BAB III
PERLINDUNGAN KORBAN PERANG DI DARAT
A. Pengantar[1]
Hukum humaniter internasional dibangun atas dasar kemanusiaan, keadilan dan kenetralan. Hukum ini berasal dari kosep sejarah mengenai keadilan sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Hukum (Code) Hammurabi, Kitab Hukum Justinian dari kekaisaran Bizantium, dan Kode Liber yang dipergunakan selama Perang Saudara Amerika.[2]
Perlindungan terhadap korban perang untuk pertamakalinya dituangkan dalam bentuk Konvensi pada tahun 1684, dalam Konvensi Jenewa 1864. Konevensi ini menegaskan bahwa:
Ø ambulan, rumah sakit militer, dan personil yang melayani mereka harus diakui sebagai netral dan dilindungi selama konflik;
Ø warganegara yang membantu orang yang luka harus dilindungi;
Ø kombatan yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh salah satu pihak pesengketa;
Ø lambang palang merah di atas latar putih berfungsi sebagai lambang perlindungan untuk menemukenali personil, perlengkapan, dan fasilitas kesehatan.
Perlindungan korban perang ini, selanjutnya diperluas dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, dan Protokol-protokol Tambahannya. Perlindungan ini untuk sebagian besar ditujukan kepada sengketa bersenjata internasional, diatur dengan rinci, dan sebagian lainnya, mengatur secara garis besar perlindungan korban perang dalam sengekata bersenjata non internasional atau perang saudara (civil war). Pengaturan mengenai perang saudara (civil war) ini diatur dalam Pasal 3 yang Bersamaan (Common Articles 3) pada Konvensi Jenewa 1949. Tujuan Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahannya adalah untuk melindungi pihak lawan “yang dikuasai suatu pihak yang bersengketa” seperti tawanan perang, personil kesehatan atau orang-orang sipil.
Hukum Jenewa memberikan perlindungan bagi semua mereka, yang sebagai pesengketa bersenjata, jatuh tangan musuh, seperti “tawanan perang, personil kesehatan, dan orang-orang sipil”[3]. Perlindungan ini bukan terhadap kekerasan perangnya sendiri, tetapi atas kekuasaan sewenang-wenang yang dilakukan salah satu pihak dalam sengketa bersenjata terhadap pihak lawannya. Perlindungan jenis ini diberikan pertama kali dalam tahun 1864, kepada ‘tentara yang terluka di medan perang darat’. Sejak tahun 1949 perlindungan ini diperluas hingga semua kategori orang yang disebutkan di dalam empat Konvensi Jenewa 1949. Keempat Konvensi Jenewa tersebut adalah:
- Konvensi I untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Luka dan Sakit di Darat (the Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field) (Konvensi Jenewa atau Palang Merah I (the First or Red Cross Convention));
- Konvensi (II) untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Luka, Sakit dan Koban Karam di Laut (the Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea) (Konvensi Jenewa atau Konvensi Palang Merah Kedua (the Second or Sea Red Cross Convention));
- Konvensi (III) tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang (the Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War) (Konvensi Ketiga atau Konvensi Tawanan Perang).
- Konvensi (IV) tentang Perlindungan Orang-orang Sipil pada Waktu Perang (the Convention (IV) Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War) (Konvensi Keempat atau Konvensi Orang-orang Sipil (the Fourth or Civilians Convention)).
Konvensi I-III terkait dengan petempur (combattant) yang jatuh ke tangan musuh (dan beberapa kelompok terkait). Konvensi I dan II secara khusus melindungi para kombatan yang memerlukan perlindungan dari kenyataan bahwa mereka terluka, sakit atau karam. Konvensi III menetapkan peraturan umum mengenai status, perlindungan dan perlakuan terhadap tawanan perang, baik sehat maupun terluka. whether healthy or wounded.
Mengenai perlindungan terhadap para tawanan perang ini, Pasal 4 Konvensi III menyebutkan daftar mereka yang mereka yang diberikan perlindungan sebagai tawanan perang:
1. para anggota angkatan bersenjata dari suatu Pihak yang bersengketa, sekalipun pemerintah atau penguasa mereka tidak diakui oleh pihak lawan;
2. para anggota milisi lainnya atau korp relawan termasuk anggota gerakan perlawanan yang terorganisir, yang tergolong kepada satu pihak pesengketa dan beroperasi di luar atau di dalam atau di luar wilayah mereka, walaupun wilayah ini adalah wilayah pendudukan; dengan ketentuan kelompok tersebut memenuhi empat syarat Pasal 1 Peraturan Den Haag (the Hague Regulations) yang diulangi dalam pasal-pasal yang terkait dengan Konvensi-konvensi (Jenewa 1949):
(a) dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas (tindakan) bawahannya;
(b) memiliki tanda pengenal yang dapat dikenali dari jauh;
(c) membawa senjata secara terang-terangan;
(d) melaksanakan operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan peran;
3. para peserta dalam leve´e en masse, dengan syarat membawa senjata secara terbuka dan menghormati hukum dan kebiasaan perang;
4. orang yang menyertai angkatan bersenjata yang bukan anngota, seperti para wartawan perang yang diakreditasi sebagaimana mestinya dan para anggota dinas kesejahteraan;
5. para anggota anak buah kapal dagang dan awak peswat terbang sipil dari pihak-pihak pesengketa.
Semua mereka yang termasuk dalam kategori adalah “petempur”, karena itu mereka mengambil bagian langsung dalam tindakan permusuhan dan, apabila tertangkap oleh musuh, biasanya ditahan sebagai tawanan perang selama masa permusuhan. Dan, mereka yang termasuk kategori 4 dan 5, adalah orang-orang sipil, namun mereka ditangkap dalam keadaan yang menunjukkan adanya hubungan erat dengan angkatan bersenjata musuh atau usaha perang. Sekalipunpihak penangkap dapat memutuskan membiarkan mereka pergi, berdasarkan pertimbangan penangkapan mereka berhak menahan mereka untuk beberapa lama, bahkan selama sengkjeta bersenjata. Jika keputusannya demikian, maka pihak penahan harus memperlakukan mereka sebagai tawanan perang.
Konvensi Keempat melindungi orang-orang sipil dalam kategori tertentu. Pasal 4 menentukan orang-orang yang dilindungi sebagai “mereka yang pada waktu tertentu dan dengan cara apa pun, dalam kasus sengketa bersenjata atau pendudukan menemukan diri mereka dalam kekuasan suatu Pihak pesengketa atau Negara Pendudukan sedangkan mereka bukan warganegara dari pihak tersebut. Ada beberapa pengecualian dari prinsip umum ini, termasuk, misalnya, warganegara Negara netral di wilayah suatu pihak pesengketa dan warga Negara dari Negara yang turut berperang (co-belligerent), asalkan “Negara dari orang-orang yang menjadi warganegara tersebut memiliki perwakilan diplomatic normal dengan Negara yang menahan mereka”, dan tentu saja mereka semua dilindungi oleh Konvensi I-III.
Ada beberapa hal yang memerlukan penjelasan di sini. Pertama lingkup terbatas dari Konvensi tentang Orang-orang Sipil. Konvensi ini tidak dimaksdukan untuk melindungi orang-orang sipil dari bahaya perang, seperti pemboman udara juga tidak memberikan mereka perlindungan dari tidakan Negara mereka sendiri. Perlindungan ini dibserikan kepada orang-orang sipil dalam kekuasaan musuh. Kedua, para pejuang perlawanan, atau pejuang gerilya yang tidak memenuhi empat syarat sebagai petempur tidak dapat menuntut hak diperlakukan sebagai tawanan perang. Di sisi lain, mereka berhak atas perlindungan yang lebih sedikit dari Konvensi Sipil. Ketiga, ada pertanyaan penting menyangkut hal-hal di atas, yang tidak mudah dijawab. Siapa yang memberikan jawaban ini? Dan bagaimana orang-orang yang terkait (katakanlah pejuang perlawanan di wilayah pendudukan) diperlakukan sementara? Pasal 5 Konvensi Tawanan Perang menjawab pertanyaan ini sebagai berikut: ‘Apabila timbul keraguan mengenai apakah orang yang telah melakukan tindakan pihak yang berperang yang jatuh ke dalam kekuasaan musuh, masuk dalam kategori yang disebutkan dalam Pasal 4, orang-orang tersebut menikmati perlindungan dari Konvensi ini sampai status mereka ditentukan oleh pengadilan yang berwenang’. Aturan ini, yang diterapkan misalnya oleh Amerika Serikat dalam Perang Vietnam, da oleh Israel di Timur Tengah, menghilangkan risiko keputusan sewenang-wenang oleh komandan perorang dan kekurangnya menimbulkan kemungkinan adanya keputusan yang seperti itu.
Terkait dengan hal ini, maka dalam perlindungan terhadap korban perang ini dibicarakan mengenai: perlindungan korban perang di darat, perlindungan korban karam, perlindungan terhadap tawanan perang; perlindungan terhadap orang atau penduduk sipil, dan perlindungan korban perang dalam sengketa bersenjata non internasional atau perang saudara (civil war).
B. Perlindungan Korban Perang di Darat
Perlindungan atas korban perang di darat sebagaimana telah diuraikan di atas diatur dalam Konvensi Jenewa I 1949 untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Luka dan Sakit di Darat. Konvensi ini tidak menegaskan apa yang dimaksud dengan sakit. Apa yang dimaksud dengan orang sakit ditegaskan dalam Protokol Tambahan I 1977. Pasal 8 (a) berbunyi:
"Persons, whether military or civilian, who, because of trauma, disease or other physical or mental disorder or disability, are in need of medical assistance or care and who refrain from any act of hostility."
Jadi sakit adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma, penyakit, atau kecacatan mental yang memerlukan bantuan atau perawatan kesehatan dan yang tidak melakukan tindakan permusuhan.
Mereka yang mendapat perlindungan karena sakit atau luka berdasarkan Pasal 13 Konvensi I adalah:
1. Members of armed forces of a Party to the conflict, . . . militias [and] volunteer corps forming part of such armed forces.
2. Members of other militias and members of other volunteer corps, including those of organized resistance movements, belonging to a Party to the conflict . . . provided [they] fulfill the following conditions:
a. that of being commanded by a person responsible for his subordinates;
b. that of having a fixed distinctive sign recognizable at a distance;
c. that of carrying arms openly;
d. that of conducting their operations in accordance with the laws and customs of war.
3. Members of regular armed forces who profess allegiance to a government or an authority not recognized by the Detaining Power.
4. Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof . .. provided they have received authorization from the armed forces which they accompany. ...
5. Members of crews ...of the merchant marine and . ..civil aircraft of the Parties to the conflict, who do not benefit by more favorable treatment under any other provisions of international law.
6. Inhabitants of a non-occupied territory, who on the approach of the enemy spontaneously take up arms to resist the invading forces ...provided they carry arms openly and respect the laws and customs of war.
Mereka yang luka dan sakit harus: (a) dihormati dan dilindungi tanpa pembedaan atas dasar jenis kelamin, ras, kebangsaan, agama, keyakinan politik atau patokan-patokan lannya; (b) tidak dibunuh, dimusnahkan, disiksa atau dijadikan percobaan biologi (Pasal 12 GC I); (c) menerima perawatan yang memadai; (d) dilindungi dari penjarahan, dan perlakuan tidak baik (Pasal 15). Pasal ini juga memberi wewenang penadatanganan perjanjian local untuk penghapusan atau pertukaran mereka yang sakit atau terluka dari kawasan yang terkepung, dan memberikan jalan bagi personil dan perlengkapan kesehatan dan agama ke tempat tersebut.[4]
Pasal 16 menegaskan ketentuan terkait dengan identifikasi yang luka, sakit dan mati, dan Pasal 17 terkait dengan pengurusan orang yang mati. Penguburan atau kremasi dilakukan secara perorangan jika keadaan memungkinkan, tetapi kremasi (pembakaran mayat) hanya diperbolehkan dengan alas an kesehatan yang mendesak berdasarkan agama mendiang.[5]
Pasal 15 juga bersama dengan Pasal 16 mewajibkan para pihak pesengketa mencari dan mengumpulkan mereka yang luka dan sakit khususnya setelah perempuran usai, dan memberikan informasi kepada the Central Tracing Agency of the International Committee of the Red Cross (ICRC).
Dalam mengurus orang yang sakit dan terluka Konvesnsi I juga menekankan peranan penduduk (Pasal 18). Pasal ini juga menegaskan menekankan bahwa penduduk sipil juga harus menghormati yang luka dan sakit dari tindakan kekerasan.
Mengenai perawatan kesehatan terhadap mereka yang luka dan sakit, ini menjadi tanggung jawab utama dinas kesehatan militer. Dalam hal ini mereka memiliki fungsi ganda, , di satu sisi, memberikan sumbangan atas kekuatan tempur kepada angkatan bersenjata mereka, di sisi lain, memberikan bantuan kesehatan kepada para petempur baik petemput sendiri maupun petempur lawan yang membutuhkan perawatan sebagai akibat dari sengketa bersenjata. Pengutamaan bantuan medis hanya didasarkan pada alasan mendesak bagi peratan kesehatan, bukan karena yang bersangkutan termasuk dalam angkatan bersenjatanya.
Untuk memungkinkan pelaksanaan tugas mereka, dinas kesehatan militer, bersama-sama dengan bangunan tetap dan unit-unit bergera (mobile units) (rumah sakit lapangan dan lainnya, dan ambulan) harus dilindungi. Pasal 24 menentukan bahwa personil kesehatan dan administrative dari dinas kesehatan militer (dokter, perawat, pengusung mayat dan sebagainya) serta pendeta yang ikut pada angkatan bersenjata “harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan”. Jika mereka jatuh kedalam kekuasaan musuh, mereka harus ditahan ‘hanya jika keadaan kesehatan, kebutuhan spiritual dan jumlah tawanan perang memerlukan’ (dan tanpa menjadi tawanan perang; Pasal 28). Terkait dengan personil bantuan yang dilatih untuk melaksanakan fungsi yang sama, seperti perawat, Pasal 25 menyatakan bahwa “mereka juga harus dihormati dan dilindungi jika mereka melaksanakan tugas mereka pada waktu mereka terlibat kontak dengan musuh atau jatuh ke dalam kekuasaannya. Jika ini terjadi, mereka harus dijadikan tawanan, tetapi harus dipekerjakan dalam tugas kesehatan apabila hal ini diperlukan (Pasal 29). Para anggota staf Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah dari pihak-pihak pesengketa, yang dipekerjakan dengan tugas yang sama dengan personil dinas kesehatan militer sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24, menikmati perlindungan yang sama dengan personil tersebut, dengan ketentuan bahwa mereka tunduk kepada peraturan perundang-undangan militer (Pasal 26). Perhimpunan yang diakui dari sebuah Negara netral yang mau memberikan bantuan personil dan unit-unit kesehatannya kepada suatu pihak pesengketa memerlukan persetujuan lebih dahulu dari pemerintahnya, serta pengesahan dari pihak terkait. Personil dan unit yang diberikan tugas ini ditempatkan di bawah control pihak tersebut, dan pemerintah netral harus memberitahukan persetujuannya kepada pihak lawan (Pasal 27). Jika para anggota personil ini. Jika para anggota personil ini jatuih ke dalam kekuasaan pihak lawan, pada prinsipnya, mereka diperbolehkan ‘kembali ke negara mereka’ atau, jika ini tidak mungkin ke wilayh pihak pesengketa yang mereka berikan pelayanan, segera rute pengembalian mereka terbuka dan pertimbangan militer memugkinkan (Pasal 32).
Bangunan-bangunan kesehatan tetap dan unit-unit kesehatan bergerak dari dinas militer seperti rumah sakit (lapangan) dan ambulan tidak boleh diserang (Pasal 19). Akan bangunan tetap dan unit kesehatan bergerak ini tidak boleh ‘digunakan melakukan perbuatan di luar tugas kemanusiaan mereka yang membahayakan musuh’ (Pasal 21).
Pasal 23 menentukan pembentukan ‘zona rumah sakit dan perkampungan (‘hospital zones and localities’) untuk melindungi mereka yang tgerluka dan sakit dan personil yang dijamin perawatan mereka karena akibat perang. Agar tindakan tersebut ampuh diperlukan pengakuan tegas oleh pihak lawan mengenai status perlindungan kawasan dan perkampungan tersebut. Di antara peraturan-peraturan dalam Konvensi menganai perlindungan alat pengangkutan mereka yang terluka atau sakit atau perlengkapan kesehatan, alat pengangkutan dan perlengkapan terkait dengan pesawat terbang kesehatan pantas memperoleh perhatian khusus.
Peraturan yang terkait dengan ini, ditegaskan dalam Pasal 36, sangat kaku karena untuk menggunakan pesawat terbang tersebut benar-benar efektif tidak mungkin. Pesawat terbang harus digunakan khusus untuk memindahkan mereka yang terluka dan sakit dan untuk pengakutan personil dan perlengkapan kesehatan; setiap rincian atas penerbangan yang dilakukan (lintang, waktu dan rute) harus “disetujui secara khusus dia antara pihak-pihak berperang tersebut; mereka tidak boleh terbang di atas wilayah musuh atau wilayah yang diduduki musah dan mereka harus “mematuhi setiap perintah untuk mendarat”.
Sistem perlindungan personil, perlengkapan, rumah dakit dan ambulan, dan pengangkutan tetap dalam penggunaan dan penghormatan lembang pengenal, yakni palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih. Pasal 38 juga menyebut singa dan matahari hari merah di atas dasar putih yang pernah digunakan Iran sebelum era Republik Islam Iran. Israel menggunakan perisai Merah Daud di atas dasar putih.
Akhirnya, Pasal 46 melarang pembalasan (reprisal) “terhadap mereka yang luka, sakit, bangunan atau perlengkapan yang dilindungi oleh Konvensi. Ini dimaksudkan untuk menghindari suatu pihak pekonflik menuntut hak untuk menyimpangi peraturan Konvensi untuk membujuk pihak lawan kembali menghormati hukum sengketa bersenjata.
C. Perlindungan Korban Karam
Dalam Konvens-kovensi Jenewa diadakan pembedaan terkait dengan pengaturan terhadap mereka yang luka, sakit dan karam di laut sebagai akibat dari sengketa bersenjata. Mereka yang luka, sakit dan karam dari angkatan bersenjata diatur dalam Konvensi II, sedangkan mereka yang berasal dari kalangan sipil diatur dalam Konvensi IV.
Berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa dua perangkat perangkat peraturan diberlakukan tergantung pada apa orang yang luka, sakit atau karam adalah anggota angkatan bersenjata atau tidak. Bagi para anggota angkatan bersenjata diterapkan Konvensi II, dan bagi bukan angkatan bersenjata diterapkan Konvensi IV.
Perlindungan korban karam di laut dari angkatan bersenjata diatur dalam Konvensi II untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Luka, Sakit dan Koban Karam di Laut. Konvensi ini mengadaptasi ketentuan Konvensi untuk diberlakukan pada Konvensi II sesuai dengan keadaan di laut. Oleh karena itu, Konvensi melindungi p(eserta) tempur yang luka, dan sakit sementara mereka berada di atas kapal atau di laut. Ke63 pasalnya berlaku terhadap:[6]
• Rumah sakit dan personil kesehatan
• Orang sipil yang menyertai angkatan bdersenjata.
Konvensi memuat ketentuan yang secara khusus mewajibkan pihak-pihak yang terlibat pertempuran melakukan semua tindakan yang mungkin untuk mencari, mengumpulkan, dan merawat mereka yang luka, sakit, dan karam. (Korban) karam adalah setiap orang mengapung apapun sebabnya, termasuk mereka yang terpaksa mendarat di laut atau yang terjun dari pesawat terbang (Pasal 12,18). Permohonan dapat diajukan kepada Negara kapal netral, termasuk kapal dagang dan perahu layar untuk membantu mengumpulkan dan merawat mereka yang luka sakit dan korban karam. Kapal-kapal yang setuju memberikan bantuan tak boleh disita selama kapal-kapal ini tetap netral (Pasal 21). Personil agama, kesehatan dan rumah sakit yang berfungsi sebagai kapal tempur harus dihormati dan dilindungi. Jika ditangkap, kapal-kapal ini harus dikembalikan ke pihak mereka sesegera mungkin (Pasal 36-37). Kapal rumah sakit tidak dapat digunakan untuk tujuan militer. Kapal-kapal ini tidak boleh diserang atau ditangkap. Nama dan gambaran mengenai kapal rumah sakit ini harus dikirim kepada semua pihak yang bersengketa (Pasal 22). Sementara kapal perang tak dapat menangkap staf kesehatan kapal rumah sakit, kapal ini dapat menangkap mereka yang luka, sakit dan korban karam sebagai tawanan perang, dengan ketentuan mereka dapat dipindahkan dengan selamat dan kapal perang tersebut memiliki fasilitas untuk merawat mereka.[7]
Pembedaan pengatutran mengenai perawatan terhadap mereka yang luka, sakit dan korban karam dihilangkan oleh Protokol Tambahan I. Protokol menciptakan satu hukum untuk kedua kategori tersebut, yang sangat memudahkan penerapan praktik dari ketentuan-ketentuan tersebut. Sekarang hanya ada ‘mereka yang luka atau sakit’ baik militer maupun sipil dan hanya “unit kesehatan, baik di bawah administrasi militer maupun sipil. Orang sipil yang luka atau karenanya dapat dirawat di rumah sakit militer, dan sebaliknya peserta tempur dapat dirawat di rumah sakit sipil. Perlindungan ini dikaitkan dengan, dan bukan dengan hakikat militer atau sipil mereka.[8]
Dengan judul “Protection and Care”, Pasal 10 Protokol menyatakan:[9]
“1. Semua mereka yang luka, sakit dan karam, termasuk pihak manapun mereka harus dihormati dan dilindungi.
2. Dalam segala keadaan mereka harus diperlakukan dengan baik menerima sepenuh mungkin dan penundaan sekecil mungkin perawatan kesehatan dan perhatian yang diperlukan oleh keadaan mereka. Tidak boleh dilakukan pembedaan perlakuan di antara mereka atas dasar selain dari alas an medik.
Ketentuan ini menyatakan banyak hal. Terkait dengan orang yang luka, sakit dan karam ketentuan ini mewajibkan pihak yang berperang (belligerent) melakukan tindakan berikut:[10]
Ø penghormatan (respet): orang-orang yang tanpa pembelaan (defenceless) harus diperlakukan sebagaimana yang diperlukan oleh keadaan mereka, dan senantiasa dengan kemanusiaan (humanity);
Ø perlindungan (protection): mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan bahaya, yakni akibat dari permusuhan, dan terhadap kemungkinan serangan atas integritas kepribadian mereka. Tindakan yang sesuai harus dilakukan untuk menjamin perlindungan tersebut;
Ø perawatan kesehatan dan perhatian: orang-orang ini berhak atas perawatan kesehatan dan tidak boleh diabaikan karena orang musuh atas dasar asal-usul mereka (larangan umum diskriminasi). Namun, mereka tidak boleh menerima melebihi dari kemungkinan yang sebenarnya: mereka yang luka dan sakit dari pihak lawan tidak boleh dierlakukan lebih baik dari p(eserta)tempur sendiri dalam keadaan yang sama.
Ini mencakup hak orang-orang yang luka, sakit dan karam baik mereka itu sipil maupun anggota angkatan bersenjata atas perawatan bantuan kesehatan.[11]
D. Perlindungan terhadap Tawanan Perang
Perlindungan terhadap tawanan perang diatur dalam Konvensi III tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang (the Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War). Peraturan yang tertuang dalam Konvensi III ini “secara umum dipandang sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, karena itu, Konvensi ini mengikat semua Negara termasuk negara-negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi ini”.[12]
Perlindungan terhadap tawanan perang sejalan dengan prinsip-prinsip fundamental mengenai perlindungan yang dianut oleh Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Prinsip-prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 12 Konvensi I dan II, 16 Konvensi III, dan 27 Konvensi IV.
Penghormatan ( ‘respect’) dan perlindungan (‘protection’) adalah pengertian yang saling melengkapi. Penghormatan (‘Respect’), merupakan unsure pasif (passive element), menunjuk suatu kewajiban untuk tidak membahayakan, tidak merentankan penderitaan dan tidak membunuh orang yang dilindungi. Perlindungan adalah unsure aktif (active element) berarti suatu kewajiban untuk menghindari dan mencegah bahaya, unsure ketiga mengenai perlakuan yang “baik” terkait dengan sikap sesgi-segi yang hendak mengatur perlakuan atas orang-orang yang dilindungi; sikap ini bertujuan untuk menjamin kepada orang-orang ini keberadaan nilai umat manusia – dan dengan pengakuan penuh keadaan keras keadaan mereka ini. Larangan diskriminasai menambahkan unsure esensial terakhir yang harus diperhatikan dalam penghormatan semua tiga unsure penting ini.[13]
Persoalannya, siapa sajakah yang berhak atas status tawanan perang? Pada dasarnya yang berhak atas tawanan perang adalah para p(eserta) tempur (combatant) yang tertangkap atau berada dalam kekuasaan musuh. Selain kombatan orang-orang berikut ini dapat memperoleh status sebagai tawanan perang.
- Orang-orang yang menyertai angkatan bersenjata tanpa menjadi anggotanya (seperti awak sipil pesawat militer, para kontraktor pemasok, anggota unit-unit pekerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan bersenjata), dengan ketentuan mereka menerima otorisasi dari angkatan bersenjata yang mereka ikuti.
- Para anggota anak buah kapal dagang atau pewsawat terbang sipil dari pihak-pihak pesengketa;
- Para wartawan perang; dan
- Personil angkatan bersenjata yang ditugasi sementara pada tugas-tugas medis selama jangka waktu yang terbatas.[14]
Para anggota dinas kesehatan militer juga dapat dijadikan sebagai tawanan perang untuk merawat tawanan perang di pihak mereka atau dikembalikan ke pihak mereka sendiri.[15] Selain dari orang-orang ini, jika tertangkap tidak diperlakukan sebagai tawanan perang tetapi mereka harus diperlakukan dengan baik. Mereka ini adalah: (a) orang sipil yang ambil bagian dalam permusuhan selain a levée en masse; (b) tentara bayaran (mercenary); dan (d) mata-mata (spy).[16]
Para tawanan perang tetap dalam status mereka sebelum ditangkap sampai mereka dikembalikan ke negaranya. Status ini tidak hilang selama penawanan mereka, baik karena tindakan otorita yang bertanggung jawab atas penawanan mereka maupun karena perbuatan mereka sendiri. Orang-orang yang dilindungi tidak boleh menolak hak-hak yang diberikan kepada mereka berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa.[17]
Perlakuan terhadap tawanan perang dalam Konvensi III diatur dalam Pasal 21-48. Berikut adalah perlakuan terhadap para tawanan perang.[18]
- Para tawanan perang ketika tertangkap diwajibkan memberikan nama, pangkat militer, tanggal lahir dan nomor serialnya saja. Dalam keadaan apa pun mereka tidak boleh dipaksa memberikan keterangan lebih jauh. Juga berdasarkan Konvensi Ketiga, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dipandang sebagai kejahatan pefrang.
- Segera setelah penangkapan mereka, para tawanan perang berhak atas kartu penangkapan (captured card), yang selanjutnya dikirim melalui ICRC Central Agency kepada biro informasi resmi (official information bureau) di Negara para tawanan tersebut. Biro ini bertugas untuk memberikan informasi kepada keluarga tawanan. Dengan cara ini hubungan dengan rumah dan keluarga mereka segera dapat dibina kembali.
- Para tawanan harus dipincahkan secepat mungkin ke luar kawasan berbahaya dan di bawa ke tempat aman, di tempat ini kondisi kehidupan harus sama baiknya dengan kondisi kehidupan Negara Penahan (Detaining Power) yang tinggal sementara di kawasan yang sama. Baik kapal maupun tawanan perang misalnya, tidak diharuskan memenuhi persyaratan ini.
- Sedapat mungkin kondisi penankapan mempertimbangkan kebiasaan para tawanan.
- Para tawanan perang yang sehat boleh diharuskan bekerja, tetapi hanya boleh dipekerjakan ditempat berbahaya jika mereka menyetujinya secara sukrela. Pembersihan ranjau dianggap sebagai pekerjaan berbahaya. Sekalipun penggunan tawanan perang yang sudah terlatih untuk membersihak ranjau mungkin tepat khususnya jika mereka memiliki pengetahuan pribadi tentang tempat ranjau – ini juga dapat dilakukan hanya dengan persetjuan bebas para tawanan itu.
- Para tawanan perang berhak berkirim surat dengan keluarga mereka (surat dan kartu biasanya dikirim melalui ICRC Central Agency. Mereka juga berhak menerima bantuan berupa parsel perorangan.
- Seorang tawanan perang harus mematuhi hukum Negara dari Negara penahan, khusunya peraturan perundangan yang berlaku bagi angkatan bersenjata. Jika ia melakukan pelanggaran, pengadilan atau tindakan disipliner dapat diambil terhadapnya, sesuai dengan hukum tersebut. Negara Penahan juga dapat menuntut POWs atas pelanggaran yang dilakukan sebelum penangkapan (misalnya dugaan keras kejahatan perang yang dilakukan di wilayah pendudukan atau di medan perang).
- Namun para tawanan perang yang dituntut berhak atas peradilan yang benar, dan jika dihukum tetap pada status hukum mereka sebagai tawanan perang. Namun, pemulangan mereka dapat ditangguhkan sampai mereka menyelesaikan hukuman mereka.
- Tindakan pembalasan kepada tawanan dilarang tanpa kecuali.
Terkait dengan pemulangan (repatriation) tawanan perang, ada tiga kategori pemulangan tawanan perang.[19]
Tawanan perang yang luka berat dan sakit keras harus dipulangkan langsung tanpa penangguhan, yakni segera setelah mereka dapat melakukan perjalanan. Ini adalah isyarat baik kepada p(eserta)etempur yang tidak akan pernah lagi terlibat dalam pertempuran. Komisi kesehatan campuran yang akan memutuskan tawanan yang akan dipulangkan. Delegasi ICRC memiliki pengalaman penting untuk melaksanakan pemulangan semacam ini kapan pun.
Semua tawanan perang harus dilepas dan dipulangkan “tanpa penangguhan setelah berakhirnya permusuhan aktif”.
Tanpa menunggu perang berakhir, para pihak pesengketa memulangkan tawanan perang atas dasar kemanusiaan, kemungkinan atas dasar timbale balik (reciprocal basis), yakni dengan cara pertukaran tawanan. ICRC terus menerus mengupayakan kesepakatan semacam ini. Sebagai penengah netral ICRC senantiasa siap melaksanakan pemulangan dan pertukaran tawanan.
E. Perlindungan terhadap Orang Sipil
Apa yang dimaksud dengan orang sipil, dirumuskan dalam Pasal 50 Protokol Tambahan II yang menyatakan bahwa orang sipil sebagai orang yang tidak termasuk dalam kelompok orang yang disebutkan dalam Pasal 4 A (1), (2), (3) dan (6) Konvensi Jenewa Ketiga dan Pasal Pasal 43 Protokol ini. Seseorang diragukan apakah sipil atau tidak, harus dianggap sipil. that person shall be considered to be a civilian.” The ICRC Commentary to the Fourth Geneva Convention menyatakan bahwa:[20]
Every person in enemy hands must have same status under international law: he is either a prisoner of war and, as such, covered by the Third Convention, a civilian covered by the Fourth Convention, or again, a member of the medical personnel of the armed forces who is covered by the First Convention. There is no ‘ intermediate’ status; nobody in enemy hands can be outside the law.
Berdasarkan penjelasan Konvensi IV ini, maka setiap orang yang dikuasai musuh, baik ia tawanan perang yang dilindungi oleh Konvensi Ketiga, maupun sipil yang dilindungi Konvensi IV, atau anggota personil kesehatan angkatan bersenjata yang dilindungi Konvensi I. tidak ada status antara; tak seorang pun yang dikuasai musuh dapat berada di luar hukum.
Perlindungan terhadap penduduk sipil sebagaimana tertuang dalam Konvensi IV dianggap sebagai prestasi terbesar Konferensi Diplomatik 1949. Protokol Tambahan I melengkapi perlindungan ini.[21] Konvensi IV mengemnbangkan seperangkat peraturan perlindungan terhadap orang-orang sipil termasuk hak atas penghormatan terhadap pribadi, kehomatan, keyakinan dan praktik agama, dan larangan penyiksaan dan kekejaman, perlakuan tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat, melakukan penyanderaan dan pembalasan dengan kekerasan (reprisal). Yang luka dan sakit mendapat perlindungan dan penghormatan khusus, dan ada berbagai jaminan peradilan dan proses peradilan yang jujur dan adil.[22]
Selanjutnya, pembahasan perlindungan orang-orang sipil dalam sengketa bersenjata mencakup hal-hal berikut.
- Perlindungan Umum Penduduk karena akibat tertentu dari perang
- Ketentuan-ketentuan yang sama untuk wilayah para pihak pesengketa dan wiilayah pendudukan
- Orang asing di wilayah pendudukan
- Wilayah Pendudukan
1. Perlindungan umum penduduk karena akibat tertentu dari perang[23]
Ketentuan-ketentuan Bagian II merncakup semua penduduk Negara pesengketa tanpa pembedaan, dan bertujuan menghapuskan penderitaan akibat perang (Pasal 13). Namun ketentuan-ketentuan ini tidak memberikan perlindungan umum atau lengkap. Bagian II lebih memberikan bentuk perlindungan khusus atas orang-orang dalam kategori khusus. Pertama, untuk pembentukan dua mcam kawasan perlindungan berupa ‘kawasan dan perkampungan rumah sakit dan aman’ (Pasal 14) dan ‘kawasan netral’ (Pasal 15). Kawasan dan perkampungan rumah sakit dan aman diamksudkan untuk ‘melindungi mereka yang luka, sakit, anak-anak di bawah usia 15 tahun, ibu hamil, dan ibu yang memiliki anak di bawah usia tujuh tahun dari akibat perang’, dengan kata lain mereka yang diduga tidak memberikan sumbangan atas upaya perang. Agar efektif ‘kawasan dan perkampungan tersebut’ memerlukan pengakuan dari pihak lawan, jika mungkin dengan penandatanganan persetujuan yang tegas di antara para pihak yang berperang. Kawasan ini hanya teoritis belum pernah dilaksanakan.
Kawasan netral direncanakan dibentuk di kawasan pertempuran, ‘dimaksudkan untuk melindungi tanpa pembedaan dari akibat perang: (a) petempur dan bukan petempur yang luka dan sakit, (b) orang-orang sipil yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dan mereka yang ketika tinggal dikawasan tersebut tidak melakukan pekerjaan yang bersifat militer. Sebagaimana pada kawasan yang pertama, kawasan ini juga memerlukan persetujuan yang harus dibuat dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan kawasan dan perkampungan rumah sakit dan aman, kawan netral telah dipraktikkan. Beberapa contoh kawasan netral dipraktikkan biasanya melalui perantraan ICRC. Kelompok-kelompok orang khususnya merekas yang rentan diberikan diberikan beberapa macam perlindungan dalam lingkup Bagian II mencakup mereka yang luka dan sakit, lemah, usia lanjut, anak-anak dan ibu menyusui. Rumah sakit yang diakui dengan staf mereka, juga alat pengangkutan darat, laut atau udara atas orang sipil yang luka dan sakit, prang yang lemah dan ibu menyusui berhak atas penghormatan dan perlindungan sebagaimana ditentukan dalam Konvensi I dan II bersama dengan mitra militer mereka (Pasal 18).
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 23 mewajibkan masing-masing pihak pada Konvensi mengijinkan kiriman perbekalan kesehatan dan rumah sakit dan benda-benda yang diperlukan untuk ibadah agama bagi orang-orang sipil untuk pihak lain sekalipun pihak tersebut adalah musuhnya. Akan tetapi pihak yang memberikan ijin lewatnya secara bebas kirim tersebut dapat meminta jaminan yang cukup dan melakukan pemeriksaan untuk menjamin bahwa kiriman tersebut benar-benar termasuk kategori barang-barang sipil (Pasal 23).
Perlindungan yang tak kalah pentingnya adalah yang disebutkan dalam Pasal 24 dan 25, 26, perlindungan atas anak di bawah usia limabelas tahun “yang yatim yang terpisah dengan keluarga mereka karena perang (Pasal 24), pertukaran berita mengenai keluarga (Pasal 25), dan pemulihan hubungan di antara para keluarga yang terpisah. Peran ini dilaksanakan oleh Badan Informasi Pusat (the Central Information Agency) bagi orang-orang yang dilindungi yang pembentukannya di sebuah Negara netral (Pasal 140). Dalam praktik Central Tracing Agency beroperasi di Jenewa dengan
ICRC melaksanakan fungsinya bagi orang-orang sipil juga petempur. Perehimpunan-perhimpuna Palang Merah dan Bulan Sabit Merah juga memberikan sumbangan besar atas pelaksanaan pasal-pasal ini.
2. Ketentuan-ketentuan yang sama untuk wilayah para pihak pesengketa dan wiilayah pendukan
Bagian Konvensi IV terkait dengan perlindungan orang dalam arti yang kaku: yakni orang-orang sipil yang berada dalam kekuasaan suatu pihak pesengketa atau Penguasa Pendudukan (Occupying Power) dan mereka bukan warga negara dari pihak pesengkata atau penguasa pendudukan tersebut. Maka, Pasal 4 yang mengecualikan dari orang-orang yang dilindungi “warganegara dari suatu negara yang tidak terikat oleh Konvensi, warganegara Negara netral, dan warganegara dari Negara yang bekerjasama dengan pihak yang berperang, dua Negara terakhir ini sepanjang Negara mereka ‘memiliki perwakilan diplomatic normal di Negara yang menahan mereka.
Ketentuan yang sama pada Seksi I terkait dengan hak-hak mendasar peribadi manusia, khususnya perempuan (yang secara khusus melarang “perkosaan, pelacura paksa, atau bentuk-bentuk pelecehan lainnya) (Pasal 27, 28) tanggung jawab pihak pesengketa atas perlakuaan orang yang dilindungi yang berada dalam kekuasaannya (Pasal 29); dan hak-hak orang yang dilindungi atas pemeriksaan badan dan bantuan organisasi (Pasal 30). Larangan perlakuan buruk (ill-treatment) meliputi kekerasan fisik dan moral … khususnya untuk memperoleh keterangan (Paasal 31), maupun “tindakan apapun yang sifatnya menimbulkan penderitaan fisik atau atau pemusnahan orang yang dilinduingi’. Tindakan dalam kategori terakhirt ini meliputi ‘pembunuhan, penyiksaan, hukuman badan, pemotongan anggota badan, dan percobaan medic atau ilmiah atas orang yang dilindungi, dan perbuatan-perbuatan kejam lain apa pun baik dilakukan sipil maupun agen-agen militer (Pasal 32).
Sesuai dengan Pasal 33 tak seorang pun ‘dapat dihukum karena kejahatan yang tidak dilakukannya secara pribadi. Pasal yang sama juga melarang “pembalasan atas orang yang dlindungi dan tindakan-tindakan penekanan atau terorisme lainnya. Pasal 34 melarang pembunuhan sandra, dan melakukan penyanderaan.
3. Orang asing di wilayah pendudukan
Pasal 35 menegaskan hak orang sebagai orang yang dilindungi (terutama warganegara musuh) meninggalkan wilayah tersebut … kecuali keberangkatan mereka bertentangan dengan kepentingan nasional Negara tersebut. Jika ijin meninggalkan wilayah tersebut ditolak mereka berhak atas dipertimbangkannya kembali penolakan tersebut oleh pengadilan atau badan administrative yang berwenang. Orang yang dilindungi yang tetap tinggal di wilayah gtersebut tetap atas hak-hak mendasarnya (seperti menerima bantuan dan perhatian kesehatan, beribadah, dan pindah dari suatu kawasan khusuanya kawasan yang rawan dengan bahaya perang sama dengan hak warganegara Negara bersangkutan (Pasal 38). Mereka harus diberi peluang menafkahi dcari mereka; pilihannya Negara diwajibkan menjamin nafkah mereka dan tanggungan mereka (Pasal 39). Warganegara musuh hanya dapat dipaksa melakukan pekerjaan yang biasanya diperlukan untuk menjamin makanan, perlindungan, pakaian, pengangkutan dan kesehatan yang tidak terkait langsung dengan operasi militer (Pasal 40). Jika kemanan suatu pihak pesengketa tersebut menyebabkan suatu tindakan mutlak diperlukan, Negara ini dapat menginternir orang-orang yang dilindungi di dalam wilayahnya atau menempatkan mereka di tempat tinggal yang ditentukan. Di sisi lain, orang yang dilindungi dapat dengan sukarela meminta interniran tersebut (Pasal 41, 42).
Sistem mengenai perlindungan warganegara musuh tersebut dan orang-orang lainnya di wilayah suatu pihak pesengketa sangat diperlemah oleh Pasal 5, yang menentukan bahwa jika keadaan ini terpenuhi bahwa orang yang dilindungi adalah jelas-jelas disangka atau terlibat dalam kegiatan permusuhan atas keamanan Negara tersebut, maka orang perorangan tersebut tidak berhak menuntut hak dan privelese berdasarkan Konvensi ini, jika dilaksanakan untuk kepentingan orang perorangan tersebut, pra-peradilan (prejudicial) atas keamanan Negara tersebut. Perlu ditekankan bahwa Pasal 5 tidak boleh sama sekali diterapkan sebagai tidakan kolektif. Ini berarti bahwa interniran kolektif orang-orang yang dilindungi dari warganegara Negara tertentu dilarang, malahan harus dibuktikan bahwa setiap orang yang diinternir diduga melakukan kegiatan permusuhan atas keamanan Negara tersebut. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang yang diajukan karena alas an khusus ini harus “diperlakukan secara manusiawi”; dan jika diadili harus diberikan “peradilan yang jujur dan lazim” sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Konvensi, dan bahwa rejim khusus ini harus berakhir sesuai dengan keamanan negara’.
4. Wilayah pendudukan
Selain Bagian III, Seksi III Konvensi IV, aturan yang terkait dengan wilayah pendudukan juga dijumpai dalam Hukum Den Haag tentang Perang Darat (the Hague Regulations on land warfare). Pasal 42 menegaskan prinsip bahwa untuk wilayah yang dianggap diduduki dan agar peraturan-peraturan terkait dapat diterapkan, wilayah ini harus benar-benar ditempatkan di bawah otoritas pasukan musuh. Lebih jauh ditegaskan dalam ayat 2 ‘pendudukan hanya sampai batas wilayah di tempat yang otoritasnya telah dibentuk dan dilaksanakan’. Pasal 43 menyimpulkan dari fakta ini dua kewajiban: pertama, Penguasa Pendudukan harus mengambil semua tindakan dalam kekuasaannya untuk memulihkan, menjamin sejauh mungkin kemanan dan ketertiban umum; dan kedua, dalam melakukan hal ini Pengauasa Pendudukan harus menghormati hukum yang berlaku di Negara tersebut.
Selanjutnya Hukum Den Haag memuat ketentuan mengenai penarikan pajak, penyitaan barang dan jasa, dan nasib benda bergerak dan tidak bergera milik Negara yang diduduki. Pendapat umum yakni dalam masyarakat modern dengan organ-organ Negara berpengaruh dan ambil bagian langsung dalam urusan ekonomi dan social jauh lebih besar daripada keadaan pada masa Hukum ini ditulis. Penguasa Pendudukan tidak mungkin tidak mengetahui dirinya berhadapan dengan akibat perubahan kemasyarakatan luar biasxa ini dan meningkatkan peran Negara. Keonvensi Keempat dibuat pada waktu perubahan ini berlangsung, peribahan ini mencerminkan suatu kecendrungan baru. Seksi III dibbuka dengan sebuah pernyataan penting: larangan menghilangkan keuntungan yang diperoleh dari Konvensi atas orang yang dilindungi di wilayah pendudukan, dalam keadaan atau dengan cara apa pun; baik karena perubahan keadaan dalam lemnbaga-lembaga di wilayah pendudukan itu; persetujuan antara pemerintah setempat (local authority) dan penguasa pendudukan, maupun pencaplokan (annexation) seluruhnya atau sebagian dari wilayah tersebut (Pasal 47). Tindakan-tindakan yang secara khusus dilarang tderlepas dari motif mereka meliputi pemindahan, orang perorangan maupun kelompok, juga pengusiran (deportation) dari wilayah pendudukan ke negara lainnya. Namun, pengungsian dari suatu kawasan tertentu diperbolehkan jika keamanan penduduk atau alasan militer mendesak sangat memerlukannya (Pasal 49)
Pasal 51 menentukan bahwa orang yang dilindungi di atas usia 18 tahun dapat dipaksa bekerja tetapi hanya di wilayah pendudukan tempat tinggal mereka, dan hanya pekerjaan yang diperlukan untuk keperluan tentara pendudukan, atau layanan fasilitas umu, atau untuk makanan, tempat perlindungan, pakaian, pengangkutan atau kesehatan penduduk di wilayah pendudukan. Pembangjan benteng, pangkalan artileri dsb. tidak termasuk pekerjaan yang diperbolehkan karena tidak diperlukan untuk kebutuhan tentara pendudukan, tetapi lebih berfungsi untuk operasi militer (mendatang) dari Penguasa Pendudukan. Pada prinsipnya, lembaga-lemabaga dan pejabat-pejabat publik di wilayah tersebut terus berfungsi seperti sebelumnya. Tak ada kewajiban bagi lembaga-lembaga dan pejabat-pejabat untuk mematuhi Penguasa Pendudukan. Setiap peraturan baru atau perintah yang dikeluarkan oleh penguasa pendudukan dapat menghadapkan pejabat public tersebut pada pertanya apakah mereka dapat melanjutkan bekerjasama untuk melaksanakan perintah-perintah ini. Pertanyaan ini mungkin sangat janggal, misalnya, untuk pasukan kepolisian. Pasal 54 Konvensi mengakui hak para pejabat public dan para hakim untuk tidak memenuhi tugas mereka karena alas an hati nurani. Dalam hal ini Penguasa Pendudukan tidak boleh mengubah status mereka, atau menjatuhkan sanksi atau melakukan paksaan atau dioskriminasi terhadap mereka, yang paling mungkin dilakukan adalah memindahkan mereka dari pos mereka.
Penguasa Pendudukan harus memberikan perhatian khusus bagi kesejahteraan anak (Pasal 50). Ia sampai batas maksimal dari sarana-sarana yang tersedia padanya, harus menjamin pasokan makanan dcan kesehatan penduduk (Pasal 55), serta kesehatan dan gizi masyarakat di wilayah terdsebut (Pasal 56). Pasal 57 medmbatasi pengambilalihan rumah sakit sipil oleh pasukan pendudukan sampai ‘batas kebutuhan yang mendesak bagi perawatan militer yang luka dan sakit’ dengan syarat diadakan pengaturan yang sesuai dalam waktu yang tepat untuk perawatan para pasen dan untuk keperluan penduduk sipil untuk akomodasi rumah sakit. Pasukan pendudukan juga harus mengijinkan para pendeta memberikan bantuan spiritual kepada para anggota komunitas agama mereka (Pasal 58).
Pasal 59-61 twerkait dengan bantuan kolektif yang dapat dilakukan oleh Negara lain atau organisasi kemanusiaan yang tidak memihak seperti the International Committee of the Red Cross untuk kepentingan pasokan yang cukup bagi penduduk diwilayah pendudukan. Penguasa Pendudukan harus menyetujuan rencana tersebut dan membantu mereka, dengan syarat-syarat yang ditentukan di dalam pasal-pasal ini. Selain bantuan kolektif, orang-orang yang dilindungi di wilayah pendudukan juga diperbolehkan menerima kiriman bantuan perorangan. Dengan nada yang sama,Penguasa Pendudukan diwajibkan mengijinkan perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah melaksanakan kegiatan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip Palang Merah sebagaimana ditentukan oleh the International Red Cross Conferences, kecuali untuk sementara waktu dan tindakan pengecualian karena alasan keamanan yang mendesak. Perhimpuan bantuan lain serta organisasi pertahanan sipil juga harus diijinkan melaksanakan tugas mereka dengan syarat-syarat yang sama (Pasal 63).
Salah satu sisi penting dari kewajiban Negara pendudukan untuk mengambil semua tindakan yang ada di dalam kekuasaannya di dalam kekuasaannya untuk sedapat mungkin memulihkan dan menjamin keamanan dan ketertiban umum’ terletak dalam hubungannya dengan hukum pidana yang berlaku di wilayah pendudukan sebelum pendudukan. Pasal 64 menyatakan prinsip bahwa hukum ini ‘harus tetap berlaku, dengan pengecualian hukum ini dapat dibatalkan atau ditangguhkan oleh Penguasa Pendudukan apabila hukum ini menjadi ancaman terhadap keamanan atau halangan untuk menerapkan Konvensi ini. Selaras dengan ini, pengadilan yang ada pada prinsipnya tetap melaksanakan tugasnya terkait dengan semua kejahatan yang tercakup dalam hukum tersebut. Bersamaan dengan ini, Pasal 64 mengakui kekuasaan pendudukan untuk mengundangkan peraturan perundangannya sendiri. Peratutran ini harus memungkinkan Negara Pendudkan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi, untuk menjaga pemerintahan yang tertib di wilayah tersebut, dan menjamin keamanan Penguasa Pendudukan, para anggotanya dan harta benda pasukan atau administrasi pendudukan, dan juga bangunan dan jalur komunikasi yang mereka gunakan. Ketentuan-ketentuan hukum pidana harus diundangkan dengan sepantasnya dan diumumkan sebagaimana mestinya, dan disebarkan agar diketahui masyarakat, dan tidak boleh berlaku surut (Pasal 55).
Pasal 67 dst. Menetapkan patokan yang harus dipenuhi dalam administrasi peradilan pidana, ketentuan-ketgentuan penting yang ditambahkan pada peraturan hukum pidana tersebut terkait dengan pemidanaan yang diperbolehkan. Pasal 68 mentukan bahwa kurungan atau pemenjaraan singkat (simple imprisonment) adalah pidana terberat, dan satu-satunya pidana pencabutan kemerdekaan yang dapat pengadilan jatuhkan atas orang yang dilindungi yang melakukan suatu kejahatan, sedangkan ‘yang hanya membahayakan Penguasa Pendudukan’ tidak terlalu berat karena kejahatan ini ‘tidak merupakan usaha yang mengancam keberlangsungan pasukan dan administrasi pendudukan juga tidak merupakan bahaya kolektif yang berat, atau kerugian berat atas harta kekayaan pasukan atau administrasi pendudukan atau instalasi yang mereka gunakan. Pasal yang sama memperbolehkan Penguasa Pendudukan menjatuhkan pidana mati hanya untuk kerjahatan yang sangat berat yakni mata-mata, sabotase serius atas instalasi militer Penguasa Pendudukan dan kejahatan sengaja yang menyebabkan kematian satu orang atau lebih, dengan syarat kejahatan tersebut dapat dihukum dengan pidana mati berdasarkan hukum wilayah pendudukan yang berlaku sebelum mulainya pendudukan. Pidana mati tersebut harus diumumkan, pelaku kejahatan itu tidak boleh berusia di bawah 18 tahun pada waktu kejahatan itu dilakukan, dan pengadilan harus menyebutkan fakta bahwa karena terdakwa bukan warganegara Negara Pendudukan, ia tidak terikat untuk setia kepadanya.’
Terkait dengan keamanan Penguasa Pendudukan membatsi kekuasaannya untuk mrnunjuk tempat tinggal atau interniran. Keputusan mengenai hal ini dapat dibanding, dan jika ini dilaksanakan, harus dilakukan peninjauan berkala (Pasal 78).
Dapat disimpulkan bahwa hidup di wilayah pendudukan sangat berat bagi penduduk wilayah tersebut. Ini karena pada hakikat pendudukan tersebut, yang merupakan bentuk penguasaan asing. Selain pembatasan-pembatasan yang telah diuraikan di atas, hukum humaniter internasional bderkaitan dengan orang-orang yang dilindungi di wilayah pendudukan sangat bermanfaat. Hukum ini mengurangi kekuasaan tak terbatas karena tindakannya berada di bawah pengawasan internasional. Konvensi Keempat merupakan semacam konstitusi, sebuah ‘bill of rights’ terbatas yang berlaku apabila suatu wilayah jatuh kepada pasukan asing dan diduduki. Konstitusi ini melindungi penduduk dari gangguan yang tidak dapat dibenarkan oleh penguasa pendudukan. Dalam melakukan hal ini hukum humaniter internasional memberikan sumbangan penting untuk menjamin harkat manusia dalam keadaan luar biasa.[24]
F. Pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949
Satu-satunya pasal yang mengatur sengketa bersenjata non internasional dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah Pasal 3 yang bersamaan Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Disebut Pasal 3 yang bersamaan Konvensi-konvensi Jenewa 1949, karena pasal ini dicantumkan dalam keempat Konvensi Jenewa dengan bunyi yang sama. Pencantuman pasal ini pada keempat Konvensi Jenewa 1949, karena ketentuan yang tercantum di dalamnya dianggap sangat penting sehingga memerlukan perhatian dari semua Negara pihak, atau semua mereka yang terlibat dalam sengketa bersenjata non internasional atau konflik dalam negeri (internal conflict) atau perang saudara (civil war). Karena demikian pentingnya, pasal ini bahwa disebut sebagai “’mini convention, atau ‘convention within the convention’”.[25]
Pasal 3 yang bersamaan ini menentukan lingkup penerapannya secara tidak langsung. Pasal ini menyerahkan kepad praktik Negara dan kepustakaan hukum untuk menetapkan patokan yang dapat ditderapkan secara langsung pada sengketa bdersenjata yang tidak bersifat internasional di wilayah salah satu Negera Peserta Agung (High Contracting Party).[26]
Persoalannya sampai tingkat apa sengketa tersebut dapat menjadi persoalan hukum internasional. Commentary on the Geneva Convention menegaskan hal ini. Menurut Commentary ini, Pasal 3 dapat berlaku apabila pemerintah dan pemberontak saling melawan satu dengan lainnya dalam permusuhan koplektif dan menggunakan kekerasan bersenjata. Biasanya Pemerintah menggunakan angkatan bersenjata dalam keadaan tersebut karena pasukan polisi biasa tidak dapat mengendalikan keadaan. Para pemberontak melaksanakan perjuangan mereka terhadap kekuasaan yang mapan dengan melakukan operasi militer mereka. Hanya apabila mereka yang terlibat dalam pertempuran itu diorganisasikan dan dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas operasi mereka yang secara realistic dapat diharapkan akan menghormati dan melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional mereka. Protokol II menambahkan, bahwa ‘kerusuhan dan ketegangan internal, huru hara, kekerasan yang terpencar-pencar dan sesekali, dan tindakan-tindakan serupa lainnya tidak merupakan sengketa bersenjata dank arena itu tidak tunduk kepada hukum humaniter internasional.[27]
Pasal 3 merupakan instrument yang sangat lentur, mungkin merupakan jawaban terbaik atas sengketa-sengketa dalam negeri (internal conflict), yang secara politik biasanya sangat rawan. Syarat-syarat penerapannya yang dirumuskan secara samar berarti bahwa dalam kasus khusus penerapan Pasal 3 mungkin diperlukan tanpa keadaan actual yang harus dijelaskan dari sudut pandang hukum. Dalam beberapa keadaan penguasa (authority) diselamatkan dari kewajiban menerima kelemahan posisi mereka.[28]
Dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang berlaku dalam sengketa bersenjata internasional yang dengan mudah dapat dilihat atau difahami, ketentuan Pasal 3 yang diterapkan pada sengketa bersenjata dalam negeri (internal conflict) atau sengekata bersenjata non internasional (non international armed conflict) masih memerlukan penelitian. Ini disebabkan karena cara perang tradisional telah mengalami perubahan pesat dan dewasa ini banyak sekali perang yang tidak diumumkan, menimbulkan suatu pertanyaan mengenai lingkup hukum humaniter yang berlaku pada keadaan tersebut.[29]
Pasal 3 mengharuskan perlaku yang baik, tanpa pembedaan, semua mereka yang tidak aktif mengambil bagian dalam permusuhan, termasuk para anggota angkatan bersenjata (regular dan sebaliknya) yang meletak senjata mereka atau yang uzur tempur (hors de combat) karena sakit, luka, penahanan, atau sebab-sebab lain. Kepada semua orang ini: tindakan berikut haryus dilarang dan tetap dilarang dalam semua waktu dan tempat apa pun:
- kekerasan terhadap nyawa dan pribadi, terutama semua jenis pembunuhan, pemotongan anggota badan, perlakuan kejam dan penyiksaan;
- penyandraan;
- perendahan atas martabat prinbadi, khususnya penghinaan dan perlakuan yang bersifat merendahkan;
- menjatuhkan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanoa putusan hakim lebih dahulu yang diumumkan oleh pengadilan yang dilaksanakan sebagaimana lazimnya yang mewmberikan semua jaminan yang sangat diperlukan oleh bangsa-bangsa yang beradab.
Kalshoven dan Zagveld mencatat bahwa kata ‘respect’ dan ‘protection’ tidak tercantum dalam teks ini. Juga tidak disebutkan mengenai status tawanan perang, tidak soal untuk siapa status itu, dan tidak pula disebutkan hukuman bagi mereka yang mengambil bagian dalam permusuhan. Satu-satunya syarat adalah peradilan yang jujur (fair trial). Terkait dengan bantuan kemanusiaan Pasal 3 tidak mengharuskan lebih dari sekedar “yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat”. Soal-soal seperti pendaftaran, informasi, status personil kesehatan, rumah sakit, dan ambulan tidak disebutkan sama sekali.[30]
Karena hukum kebiasaan internasional tidak menetapkan syarat-syarat terkait dengan
As customary international law imposed no requirements with regard to the treatment of the participants of civil conflict, the determination as to the minimum protection to be given to the victims of non-international armed conflicts had been deliberated and negotiated by states and the outcome of that is the Geneva Conventions of 1949. The idea projected in these Conventions and by the subsequent state practice is that to the international armed conflicts the Hague and Geneva regime would apply and to non-international conflicts common article 3 of the Geneva Conventions of 1949 and Protocol II to Geneva Conventions would apply. Common article 3 appears to have been constructed ambiguously with a view to achieve a delicate compromise acceptable to states which are in favour of the restrictive application of humanitarian law to non-international armed conflict. However recent efforts to expand the scope of common article 3 by national legislation and through judicial interpretation by national courts offer much more protection to the victims of non-international armed conflicts than its implementation through international ad-hoc tribunals.
[1]Sumber Utama Dari Bagian Ini Adalah Frits Kalshoven Dan Lisbeth Zagveld, CONSTRAINTS ON THE WAGING OF WAR An Introduction To International Humanitarian Law, International Committee of the Red Cross, 2001, pp. 51-72.
[2]American Red Cross, A Summary of the Geneva Conventions and Additional Protocols, Activity 19 http://supportgenevaconventions.org/library/geneva_conventions_summary.pdf, 2001, diunduh 26 Oktober 2011.
[3]Theodor Meron, The Hague Academy Of International Law The Humanization Of International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden • Boston, p. 53.
[4] Mr. Mansfield, Geneva Conventions For The Protection Of War Victims, Report, June 27, 1955, p.8
[5]Ibid. p. 8.
[6]American Red Cross, op. cit., p. 2.
[7]Ibid., hal. 3.
[8]Hans Haug, Humanity for All, the Internasional Red Cross and Red Cressent Movement, Henry Dunant Institute, Paul Haupt Publisher, Berne – Stutgart – Vienna, 1993, p. 517.
[9]Ibid., p. 517
[10]Ibid., p. 517-518.
[11]Ibid. hal. 518.
[12]National Defence, op. cit., p. 10-1
[13]Kalshoven dan Zegveld, op.cit., p. 53-54.
[14]National Defence, op. cit., p. 10-2.
[15]Lihat Hans Haug, op. cit., p. 584.
[16]National Defence, loc. cit.
[17]Haug, op. cit., p. 585.
[18] Ibid., p. 585.
[19]Ibid. p. 526.
[20]Meron, op. cit., p. 36.
[21] Haug, op. cit. 527.
[22] Malcol N. Shaw, International Law, Cambridge University, The Edinburgh Building, Cambridge CB2 2RU, UK 40 West 20th Street, New York, NY 10011--4211, USA 477 Williamstown Road, Port Melbourne, VIC 3207, Australia Ruiz de Alarco´n 13, 28014 Madrid, Spain Dock House, The Waterfront, Cape Town 8001, South Africa, 2003, p. 1061.
[23]Lihat Kalshoven, Zagveld, op. cit.,
[24]Hans Haug, op. cit., p. 533.
[25]Kalshoven and Zegveld, op. cit., p. 69.
[26]Hans Haug, op. cit., p. 558.
[27]Ibid., p. 558.
[28]Ibid. p. 558.
[29]M. Gandhi, Common Article 3 Of Geneva Conventions, 1949 In The Era Of International Criminal Tribunals, Notes And Comments, ISIL Year Book of International Humanitarian and Refugee Law, http://defensewiki.ibj.org/index.php/Common_Article_3_of_the_four_Geneva_Conventions_of_1949_and_Additional_Protocols_I_and_II, diunduh 29Oktober 2011.
[30] Kalshovena and Zegveld, op. cit., p. 69-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar