Senin, 26 September 2011

Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional


BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HUKUM INTERNASIONAL

          Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antar negara telah tumbuh hanya dalam masa empat ratus tahun terakhir. Biasanya diambil sebagai awal lahirnya hukum internasional modern, yaitu pada saat ditandanganinya Perjanjian Perdamaian West Phalia, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa, tahun 1648.[29]
          Akan tetapi, jika hukum internasional diartikan dalam arti luas yang mencakup pula hukum bangsa-bangsa (law of nations), maka hukum internasional sangat tua usianya. Sam Suhaedi Admawira menyebutkan bahwa sejak tahun 5000 SM, sebelum terbentuknya sistem kenegaraan Romawi  (tahun 117) dan Yunani (431 SM) di lembah Tigris dan Furat telah berdiri Kerajaan Sumeria. Pada waktu bersamaan di sekitar Lembah Nil sudah berdiri negara-negara kota, akan tetapi baru bisa dipersatukan oleh Menes pada tahun 3200 SM. Negara-negara kota yang terkenal dari segi hukum bangsa-bangsa adalah Uma dan Lagash. Pada tahun 3100 SM di antara kedua kerajaan ini diadakan perjanjian perdamaian, yang pada masa sekarang dapat disebut sebagai perjanjian internasional. Perjanjian lainnya, dibuat antara Raja Rattusilish III dari Kerajaan Hittite dengan Raja Ramses II dari Kerajaan Mesir. Perjanjian ini berisi kesepakatan tentang pemeliharaan perdamaian yang kekal, penghapusan perang, dan persekutuan.[30]
          Di lingkungan kebudayaan India Kuno terdapat kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Kerajaan-kerajaan di India pada masa beberapa abad sebelum Masehi sudah mengadakan hubungan satu dengan lainnya. Adat kebiasaan yang mengatur hubungan di antara para raja itu disebut Desa Dharma. Gautamasutra (abad VI SM) merupakan salah satu karya tertua di bidang hukum, berisi hukum kerajaan, hukum kasta dan hukum keluarga. Undang-undang Manu (abad V SM) juga menyebut hukum kerajaan. Hukum bangsa-bangsa di zaman India Kuno juga sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau kerajaan demikian, mengatur ketentuan kedudukan dan hak-hak istimewa diplomat, perjanjian, hak-hak dan kewajiban raja, dan hukum perang.[31]
          Lingkungan kebudayaan lain yang telah mengenal semacam hukum bangsa-bangsa adalah kebudayaan Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama mereka sudah dikenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian, perlakuan orang asing dan cara melakukan perang. Hanya saja,  dalam yang disebut terakhir ini, dalam hukum Yahudi dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan terhadap mereka yang digolongkan sebagai musuh bebuyutan.
          Dalam kebudayaan Yunani terdapat aturan-aturan yang melindugi bentara (combattant) di dalam perang. Menurut hukum perang pada waktu itu para bentara tidak boleh diganggu gugat, perang harus diumumkan lebih dahulu, dan para tawanan dapat dijadikan budak. Masyarakat Yunani juga sudah mengenal lembaga perwasitan, dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya, menggunakan wakil-wakil dagang yang disebut konsul. Sumbangan paling berharga yang diberikan kebudayaan Yunani adalah konsep hukum yang bersifat mutlak dan mendunia yang berasal dari akal manusia. Konsep hukum alam yang dikembangkan para filsuf pada abad III M. diteruskan ke Roma.  Dan, dari Roma diteruskan ke suluruh dunia. Hukum alam ini memegang peranan penting dalam perkembangan hukum internasional, yang setelah terdesak oleh ajaran positivist bangkit kembali setelah Perang Dunia II dalam wujud asas-asas hukum umum.
          Pada masa imperium Romawi hukum internasional tidak mengalami perkembangan pesat. Ini disebabkan, karena pada masa itu masyarakat dunia merupakan suatu imperium, yang menguasai seluruh wilayah di dalam lingkungan imperium Romawi. Akibatnya, tak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan tentunya dengan hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan itu. Terhambatnya perkembangan hukum internasional pada masa ini, disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu :
1. kesatuan duniawi dan rohani sebagian Eropa di bawah imperium Romawi Suci;
2. struktur feodal Eropa Barat yang terikat pada suatu jenjangwibawa yang menghambat timbulnya negara-negara merdeka dan mencegah negara-negara untuk memperoleh sifat unitaris dan wibawa negara-negara modern.

          Sekalipun demikian, hukum Romawi telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan hukum internasional. Istilah ius gentium yang berasal dari bahasa Latin merupakan sumbangan hukum Romawi.[32] Konsep-konsep mengenai occupatio, servituut, bonafides, dari hukum perdata, dan asas pacta sunt servanda berasal dari hukum atau kebudayaan Romawi.[33] Jadi, sumbangan Romawi terhadap hukum internasional tidak terletak pada ketentuan-ketentuan hukumnya, tetapi terletak pada konsep-konsep hukumnya, yang menampilkan analogi dan sendi-sendi yang dapat menyesuikan diri secara langsung dengan pengaturan hubungan-hubungan antara negara-negara modern.
          Pada abad pertengahan terdapat dua lingkungan kebudayaan di luar Eropa Barat, yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium, karena posisinya yang lemah mempraktikkan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya, yang merupakan sumbangan terpenting dari kekaisaran Byzantium.
          Sumbangan terpenting yang diberikan Dunia Islam adalah di bidang hukum perang. Perang menurut konsep Islam dibenarkan untuk membela diri, menghilangkan tindakan sewenang-wenang, dan menghilangkan tindakan fitnah. Selain itu, dalam Islam telah diperkenalkan perlakuan yang baik terhdap tawanan perang (Q.II, 190, 191). Tawanan perang dapat dibebaskan baik melalui pertukaran, perkawinan, atau karena memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang diberikan oleh tawanan perang. Perbudakan atas tawanan perang bukan berasal dari Islam tetapi hanya sebagai tindakan timbal balik dan  pembalasan (reciporocity).[34] Dalam hukum Islam mengenai sudah dikenal larangan menyerang orang tua, anak-anak dan perempuan. Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasul, dan praktik Sahabat melarang mencincang mayat musuh, tetapi memerintahkan untuk menguburkan mereka dengan sebaik-baiknya, melarang tindakan khianat, mengingkari janji, melakukan pembakaran, merusak pohon, menyembelih membunuhi hewan-hewan ternak kecuali untuk kebutuhan makan, dan memelihara tempat-tempat ibadah.[35] Dan, hubungan antar bangsa, berupa hidup bertetangga secara baik diatur di dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13.
          Sementara itu, di Eropa Barat hukum internasional pada Abad Pertengahan dikuasai oleh sistem feodal dan keagamaan di bawah Paus sebagai penguasa tertinggi. Aturan hukum kegerejaan dihimpun di dalam Corpus Juris Canonici, yang menempatkan hukum Gereja di atas negara. Doktrin ini ditentang Marthin Luther, lewat gerakan Protestan yang menghendaki reformasi (pembaharuan). Keadaan ini menimbulkan perang agama selama 30 tahun, dan berakhir pada tahun 1647 dengan diadakannya Perjanjian Perdamaian West Phalia.[36]
          Dengan pertumbuhan sejumlah negara  merdeka di Eropa, dimulailah perkembangan modern hukum internasional. Yang dipandang sebagai titik pangkal pertumbuhan negara modern dan perkembangan baru di bidang hukum internasional adalah Perjanjian Perdamaian West Phalia. Perjanjian West Phalia dipandang sebagai peletak dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional, karena:[37]
1. Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun perjanjian West Phalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang terjadi karena perang itu di Eropa;
2.  perjanjian perdamaian itu mengakhiri selama-lamanya usaha kaisar Romawi yang suci (the Holy Roman Emperor) untuk menegakkan kembali imperium Romawi yang suci;
3. hubungan negara dilepaskan dengan gereja dan didasarkan atas kepentingan nasional negara yang bersangkutan;
4. kemerdekaan Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui oleh Perjanjian West Phalia.

          Perjanjian West Phalia merupakan titik puncak dari proses yang sudah dimulai sejak Abad Pertengahan, yaitu gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, khususnya perebutan kekuasaan duniawi antara negara dan gereja. Dengan demikian, kita dapat menempatkan perjanjian West Phalia di dalam keseluruhan kerangka sejarah. Ini, akan dapat menghindarkan timbulnya kekeliruan seolah-olah sebelum  perjanjian perdamaian tersebut tidak ada negara nasional. Padahal sebelum perjanjian perdamaian West Phalia telah ada kerajaan-kerajaan kecil di samping tiga negara besar di Eropa Barat yaitu: Perancis, Spanyol dan Inggris dan beberapa masyarakat di pinggiran masyarakat Kristen Eropa seperti Skandinavia dan Rusia.
          Masyarakat internasional baru yang terbentuk setelah Perjanjian West Phlia memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan susunan masyarakat Kristen Eropa di abad pertengahan yang berdasarkan feodalisme. Ciri-ciri tersebut adalah:[38]

1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi yang ekseklusif di dalam wilayahnya;
2. Hubungan-hubungan nasional satu dengan lainnya didasarkan atas persamaan derajat;
3. Tidak ada kekuasaan di atas negara yang diakui oleh masyarakat negara-negara;
4. Hubungan antar negara berdasarkan atas hukum yang banyak diambil alih dari lembaga-lembaga hukum perdata Romawi;
5. Negara-negara mengakui adanya hukum internasional yang mengatur hubungan negara-negara itu  tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara di dalam mematuhi hukum ini;
6. Tidak ada pengadilan (internasional) dan polisi internasional yang memaksakan ditaatinya hukum internasional;
7. Anggapan terhadap perang bergeser dari segi keagamaan ke doktrim bellum justum sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran bahwa perang merupakan salah satu penggunaan kekerasan (selain represaille) dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan nasional (perang yang benar).

          Dasar-dasar Perjanjian West Phalia kemudian  diperkuat oleh Perjanjian Utrecht (1713) yang menekankan bahwa keamanan atau perdamaian dapat dipulihkan lewat keseimbangan kekuasaan yang adil (justum potentiae equalibrium) yang dapat dipakai sebagai landasan persahabatan yang kekal.[39]
          Dengan pertumbuhan negara-negara merdeka tersebut dilakukan proses pembentukan aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dalam hubungan timbal balik di antara negara-negara tersebut. Di Italia misalnya, banyak negara kecil yang merdeka, mengadakan hubungan diplomatik satu dengan lainnya atau dengan dunia luar. Hubungan-hubungan ini melahirkan aturan hukum kebiasaan di bidang diplomatik seperti, pengangkatan, penerimaan dan kekebalan utusan diplomatik.[40]
          Di penghujung abad ke-15 dan 16 sudah banyak para ahli hukum yang mengarahkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat negara-negara berdaulat, memikirkan dan menulis aneka masalah hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya aturan hukum yang mengatur segi-segi hubungan antara negara-negara. Para penulis tersebut adalah Vittoria (1480-1546), teoloog pada Universitas Salamanca, Belli (1502-1575) dan Gentilis (1552-1608) dari Italia, Brunus (1491-1563) dari Jerman, Fernando Vasquez de Mancaca (1512-1569) dari Spanyol, Baltazar Ayala (1548-1584)  dan Suarez (1548-1617) dari Spanyol, dan Grotius (1583-1645), ahli hukum dari  Belanda. 
          Dari sekian banyak penulis tersebut,  Grotiuslah yang dipandang sebagai bapak hukum internasional.  Ini disebabkan karena ajarannya memiliki nilai intrinsik yang tinggi  dan sesuai dengan panggilan jaman. Ajarannya    didasarkan pada  hukum alam yang telah disekulerkan. Ia memberikan tempat yang penting bagi negara-negara nasional. Selain itu, ia banyak menempatkan praktik negara dan perjanjian antar negara di samping hukum alam yang diilhami akal manusia sebagai sumber hukum alam. Dialah yang meletakkan dasar-dasar bagi sistematika pembahasan hukum internasional, yang sebagian besar, masih diikuti sampai sekarang. Karyanya yang terpenting di bidang ini adalah De Jure Belli ac Pacis.
          Akan tetapi, tidak semua ahli hukum internasional menyetujui Grotius sebagai bapak hukum internasional. Oppenheim misalnya, menyatakan bahwa sebutan bapak hukum internasional kepada Grotius berlebihan. Sebab, sebelum Grotius sudah ada sarjana yang menulis di bidang hukum internasional. Sarjana-sarjana itu adalah Francisco Vittoria dan Alberico Gentili.[41] Beberapa penulis lainnya juga menolak pendapat bahwa Grotius sebagai bapak hukum internasional. Ini didasarkan pada alasan bahwa Grotius banyak mendapat ide dari tulisan-tulisan Gentilis, dan ia mengikuti tulisan-tulisan Gentilis, Ayala dan penulis-penulis lain. Memang, baik Grotius maupun Gentilis banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis sebelumnya.[42]
          Penulis-penulis terkemuka setelah Grotius di abad ke-18 yang besar pengaruhnya bagi perkembangan hukum internasional adalah Zouche (1590-1660), Guru Besar Hukum Perdata di Oxford, Pufendorf (1632-1694), Guru Besar Universitas Heidelberg, Binkershoek (1673-1743), seorang ahli hukum Belanda, Christian Wolf (1609-1764), seorang ahli hukum dan filsafat Jerman dan Emerich Vattel (1714-1767), seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss. Mereka pada umumnya digolongkan ke dalam aliran hukum alam dan positivist.
          Pufendorf dan Wolf adalah para penganaut aliran hukum alam. Menurut Pufendorf, hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang berpangkal pada akal manusia, yang mengatur kehidupan manusia kapan dan di mana saja ia berada, baik ia hidup berorganisasi di dalam negara atau tidak. Christian Wolf mengemukakan teori Civitas Maxima. Teori ini memandang hukum internasional sebagai hukum dunia yang belaku pada Negara Dunia, yang  meliputi negara-negara di dunia. Sebaliknya, Zouche, Binkershoek dan von Martens adalah penganut positivist. Mereka mementingkan praktik negara sebagai sumber hukum yang terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian. Sekalipun tidak menolak hukum alam secara mutlak.[43]
          Emerich Vattel dapat digolongkan sebagai aliran eclectic, yakni aliran yang memilih segi-segi baik dari kedua aliran tersebut. Karya Vattel memiliki pengaruh besar bagi perkembangan hukum internasional di kemudian hari, utamanya di Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya penting karena:[44]
1. tulisannya banyak memuat adat kebiasaan dan perjanjian antar negara yang sangat berharga sebagai sumber atau bukti hukum;
2. tulisan-tulisannya memiliki sumbangan yang besar dalam menjelaskan pengertian dan pengembangan konsep  dan pembahasan persolan hukum internasional secara sistematis.
          Revolusi Perancis dan Amerika pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga mempengaruhi perkembangan hukum internasional lewat internasionalisasi hubungan antar bangsa (Eropa, Amerika, Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan antar  bangsa  ini  melahirkan  asas-asas  dan gagasan-gagasan    baru   yang memperkaya hukum internasional. Gagasan-gagasan tersebut antara lain: hak suatu bangsa untuk mengubah atau menyusun pemerintahannya, serangan kepada suatu negara dianggap sebagai serangan terhadap semua bangsa, kepentingan manusia di atas kepentingan negara, perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45]
          Selanjutnya melalui Kongres Wina (1815) yang mengakhiri Perang Napoleon ditetapkan kembali garis batas negara-negara di Eropa di samping larangan perbudakan secara internasional. Di bidang diplomasi diciptakan suatu Protokol yang disebut Protokol Aix-la-Capelle (1818) yang masih bertahan sampai sekarang.
          Perlawanan terhadap Napoleon digalang lewat Persekutuan Sempurna atau lebih terkenal dengan sebutan the Consert of Europe. Negara-negara sekutu ini terdiri atas Austria, Inggris, Prusia, Rusia, dan setelah tumbangnya Napoleon ditambah dengan Perancis. Melalui Concert of Europe ini ditingkatkan kerjasama di Eropa dalam berbagai bidang berdasarkan hukum internasional.[46]
          Di antara negara-negara besar di Eropa sendiri terjadi pertentangan internal, antara negara-negara yang ingin mempertahankan absolutisme dan yang ingin menghapuskannya. Untuk mempertahankan absolutisme tersebut, negara-negara Austria, Prusia dan Rusia membentuk Persekutuan Suci (Holy Alliance, 1815) dengan memasukkan segi-segi keagamaan di dalamnya. Usaha negara-negara ini gagal, karena tidak dapat membendung pikiran-pikiran baru yang lebih demokratis. Pergolakan yang terjadi di Eropa merambah pula ke Benua Amerika. Untuk mempertahankan Amerika dari dominasi Eropa melalui Holy Aliance, dikeluarkan suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doktrin Monroe pada tahun 1823. Menurut doktrin ini Benua Amerika tidak lagi dipandang sebagai berada di bawah penjajahan Eropa di masa yang akan datang. [47]
Perkembangan ini terjadi selama abad ke-19. Abad ini dapat dipandang sebagai puncak kejayaan dalam tingkat kedewasaan negara nasional. Perkembangan ini sangat didukung  oleh munclnya negara-negara baru yang kuat di Eropa dan di luar Eropa, perluasan peradaban Eropa, pemodernan pengangkutan dunia, kehancuran dahsyat oleh prang modern dan pengaruh temuan-temuan baru. Keadaan ini mendesak untuk adanya  aturan yang mengatur perilaku negara dalam urusan internasional. Selama abad ini terjadi perkembangan yang menonjol di bidang hukum perang dan netralitas, penyelesaian sengketa melalui lembaga perwasitan, dan timbulnya kebiasaan negara merundingkan perjanjian umum untuk mengatur kepentingan timbal balik.[48]
          Kejadian terpenting di abad ke-19 dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional adalah Konferensi Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa tahun 1864. Kedua Konferensi memelopori Perjanjian Perdamaian Den Haag di akhir abad ke-19 (tahun 1899), yang penting sekali artinya dalam perkembangan hukum internasional. Pentingnya konferensi-konferensi ini, karena untuk pertamakalinya konferensi internasionaldipergunakan secara sadar untuk melahirkan konvensi-konvensi internasional yang membentuk perjanjian-perjanjian yang berlaku umum dan dilaksanakan secara berkala.[49]
          Perkembangan penting  berikutnya,  terjadi  pada  abad ke-20. Pada permulaan  abad ini diadakan Perjanjian Perdamaian Den Haag II, tahun 1907.  Hasil terpenting dari Konferensi Perdamaian Den Haag I dan II selain dari Konvensi-konvensi di bidang hukum perang  adalah dibentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen. Kemudian, pada tahun 1921 dibentuk pula Mahkamah Internasional Permanen, yang setelah bubar pada tahun 1946 digantikan oleh Mahkamah Internasional yang dibentuk pada tahun 1945.[50]
          Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Konferensi Perdamaian Den Haag 1899 dan 1907  mengakhiri tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yang didasarkan atas negara kebangsaan, dan dimasukinya tahap kedua, yaitu tahap konsolidasi. Tahap konsolidasi masyarakat internasional ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[51]

1. Negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan. Jika dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yaitu setelah terjadinya perjanjian West Phalia, kekuasaan nyata negara masih berada di tangan raja; setelah terjadinya revolusi Perancis kekuasaan yang dipegang beralih ke tangan rakyat sehingga negara kebangsaan telah benar-benar menjadi negara nasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan lagi kerajaan dalam bentuk baru;
2. Konferensi-konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang meletakkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku universal. Diadakannya konferensi semacam ini secara berkala merupakan langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional sebagai masyarakat hukum. Konferensi yang bersifat umum dan universal ini, sedikit banyak memenuhi fungsi legislatif masyarakat internasional. Konferensi-konferensi perdamaian ini dapat dipandang sebagai pelopor usaha yang lebih terarah di kemudian hari kepada pembentukan hukum internasional  melalui perjanjian, yaitu uaha kodifikasi hukum internasional dalam rangka Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. Pembentukan Mahkamah Internasional Arbitrasi Permanen merupakan kejadian penting dalam mewujudkan masyarakat hukum internasional.  Terbentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antar bangsa di Abad Perterngahan. Pembentukan Arbitrasi Internasional Permanen ini kemudian diikuti pula dengan pembentukan Mahkamah Internasional Permanen tahun 1921, yang merupakan mahkamah untuk mengadili perkara-perkara internasional menurut hukum. Dibentuknya lembaga-lembaga dengan wewenang penyelesaian sengketa internasional tanpa menggunakan kekerasan senjata, merupakan tanda bahwa masyarakat internasional telah memasuki tahap kedewasaan. Dari sudut perkembangan masyarakat hukum kejadian ini penting karena dengan pembentukan kedua Mahkamah ini berarti telah diambil langkah-langkah pertama dalam memperjuangkan kekuasaan peradilan sebagai salah satu fungsi yang sangat penting dalam masyarakat hukum.

          Dalam masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den Haag 1907 telah timbul pula kejadian-kejadian penting bagi perkembangan masyarakat internasional, yaitu (1) Perjanjian Larangan Perang sebagai cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand- Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928, dan (2) Didirikannya Liga Bangsa-Bangsa dengan Perjanjian Versailles sesudah Perang Dunia I dan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II.[52]
          Kemunculan dua organisasi internasional tersebut menambah dimensi baru bagi masyarakat internasional modern yang sangat penting artinya bagi perkembangan hukum internasional modern, yaitu gejala organisasi atau lembaga internasional yang melintasi batas-batas negara yang mempunyai wewenang dan tugas di samping dan kadang-kadang di atas kekuasaan negara nasional.
          Tahap berikutnya dari perkembangan masyarakat dan hukum internasional adalah tahap emansipasi politik negara-negara yang melepaskan diri dari belenggu penjajahan ke dalam masyarakat internasional yang merdeka dan berdaulat. Tahap ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I dan mencapai puncaknya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam tahap ini, negara-negara bekas jajahan, terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ikut serta secara aktif di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional baru di berbagai forum internasional.[53]
          Pada masa sebelum tahap perkembangan yang disebut terakhir ini, hukum internasional tidak berlaku secara universal dan seragam. Pada masa ini hukum internasional bekerja pada dua bidang yang berbeda. Di satu sisi, hukum internasional sesuai dengan tipe hubungan yang dibentuk di antara bangsa-bangsa beradab (civilized states)  dan dunia sisanya, hubungan yang sebagian besar tergantung pada kenyataan gejala penguasaan oleh sebagian kecil negara terhadap negara-negara lain. Di sisi lain hukum internasional sesuai dengan hubungan inter se, hubungan ini terbatas pada Negara-negara Anggota “Klub” sejauh  klub tersebut menjamin satu dengan lainnya memiliki kedaultan dan kemerdekaan atas dasar timbal balik penuh (full reciprocity). Dengan cara ini, hukum beroperasi dalam lingkungan yang agak berbeda yang mengatur di satu sisi suatu “masyarakat” internasional  yang terbatas pada klub ekslusif, dan  di sisi lain, sekumpulan bangsa asing (overseas peoples) yang dikeluarkan dari masyarakat internasional ini.[54] 
          Hukum ini, yang oleh Bedjaoui disebut sebagai hukum internasional klasik, tidak lain daripada hukum Eropa. Hukum internasional klasik ini merupakan suatu sistem norma  dengan muatan geografis (hukum Eropa), ilham etik dan agama (hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum perniagaan) dan tujuan politik (hukum imperialistik). Dan, sesuai dengan tatanan ekonomi pada waktu itu, hukum initernasional ini juga merupakan (a) Hukum Oligarkis (Oligarchic law) yang mengatur hubungan di antara negara-negara berada yang termasuk pada klub tersebut, (b) Hukum Plutokratik (Plutocatic law) yang memperkenankan negara-negara tersebut mengekploitasi negara-negara yang lebih lemah; (c) Sejauh mungkin merupakan hukum non intervensi (Non interventionist law)….. [55]   
           











[29]Ibid.,  hal. 7.
[30]Sam Suhaedi Admawira,  Hukum Internasional, CV. Aulia, Bandung, tt, 78-79.


            [31]Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 24-25.



[32] Ibid.,  hal. 27
[33]Starke, op. cit.,  hal. 9.

[34]Ali Ali Mansyur, Asy Syariatul Islamiyah wal Qanunud Dauliyul ‘Am, Alih bahasa Muhammad Zain Hassan, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 79-80.
[35] Ibid.,  hal. 57-59.



[36] A. Masyhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional,, Malang, IKIP Malang, 1995, hal. 16.
[37]Satarke, op. cit,  hal. 9
[38]Kusumaatmadja, op. cit., hal. 29-30

            [39]Effendi et al., op. cit., hal. 18
[40]Kusumaatmadja, loc. cit,  
[41]Oppenheim - Lauterpacht, op. cit.,  hal. 91.
[42]Starke, op. cit.,  hal. 10.
[43]Kusumaatmadja, op. cit.,  hal.
[44]Ibid.,  hal. 33.
[45]Efendi et al., op. cit., hal. 18. Ibid.,  hal. 18.
[46] Ibid.,  hal. 18.




[47]Ibid., hal. 19.
[48]Starke, op. cit.,  hal. 12.



[49]Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 35.
[50] Starke, op. cit.,  hal. 12-13
[51] Kusumaatmadja, op. cit.,  hal. 36-37
[52]Ibid.,  hal. 38.
[53]Lihat Effendi et.al., op. cit., hal. 23-24.
[54]Lihat Mohammed Bedjaoui, ‘General Introduction’ dalam Mohammed Bedjaoui (Ed), Inhternational Law, Achievement and Prospect,  UNESCO, Paris – Martinus Nijhoff, Dordrecht/ Boston/London, 1991, hal. 6-7. 

[55]  Ibid., hal. 6

2 komentar:

  1. materi ini sangat membantu saya menyelesaikan tugas di sekolah, terima kasih :)
    kunjungi juga yah blog saya yang baru bergabung di blogger, liasarimulya.blogspot.com

    BalasHapus