introduction to International Law, edisi kesembilan, diterjemahkan oleh Sumitro L.S. Dauredjo, “Pengantar Hukum Intrnasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 1.
[13]Oppenheim -Lauterpacht, op. cit., hal. 5
[14]Kusumaatmadja, cp. cit., hal. 8.
[15]Oppenheim -Lauterpacht, op. cit., hal. 11.
[16]Ibid.
[17]Departement of Public Information, Basic Fact About the United Nations, United Nations, New York, 1995, hal. 307-308.
[18]Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 12.
[19]Ibid.,  hal. 13-14.
[20]Tidak adanya polisi dan tentara yang dapat segera mengambil tindakan jika terjadi pelanggaran hokum internasioal menyebabkan hokum internasional kerap dianggap sebagai bukan hokum yang sebenarnya (not really law) (Lihat Aust, op.cit., hal. 3).
[22]Joseph Raz, The Concept of Legal System, an Introduction to the Theory of Legal System,   Clarendon Press, Oxford, 1980, hal. 5.
[23]Oppenheim-Lauterpacht, op. cit.,  hal. 6
[24]Starke, op. cit.,  hal. 16.
[25]Oppenheim - Lauterpacht, op. cit.,  hal. 8.
[26]Ibid.,  hal. 14.
[27]Lihat Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 43-50.
[28]Starke, op. cit.,  hal. 21.
[29]Mahkamah Kejahatan (Pidana) Internasional, baru-baru ini saja lahir, yaitu sekitar tahun 2002, dan sampai sekarang belum mulai berfungsi sebagaimana mestinya, sekalipun kelengkapan sebagai suatu lemaga peradilan sudah terepenuhi.  
[30]Lihat William Bishop Jr., International Law, Cases and materials, Little Brown and Company, 1971, hal. 10. 
[31]D.J. Harris, Cases and materials on International law, Fifth Edition, Sweet%Maxwell, 1988, hal. 10. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar