BAB I
PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNATIONAL
A. Peristilahan
Dalam kepustakaan hukum humaniter internasional, hukum ini kerap disebut dengan berbagai macam istilah. Istilah-istilah itu adalah: hukum perang (law of war), hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict), internasional humanitarian law, dan di Indonesia digunakan oleh Hukum Perikemanusiaan Internasional (disingkat HPI). Istilah yang belakangan ini digunakan oleh Palang Merah Indonesia.
Hukum perang, adalah istilah yang paling tua. Istilah ini telah lahir, sejak hukum bangsa-bangsa (the law of nations), dan bahkan dapat dipandang sebagai bidang hukum internasional yang tertua, karena sebagaimana diketahui sejak masa-masa awal perkembangan bangsa-bangsa di dunia sering terjadi perang di antara bangsa-bangsa itu. Bahkan pada masa ini, bangsa-bangsa di dunia mengembangkan pengaruh dan wilayahnya melalui perang.[1]
Hukum perang adalah hukum yang mengatur tentang perang. Quincy Wright sebagaimana dikutip oleh Letnan Kolonel David P. Cavaleri, pensiunan Angkatan Bersejata AS memasukkan konsep ganda tentang “petempur bersenjata (“armed combatants”) dan “keabsahan”(“legality”) dalam paparannya mengenai perang sebagai “kondisi hukum yang membolehkan dua kelompok atau lebih untuk melakukan suatu konflik dengan angkatan bersenjata”.[2] Definisi yang lebih lengkap dikemukan oleh Oppenheim. Oppenheim sebagaimana dikutip oleh Yoram Dinstein menyatakan perang adalah suatu pertarungan di antara dua Negara atau lebih melalui angkatan bersenjata mereka dengan tujuan menaklukkan satu dengan lainnya dan memaksakan syarat-syarat perdamaian yang menguntungkan pihak pemenang.[3] Definisi ini mengandung empat unsur, yaitu: (1) harus ada pertaruangan di antara sekurang-kurangnya dua negara, (2) harus ada penggunaan angkatan bersenjata dari negara-negara tersebut, (3) tujuannya haruslah untuk menaklukkan musuh (juga memaksakan perdamaian dengan syarat-syarat yang ditetapkan pemenang, dan dapat disimpulkan khususnya dari kata-kata satu dengan lainnya (4) kedua pihak diduga memiliki tujuan yang sama (symmetrical goal), sekalipun bertentangan secara diametric.[4] Dari keempat unsur tersebut Dinstein menyatakan hanya unsu yang pertama yang dapat diterima, yaitu pertarungan antara dua Negara atau lebih, atau disebut perang antar Negara tanpa keberatan.[5] Akan tetapi harus diingat, bahwa Konvensi-konvensi Jenewa dalam Pasal-pasal 3 yang bersamaan (Common Articles) mengakui selain sengketa bersenjata antar Negara (international armed conflict), juga dalam batas-batas tertentu mengakui perang saudara (sipil war (non international armed conflict)).[6]
Istilah ini bahkan terus-menerus dipergunakan selama perjalanan hukum internasional, sampai kemudian meredup setelah terjadinya Perang Dunia II. Setelah usainya Perang Dunia II, orang merasa trauma mendengar kata perang. Oleh karena itu, istilah ini dihindari penggunaannya dalam hukum, dan dipergunakan istilah lain, yaitu hukum sengketa bersenjata (Law of Armed Conflict).
Dalam arti luas hukum sengketa bersenjata diartikan sebagai hukum yang menentukan kapan Negara-negara dapat menggunakan angkatan (kekerasan) bersenjata dan bagaimana Negara-negara tersebut dapat melakukan permusuhan selama sengketa bersenjata. Dalam arti sempit hukum sengketa bersenjata, adalah seperangkat hukum yang mengatur tindakan permusuhan selama sengketa bersenjata.[7]
Berbeda dengan perang, yang harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1) pertaruangan, (2) di antara sekurang-kurangnya dua negara, (3) menggunakan angkatan bersenjata, (4) untuk menaklukkan musuh, setelah Perang Dunia II, sengketa bersenjata tidak perlu memenuhi keempat unsur tersebut. Hukum perang berlaku terhadap sengketa bersenjata internasional jika timbul perselisihan di antara dua Negara dan menimbulkan sengketa bersenjata, terlepas berapa lama sengketa itu berlangsung dan bagaimana pembunuhan terjadi.[8]
Istilah hukum humaniter digunakan untuk lebih menekankan sisi kemanusiaan dari hukum perang. Istilah ini banyak digunakan di berbagai fakultas hukum. Di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, hukum humaniter internasional juga digunakan untuk menyebut salah satu nama mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas tersebut.
Untuk mengetahui tempat hukum humaniter internasional dalam hukum internasional, terlebih harus diketahui apa yang menjadi cakupan hukum perang. Hukum perang mencakup, apa yang dalam perkembangan hukum internasional dikenal sebagai: (1) jus ad bellum, dan (2) jus in bello.
1. Jus ad bellum
Jus ad bellum berarti “hak untuk menggunakan kekerasan” atau “hak untuk melakukan perang”.[9] Jus ad Bellum adalah hukum yang berkaitan dengan pengelolaan konflik, hukum yang berkaitan dengan bagaimana Negara melakukan sengketa bersenjata, berdasarkan keadaan-keadaan bagaimana penggunaan kekuatan militer dibenarkan menurut hukum dan moral.[10] Istilah ini adalah istilah hukum dan filosofis yang memaparkan segi-segi hukum perang yang dimaksudkan untuk mencegah sengketa bersenjata, dan bila pencegahan ini gagal, untuk mempertegas kapan perang boleh dilakukan.[11]
Terkait dengan dalam keadaan bagaimana dan kapan perang boleh dilakukan, dikembangkan konsep “just war”. Cicerolah yang pertama kali mencetuskan konsep ini. Ia menyatakan bahwa perang sama sekali tidak boleh dilakukan oleh suatu Negara “kecuali untuk mempertahankan kehormatan atau keselamatan”. Selanjutnya, ia menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk membenarkan perang: perang harus diumukan oleh pemerintah yang sah (proper authority), musuh harus diberitahu tetang pengumuman perang tersebut, dan musuh harus diberi peluang merundingkan penyelesaian damai sebelum dimulainya permusuhan.[12]
Konsep just war dikembangkan lebih jauh oleh para pakar Kriten masa-masa awal. St. Agustine dan St. Thomas Aquinas berusaha menyelaraskan ajaran gereja dengan pragmatism politik dengan mengganti kreteria hukum Romawi untuk membenarkan perang dengan sudut pandang moral atau agama.[13] St. Agustine mengembangkan konsepnya mengenai just war dengan mengakui definisi just war Cicero untuk membela kehormatan atau hak milik dan juga menerima tiga prinsip just war Romawi, yaitu: alasan yang sah (legitimate cause), diumumkan oleh pemerintah yang sah, dan tujuan akhir perang adalah perdamaian (that peace is the final objective), dengan menambahkan satu tujuan fundamental, bahwa perang adalah sarana yang digunakan Tuhan menghukum manusia atau membebaskannya dari dosa-dosanya. Atas dasar dalil ini, Agustin mennyatakan bahwa perang diperintahkan oleh Tuhan, dan dengan sendirinya, benar (just). Dengan demikian, menurut pandangan ini perang adalah kehendak Tuhan. Selaras dengan ini setiap pemimpin Negara yang memiliki landasan yang baik yang mengumumkan perang, jika ini dilakukan untuk mendukung kehendak Tuhan.
2. jus in bello,
Jus in bello, menggambarkan segi-segi hukum perang yang dimaksukan untuk untuk mengatur dan membatasi para petempur yang terlibat dalam sengketa bersenjata – konsep ini menentukan caranya melakukan perang.[14]
Jus inb bello adalah hukum yang mengatur tindakan Negara-negara begitu sengketa bersenjata dimulai; pembatasan-pembatasan hukum dan moral apa yang berlaku atas tindakan perang.[15] Jadi, jus in belo adalah hukum yang mengatur tentang cara dan alat perang serta perlindungan terhadap korban perang.
Hukum yang mengatur: (a) cara dan alat perang (means and method of war), dan (b) perlindungan terhadap korban perang (protection of the victim of war) inilah yang dalam kepustakaan hukum internasional disebut sebagai hukum humaniter internasional. Jadi, tidak termasuk dalam pengertian hukum humaniter internasional, dan tentu saja tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini, jus ad bellum. Yang terakhir ini, menjadi bidang kajian dalam hukum internasional umum. Ini sejalan dengan pengertian hukum humaniter internasional, yang dirumuskan sebagai berikut: “International Humanitarian Law (IHL) is a set of norms applicable in times of armed conflict designed to protect people who are not, or no longer, participating in hostilities, as well as to limit the means and methods of warfare.”[16]
Hukum humaniter humaniter yang mengatur tentang cara dan alat perang lazim disebut Hukum Den Haag (the Hague Rules). Disebut demikian, karena cara dan alat perang diatur dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Sedangkan hukum yang mengatur perlindungan korban perang disebut Hukum Jenewa (the Geneva Rules). Disebut Hukum Jenewa, karena perlindungan terhadap para korban perang diatur dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Berbeda dengan, Konvensi-komvensi Den Haag yang mengatur tentang cara dan alat perang, dan Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur perlindungan korban perang, Protokol I dan II yang ditambahkan pada Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977 (selanjutnya disebut Protokol Tambahan I dan II 1977), mengatur keduanya, cara dan alat perang, dan perlindungan korban perang.
Bebeda dengan jus ad bellum yang mempersoalkan tentang keabsahan perang (legality of war), jus in bello hukum humaniter melepaskan diri dari persoalan tersebut. Hukum humaniter tidak mempersoalkan mengapa kekerasan bersenajata digunakan. Bagi hukum humaniter internasional tidak penting apakah ada pembenaran untuk mengangkat senjata, apakah penggunaan pasukan dimaksudkan untuk memulihkan hukum dan ketertiban, atau apakah itu merupakan agresi terang-terangan, juga tidak penting apakah itu dilakukan oleh kelompok perlawanan yang diserang atau tidak. Bagi hukum humaniter internasional penerapannya adalah persoalan kenyataan (fact). Dengan demikian, begitu ada sengketa bersenjata, begitu ada orang yang terluka, atau ada anggota angkatan bersenjata suatu pihak pesengketa bersenjata yang menyerah kepada pihak pesengketa bersenjata lainnya, atau orang sipil yang berada dalam kekuasaan mereka, begitu mereka menahan tawanan atau menguasai wilayah negara musuhnya, maka mereka harus mematuhi konvensi terkait. Jumlah yang terluka atau jumlah tawanan, luas wilayah yang diduduki tidak penting, sebab persyaratan perlindungan tidak tergantung pada pertimbangan kuantitatif.[17]
B. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional
Ada prinsip utama (primary principles) dalam hukum humaniter internasional, yaitu prinsi: (1) kepentingnan militer (militer neccessity), (2) kepentingan kamanusiaan (humanity neccessity), (3) keseimbangan (proporsionality), dan (4) Kekesatriaan (chivalry).[18]
1. Kepentingan militer
Para pihak yang bersengketa dalam perang mereka menghendaki untuk mengalahkan musuh dalam waktu yang cepat dan tanpa menimbulkan kerugian di pihak mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut segala cara dan semua alat yang dibenarkan oleh hukum internasional akan dipergunakan. Dengan demikian, maka sekalipun pihak-pihak yang bersengketa dapat mempergunakan segala cara dan alat perang untuk mengalahkan musuhnya, mereka harus tunduk kepada ketentuan hukum internasional yang membatasi cara dan alat perang.
National Defence Kanada, dalam Joint Manualnya menegaskan bahwa konsep kepentingan militer harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[19]
a. the force used can be and is being controlled;
b. the use of force is necessary to achieve the submission of the enemy; and
c. the amount of force used is limited to what is needed to achieve prompt submission.
Jadi, dalam menggunakan kekuatan militer para pihak harus memperhatikan, kekuatan militer itu harus dapat dikendalikan, diperlukan untuk membuat musuh menyerah, dan kekerasan yang digunakan dibatasi sampai batas yang diperlukan untuk membuat musuh cepat menyerah.
2. Prinsip kemanusiaan
Sekalipun pihak-pihak yang bersengketa dapat mempergunakan segala cara dan semua alat perang yang diperbolehkan dalam hukum internasional, dalam melakukan serangan atau tindakan permusuhan lainnya pihak-pihak yang bersengketa harus memperhatikan segi-segi kemanusiaan terhadap lawannya di dalam perang.
Di dalam sengketa bersenjata, para pihak dilarang menggunakan cara dan alat yang menimbulkan penderitaan tidak perlu terhadap lawannya, melukai atau menimbulkan kerugian atau kerusakan yang tidak perlu dari sudut militer, menyiksa lawan yang sudah menyerah, atau tindakan-tindakan lainnya yang tidak memiliki keuntungan militer.
Prinsip kemanusiaan ini sejalan dengan Klausul Marten (Marten Clause). Klausul Marten terbut menyatakan sebagai berikut:[20]
“Until a more complete code of the laws of war is issued in cases not included in the Regulations populations and belligerents remain under the protection and empire of the principles of international law, as they result from the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and the requirements of the public conscience.”
Klausul Marten ini menempatkan penduduk dan pihak-pihak pesengketa bersenjata yang tidak dilindungi oleh Hukum Den Haag, tetap dalam perlindungan dan dalam jangkauan perlindungan prinsip-prinsip hukum internasional, sebagai hasil dari kebiasaan yang berlaku di antara bangsa-bangsa yang beradab, dari hukum kemanusiaan, dan kesadaran masyarakat.
Klausul Marten memuat ketentuan untuk memberikan perlindungan atas martabat kemanusiaan sampai batas minimum tertentu termasuk dalam keadaan sengketa bersenjata. Tindakan yang tidak dilarang dengan tegas tetap tunduk kepada uji kemanusiaan. Prinsip ini memainkan peran penting dalam Peradilan Nuremberg. Prinsip kemanusiaan menyatakan bahwa seorang tentara bertujuan melumpuhkan para petempur lain untuk mencapai suatu tujuan militer tertentu, serangan serampangan dan serangan terhadap sasaran-sasaran sipil dilarang.[21]
Acts not expressively forbidden are therefore still subject to a test of basic humanity. This principle played a major role in the Nuremberg Trials. The principle of humanity states that a soldier's aim is to disable other combatants in order to reach a defined military objective. Indiscriminate attacks and attacks against civilians or civilian targets are strictly prohibited”.
Keseimbangan
Prinsip keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara kepentingan militer dan kepentingan kemanusiaan. Berdasarkan prinsip ini tindakan pihak-pihak yang bersengketa terhadap lawannya harus memperhatikan kepentingan mana yang lebih besar. Pihak-pihak yang berperang misalnya dapat menghancurkan jembatan, jalan raya, rel kereta apa yang pada hakikatnya merupakan obyek sipil jika serangan tersebut sangat diperlukan untuk kepentingan militer, misalnya dapat menghambat pergerakan lawan, memotong jalur pasokan perbekalan, atau melumpuhkan kekuatan lawan. Sebaliknya, pihak-pihak yang berperang harus membatalkan serangan mereka, jika serangan tersebut akan menimbulkan korban yang lebih dipihak sipil, misalnya seorang lawan yang melarikan diri ke pemukiman penduduk sipil, atau menunda serangan jika ini akan menimbulkan yang besar di kalangan sipil, misalnya, jika pihak lawan memusatkan peasukannya di dekat pemukiman sipil. Dalam kasus terakhir ini, pihak yang akan melakukan serangan harus memberikan kesempatan kepada penduduk sipil untuk keluar dari pemukiman mereka, dengan menyediakan lorong pengungsian bagi mereka.
Dengan dengan demikian prinsip keseimbangan menghendaki kerugian sipil yang disebabkan tindakan militer tidak boleh berlebihan dikaitkan dengan keuntungan yang diharapkan. Prinsip ini mewajibkan pihak-pihak pesengketa menyeimbangkan kepentingan militer dengan kerugian ikutan yang diperkirakan secara wajar terhadap orang-orang sipil dan obyek-obyek sipil.[22]
Prinsip keseimbangan ini erat kaitannya dengan prinsip pembedaan (principle of distinction) antara petempur dan bukan petempur yang melarang serangan terhadap penduduk sipil yang melarang serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil. Jalan pikirannya adalah perang dilakukan di antara para perajurit, dan penduduk sipil sedapat mungkin hendaknya tetap tidak tersentuh oleh permusuhan.[23]
.
3. Kekesatriaan
Prinsip ini, yang berasal dari abad pertengahan, menghendaki pihak-pihak yang berperang tidak melakukan tindakan khianat (trachereous), tindakan yang bertentangan dengan kehormatan dan martabat kemanusiaan. Berdasarkan prinsip ini, maka pihak yang bersengketa tidak boleh menyalahgunakan seragam atau lencana musuh, bendera perdamaian (truce flag), ambulance untuk menyerang musuh.
Perlu ditambahkan di sini, satu prinsip yang sangat terkait dengan pelaksanaan (operasi) hukum humaniter internasional, yaitu prinsip pembedaan.
Prinsip ini mengharuskan komandan membedakan di antara sasaran-sasaran yang sah, obyek-obyek sipil dan penduduk sipil.[24] Jean Mari asas ini dituangkan dalam berbagai instrument dan paraktik nasional.[25]
a. Prinsip atau asas pembedaan dalam instrument-instrumen internasional. Prinsip ini dimuat antara lain dalam:
1. Pasal 48 AP I menentukan bahwa “Para Pihak yang bersengketa pada segala waktu harus membedakan di antara penduduk sipil dan petempur (combatants)”.
2. Pasal 24(1) rancangan …. menentukan bahwa AP II “untuk menjamin penghormatan penduduk sipil, para pihak yang bersengketa …. Harus membedakan penduduk sipil dan petempur (combatants)”. Usul ini diubah dan disepakati dengan suara bulat di Komite III CDDH. Teks yang disetujui itu menentukan bahwa “in order to ensure respect and protection for the civilian population . . . the Parties to the conflict shall at all times distinguish between the civilian population and combatants”. Usul ini akhirnya gagal dalam siding pleno, karena gagal memperoleh 2/3 suara mayoritas (36 setuju, 19 menentang dan 36 abstain).
3. Menurut pembukaan the 1997 Ottawa Convention, Negara-negara pihak mendasarkan persetujuan mereka atas berbagai prinsip IHL, termasuk “the principle that a distinction must be made between civilians and combatants”.
b. Praktik Nasional
Prinsip ini antara lain dimuat dalam praktik nasional dalam bentuk:
1) Military Manuals
· Argentina’s Law of War Manual menentukan bahwa “the parties to the conflict must distinguish at all times between the [civilian] population and combatants”.
· Australia’s Defence Force Manual menyatakan bahwa hukum sengketa bersenjata “establishes a requirement to distinguish between combatants and civilians, and between military objectives and civilian objects. This requirement imposes obligations on all parties to a conflict to establish and maintain the distinction.”
· Belgium’s Law of War Manual menyatakan “a distinction must always be made between the civilian population and those participating in hostilities: the latter may be attacked, the former may not”.
· Benin’s Military Manual menentukan bahw “a distinction shall be made at all times between combatants and civilians”.9
· Cameroon’s Instructors’ Manual mengharuskan “respect for the principle of distinction, that is to say, the definition and separation of soldiers and civilians”. Manual ini menambahkan bahwa “a soldier cannot fight without knowing exactly who is a combatant and who is not”.
2) National Legislation
· Berdasarakan Undang Konvensi Jenewa Irlandia (Ireland’s Geneva Conventions Act) yang diperbaharui, setiap pelanggaran ringan (“minor breach”) AP I, termasuk pelanggaran Pasal 48 AP I, adalah kejahatan yang dapat dipidana.
· Berdasarkan Kitab Hukum Pidana Militar Norwegia (Norway’s Military Penal Code) yang diperbaharui, “anyone who contravenes or is accessory to the contravention of provisions relating to the protection of persons or property laid down in . . . the two additional protocols to [the Geneva] Conventions . . . is liable to imprisonment”.
3) Praktik Nasional lainnya
- Sebuah laporan yang disampaikan kepada Senat Belgia 1991 menegaskan bahwa prinsip pembedaan (the principle of distinction) tetapi menjadi landasan hukum sengketa bersenjata.
- Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan kepada Mahkamah Internasional dalam NuclearWeapons case dalam tahun 1995, Ecuador menyatakan bahwa “the use of nuclear weapons does not discriminate, in general, military objectives from civilian objectives”.
- Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan kepada Mahkamah Internasional dalam NuclearWeapons case dalam tahun 1995, Mesir menyatakan bahwa: The distinction between combatants and non-combatants is one of the most important victories and accomplishments of international law since the early beginnings of the nineteenth century. Any authorization of nuclear weapons will definitely cause this principle to collapse.
c. Praktik Organisasi Internasional dan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
1) Dalam Resolusi 2444 (XXIII), yang diundangkan dalam tahun 1968, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengukuhkan Resolusi XXVIII of the 20th International Conference of the Red Cross dan prinsip-prinsip kemanusia yang mendasar berlaku dalam semua konflik yang di dalamnya ditegaskan bahwa “distinction must be made at all times between personstaking part in the hostilities and members of the civilian population to the effect that the latter be spared as much as possible”.
2) Dalam Resolusi 2675 (XXV), yang diundangkan dalam tahun 1970, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan bahwa “in the conduct of military operations during armed conflict, a distinction must be made at all times between persons actively taking part in the hostilities and civilian populations”.
3) Dalam Resolusi 2673 (XXV), yang diundangkan pada hari yang sama terkait dengan wartawan di kawasan konflik, menunjuk dalam pembukaannya kepada prinsip pembedaan.
4) Dalam tahun 1998, dalam sebuah laporan mengenai perlindungan bagi bantuan kemanusiaan kepad pengungsi dan lainnya dalam keadaan konflik, Sekretaris Jendral mengingatkan bahwa pola-pola konflik yang berubah dalam tahun-tahun beakangan ini secara dramatis memperburuk kepatuhan terhadap hukum intefnasional dan menyebutkan sebagai contoh “in situations of internal conflicts, whole societies are often mobilized for war and it is difficult to distinguish between combatants and non-combatants”.
5) Laporan sesuai dengan aline 5 Resolusi Dewan Keamanan PBB 837 (1993) tentang penyeleidikan 5 Juni 1993 serangan terhadap pasukan PBB di Somalia mengingatkan bahwa: The [Geneva] Conventions were designed to cover inter-State wars and large-scale civil wars. But the principles they embody have a wider scope. Plainly a part of contemporary international customary law, they are applicable wherever political ends are sought through military means. No principle is more central to the humanitarian law of war than the obligation to respect the distinction between combatantsand non-combatants. That principle is violated and criminal responsibility thereby incurred when organizations deliberately target civilians or when they use civilians as shields or otherwise demonstrate a wanton indifference to the protection of non-combatants.58
d. Praktik Organisasi Internasional lainnya
Dalam sebuah deklarasi yang diadopsi pada ulang tahun ke 50 Konvensi Jenewa dalam tahun 1999, EU menyatakan bahwa “it deplored the persistence of violations of IHL. It added that present-day conflicts often did not make the important distinction between combatants and civilians and that children and other vulnerable groups were targets of the conflicts.59
e. Konferensi Internasional
Konferensi Internasional Palang Merah dalam tahun 1965 menyatakan dengan hidmat bahwa: All Governments and other authorities responsible for action in armed conflicts should conform at least to the following principles: . . . that distinction must be made at all times between persons taking part in the hostilities and members of the civilian population to the effect that the latter be spared as much as possible.
e. Praktik Badan Pengadilan dan Quasi Pengadilan Internasional
1) Dalam fatwa (advisory opinion)nya dalam Nuclear Weapons case dalam tahun 1996, ICJ mempertumbangkan prinsip pembedaan di antara para petempur dan bukan petempur menjadi salah satu dari “cardinal principles contained in the texts constituting the fabric of humanitarian law” dan juga salah satu dari “intransgressible principles of international customary law”.
2) Dalam putusannya dalam Blaˇski´c case dalam tahun 2000, ICTY berpendapat bahwa “the parties to the conflict are obliged to attempt to distinguish between military targets and civilian persons”.
3) Dalam laporan akhirnya kepada ICTY Jaksa Penuntut Umum dalam tahun 2000, Komite menetapkan untuk Melakukan Review the 1999 NATO Bombing Campaign Against the Federal Republic of Yugoslavia menyatakan bahwa “one of the principles underlying IHL is the principle of distinction, which obligates military commanders to distinguish between military objectives and civilian persons or objects”.
C. Tujuan Hukum Humaniter Internasional
Hukum sengketa bersenjata mengatur tindakan permusuhan dan melindungi para korban sengketa bersenjata. Dalam melakukan hal ini hukum sengketa bersenjata menjamin hak-hak asasi fundamental orang-orang yang jatuh ke tangan musuh, yakni para tawanan perang, orang-orang yang luka dan sakit. Hukum ini juga dirancang untuk menyelematkan penduduk sipil dari bahaya-bahaya yang timbul dari operasi militer dan melindungi para petempur (combatant) dari penderitaan yang tidak perlu, dan mencegah timbulnya kekejaman di dalam perang, yang tentu saja akan mengganggu hubungan baik di masa yang akan dating,[26] atau seperti yang dikemukan Daniel M. Vadnais keberadaan hukum humaniter dimaksudkan untuk menghapuskan akibat konflik, mencegah penderitaan yang tidak perlu, menjamin hak-hak fundamental, mencegah menurunnya sengketa bersenjata menjadi kejam dan bengis, dan membantu memulihkan perdamaian. Hukum ini juga menjamin patokan minimum peradaban.[27]
Tegasnya, hukum humaniter bertujuan mengurangi penderita manusian sebagai akibat dari perang, dengan kata lain, tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang (to ‘humanise’ war).[28] Untuk melakukan hal ini, hukum humaniter internasional memberikan wewenang kepada badan-badan pengadilan internasional untuk mengajukan mereka yang melanggar ketentuan hukum ini ke depan pengadilan, mengatur perilaku di dalam perang untuk mengurangi penderitaan dan yang terpenting membantu pemulihan perdamaian setelah perang usai.[29] Pematuhan hukum humaniter akan mengurangi menurunnya disiplin, melindungi sumber daya, dan menghindarkan dunia dari kemerosotan yang luas.[30]
[1]Berbagai contoh dapat disebutkan di sini. Persia misalnya, memerangi Negara-negara tetangganya untuk memperluas wilayahnya
[2]Lieutenant Colonel David P. Cavaleri, US Army (Retired), The Law of War: Can 20th-Century Standards Apply to the Global War on Terrorism?, Combat Studies Institute Press Fort Leavenworth, Kansas, 2001, p. 8.
[3]Yoram Dinstein, War and Agression, and Self Defence, Cambridge University, Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo, 2005, p. 5.
[6]Perang saudara (non international armed conflict) diatur lebih lanjut dalam Protokol Tambahan II pada Konvensi Jenewa 1949, tahun 1977.
[7]Lihat National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and Tactical Level, Joint Manual, Issued on Authority of the Chief of Defence Staff, 2001-08-13. Pada halaman 1-1 ditegaskan bahwa: The Law of Armed Conflict (the LOAC), considered in the broadest sense, determines when states may resort to the use of armed force and how they may conduct hostilities during armed conflicts. This guide is concerned primarily with the LOAC in the narrow sense, that is, with the body of law that governs the conduct of hostilities during an armed conflict.
[8]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903, p.4.
[9]Robert Kolb and Richard Hyde, Introduction to International Law of Armed Conflict, Hart Publishing, 16C Worcester Place, Oxford, OX1 2JW. 2008,p.9.
[11]Lieutenant Colonel David P. Cavaleri, US Army (Retired), The Law of War: Can 20th-Century Standards Apply to the Global War on Terrorism?, Combat Studies Institute Press Fort Leavenworth, Kansas, 2001, p. 13.
[12]Ibid. p. 15.
[14]Cavalery, op. cit., p. 14.
[15]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903, p. 4.
[16]Michael J. Webel, International Humanitarian Law - An Overview, http://afa.at/globalview/ 042002/international3.html - diunduh 24 Oktober, 2011
[17]Hans haug, Hmanity for All, the International Red Cross and Res Crescent Movement, Henry Dunant Institute – Paul Haupt Publishers, Berne – Stuttgart – Vienna, 1993, p. 510.
[18]Pertahanan Nasional Kanada dalam Joint Manualnya, hanya menyebutkan tiga prinsip primer tersebut yaitu (1) milatry necessity, (2) humanity necessity, dan (3) chivalry (National Defense, Joint Doctrine Manual, Law of Armed Conflict, the Operational and Tactical Level, Issued on Authority of the Chief of Defence Staff, Custodian: JAG 2001-08-13.
[19]National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and Tactical Level, Joint Manual, Issued on Authority of the Chief of Defence Staff, 2001-08-13, p. 2-1.
[20]Michael J. Webel, loc. cit.
[21]Ibid.
[22]Theodor Meron, The Humanization Of International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden • Boston, p. 62.
[23]Ibid., p. 63.
[24]Ibid., p. 2-2.
[25]Jean-Marie Henckaerts and Louise Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law, Volume II, International Committee Of The Red Cross, p. 3-15.
[26]National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and Tactical Level, Joint Manual, Issued on Authority of the Chief of Defence Staff, 2001-08-13, p. 1-1.
[27]Major Daniel M. Vadnais, Law Of Armed Conflict And Information Warfare—How Does The Rule Regarding Reprisals Apply To An Information Warfare Attack?, A Research Paper Presented To The Research Department Air Command And Staff College, March 1997.
[28] Frits Kalshoven And Liesbeth Zegveld, Constraints on The Waging of War An Introduction to International Humanitarian Law, ICRC, Geneva, 2001, p. 12.
[29]Lihat Lieutenant Colonel David P. Cavaleri, US Army (Retired), The Law of War: Can 20th-Century Standards Apply to the Global War on Terrorism?, Combat Studies Institute Press Fort Leavenworth, Kansas, 2001, p. 13.
[30]Vadnais, loc. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar