Selasa, 06 Maret 2012

Bab II Sumber HHI


BAB II
SUMBER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Dalam berbagai kepustakaan hukum internasional, kebiasaan internasioal dan perjanjian internasional kerap  ditunjuk sebagai sumber hukum humaniter atau hukum perang Hukum perang. Lieutenant Colonel David P. Cavaleri misalnya, menyatakan hukum perang  berasal dari dua sumber yang berbeda. Hukum ini sebagian didasarkan pada aturan-aturan umum tidak tertulis yang disebut hukum kebiasaan internasional (customary international law), sementara secara specific hukum humaniter internasional dihubungkan dengan kumpulan peraturan yang dikodifikasi yang disebut yang disebut hukum perjanjian internasional (conventional international law). Yang pertama, hukum kebiasaan internasional, diakui sebagai peraturan perilaku yang mengikat semua anggota masyarakat bangsa-bangsa, sedangkan yang belakangan, hukum perjanjian internasional, mencerminkan peraturan-peraturan terkodifikasi yang mengikat sebagai akibat dari persetujuan yang tegas (express consent). Mengutif the US Army JAG School, “Many principles of the Law of War fall into this [custom­ary international law] category,” sementara istilah traktat (juga konvensi, protocol, annexed regulation) “best captures this concept [conventional international law].” Tiga hal yang sangat penting menjadi bukti. Pertama hukum perang terdiri atas dua komponen yang berbeda. Kedua, hukum perang memenuhi bentuknya yang sekarang berlaku dengan evolusi kebiasaan dan konvensi sebagai perkembangannya selama bertahun-tahun. Dan ketiga, segi kebiasaan dari hukum perang ini sama pentingnya pada konstruksi keseluruhan dengan sisi konvensionalnya, karena apabila sebuah prinsip mencapai kedudukan sebagai hukum kebiasaan internasioanl, hukum ini mengikat semua Negara, tidak hanya para penandatangan traktat.[1]
Pandangan ini juga diikuti oleh Fritz Kalsoven. Terkait dengan ini Kalshoven menyatakan bahwa hukum humaniter internasional pada mulanya bersumber dari kebiasaan yang merupakan praktik dari bangsa-bangsa pada zaman dahulu. Seiring dengan perjalanan waktu, praktik ini berkembang menjadi hukum kebiasaan perang yang harus dihormati para pihak pesengketa bersenjata sekalipun tidak ada pernyataan sepihak atau persetujuan timbale atas hal tersebut.  Dalam waktu yang lama lingkup dan isi dari hukum kebiasaan ini samar dan tidak pasti. Cara yang paling efektif untuk menghilangkan ketidakpastian ini adalah dengan pembuatan traktat (treaty-making), yakni dengan merundingkan ragam peraturan dan membuat peraturan ini di dalam sebuah instrument mengikat yang diterima secara umum.[2]
Namun, sebagai bagian dari hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional tentu saja tidak hanya kebiasaan dan perjanjian internasional. Sebagaimana hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional harus mengacu kepada Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional.
Berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, maka sumber hukum internasional termasuk humaniter internasional adalah: perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.[3]
    



A.   Kebiasaan internasional
Hukum kebiasaan internasional difahami sebagai peraturan hukum “tidak tertulis” yang mengikat semua masyarakat bangsa (the community of nations). Hukum kebiasaan didefinisikan sebagai hukum yang timbul dari praktik umum dan ajeg yang berasal dari suatu perasaan mengenai kewajiban hukum (a sense of legal obligation).
                Ada kemungkinan bagi suatu Negara untuk tidak terikat pada kaidah kebiasaan hukum internasional jika Negara tersebut terus-menerus berkeberatan atas norma tersebut seperti terus-menerus menyatakan bahwa Negara tersebut tidak terikat oleh hukum kebiasaan internasional tersebut.[4]
                Banyak prinsip hukum perang masuk dalam kategori hukum initernasional ini. Hukum kebiasaan internasional juga dapat menjelaskan latar belakang untuk memahami kodifikasi hukum perang menjadi traktat. Namun, sekalipun banyak hukum perang yang sekarang sudah dikodifikasi, kebiasaan kebiasaan internasional mengenai perang tetap relevan.[5]
                 
Hukum kebiasaan internasional menurut satu sumber didedefinisikan sebagai seperangkat hukum “praktik umum dan ajeg general Negara-negara yang diikuti mereka sebagai kewajiban hukum. Sumber lain menunjukkan bahwa hukum kebiasaan internasional dibentuk oleh negara-negara  yang mengikuti suatu  “praktik umum dan ajeg, yang didorong oleh keyakinan bahwa hukum internasional membutuhkan perilaku tersebut. Sumber yang sama menemukenali dua ukuran yang harus dipenuhi untuk timbulnya hukum kebiasaan, yaitu harus ada perbuatan atau praktik nyata, dan Negara-negara harus yakin mereka melakukan perbuatan itu berdasarkan kewajiban internasional. Yang terpenting harus diingat bahwa hukum merupakan seperangkat hukum kebiasaan internasional terutama terdiri atas kaidah-kaidah kebudayaan tak tertulis (unwritten cultural norms) dan praktik-praktik yang diakui secara (generally recognized practices), bahwa dua unsur penguji (“perbuatan” dan “keyakinan” (the “act” and the “belief”) menentukan hukum kebiasaan internasional, dan bahwa suatu Negara tidak dapat mengingkari kewajibannya untuk menjunjung tinggi hukum kebiasaan internasional.[6]
Hukum sengketa bersenjata, atau hukum humaniter dalam wujud relative baru, memiliki sejarah yang panjang. Dalam suatu masa lalu yang sangat jauh, para pemimpin militer biasanya memerintahkan perajurit mereka menyelamatkan nyawa musuh yang tertangkap dan memperlakukan mereka dengan baik, dan menyelamatkan penduduk sipil  musuh, dan pada saat berhentinya permusuhan pihak-pihak yang berperang  (belligerent parties) dapat menyepakati pertukaran tawanan yang mereka kuasai. Selama waktu itu, praktik-praktik tersebut secara bertahap berkembang menjadi peraturan kebiasaan perang, peraturan-peraturan yang harus dihormati pihak-pihak pesengketa bersejata sekalipun tidak ada pernyataan sepihak (a unilateral declaration) atau persetujuan timbale balik di antara mereka (reciprocal agreement) atas hal tersebut.
Untuk waktu yang lama, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini, sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit difahami dan tidak pasti. Cara yang paling baik untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengundangkan perjanjian internasional jamak pihak di bidang ini.[7] Dan ini telah dimulai sejak tahun 1864. Akibatnya, sekarang banyak ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang telah diserap atau dimasukkan ke dalam hukum perjanjian internasional.
Dengan dimasukkan ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan humaniter internasional ke dalam hukum perjanjian internsional tidak berarti hukum kebiasaan internasional di bidang ini kehilangan artinya. Hukum kebiasaan humanter internasional tetap penting. Ini disebab oleh dua hal.
Pertama,  traktat hanya berlaku kepada Negara-negara yang meratifikasinya. Ini berarti bahwa traktat-traktat dari hukum internasional yang berbeda berlaku dalam sengketa bersenjata yang berbeda tergantung pada traktat mana yang diratifikasi Negara bersangkutan. Sementara empat Konvensi Jenewa 1949 telah diratifikasi secara semesta, hal yang sama tidak berlaku untuk traktat-traktat hukum humaniter lainnya, misalnya Protokol-protokol Tambahannya. Sekalipun Protokol I telah diratifikasi lebih dari 160 negara, keampuhannya sekarang terbatas karena beberapa Negara yang terlibat dalam sengketa bersenjata  tidak menjadi pihak pada Protokol ini.  Demikian pula dengan Protokol Tambahan II yang juga telah diratifikasi oleh lebih dari 160 negara, beberapa Negara yang mengalami sengketa bersenjata internal tidak menghormatinya. Kedua, .hukum perjanjin internasional tidak mengatur dengan cukup rinci  bagian terbanyak sengketa bersenjata dewasa ini, yakni sengketa bersenjata non internasional karena sengketa-sengketa pengaturannya dalam traktat jauh lebih sedikit daripada pengaturan sengjketa bersenjata internasional.  Sedikit sekali traktat yang berlaku pada sengketa bersenjata non internasional, yakni the Convention on Certain Conventional Weapons  yang diperbaharuai, amended, the Statute of the International Criminal Court, the Ottawa Convention on the Prohibition of Anti-personnel Mines, the Chemical Weapons Convention, the Hague Convention for the Protection of Cultural Property and its Second Protocol dan, sebagaimana telah disebutkan, Additional Protocol II and Article 3 common to the four Geneva Conventions. Sementara common Article 3 sangat penting, Article 3 ini hanya memberikan kerangka kasar mengenai patokan minimum (minimum standards). Additional Protocol II melengkapi common Article 3, tetapi masih kurang rinci jika dibandingkan dengan aturan-aturan mengenai sengjketa bersenjata internsional dalam Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I.[8]
Selain itu, perlu diketahui bahwa Negara-negara terikat pada ketentua-ketentuan hukum perjanjian perjanjian internasional, jika ketentuan-ketentuan tersebut dipandang oleh masyarakat internasionalk sebagai sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. Di antara ketentuan-ketentuan hukum perjanjian internasional yang dianggap sudah menjadi bagian dari hukum perjanajian internasional adalah ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, dan Konvensi-konven  Den Haag 1899 dan 1977. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ian Scoby: bahwa “the Study took into account the practice of States parties to conclude that ‘the great majority’ of the provisions of the Geneva Conventions and Hague Regulations have customary status”.[9]

B.    Perjanjian Internasional

Menurut Oppenheim, perjanjian internasional adalah persetujuan yang bersifat kontrak di antara negara-negara atau organisasi negara-negara yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum di antara para pihak.[10] Rumusan yang agak berbeda dikemukan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu: perjanjian yang diadakan antara masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.[11] Jadi, perjanjian internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh negara dengan negara atau negara dengan organisasi internasional dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum terentu.

Sebagaimana diuraikan di atas, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini, sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit difahami dan tidak pasti. Cara yang paling efektif menghapuskan ketidakpastian ini adalah melalui pembuatan traktat (treaty-making), yakni, dengan merundingkan versi peraturan yang disepakati, dengan mewujudkan peraturan ini dalam instrument-instrumen yang mengikat dan diterima secara internasional. Peraturan ini secara umum disebut traktat, beberapa di antaranya menyandang nama lain: seperti konvensi, deklarasi atau protocol. Sementara traktat dapat dibuat dan ditandatangani di antara dua Negara (bilateral treaties), yang menjadi perhatian kita di sini adalah traktat yang ditandatangani di antara banyak Negara (multilateral treaties).[12]
Dapat ditunjuk sebagai awal perkembangan hukum perang melalui pembuatan traktat, sehingga dapat dipandang sebagai hukum perjanjian internasional (treaty law) adalah konferensi internasional 1860 merancang satu sisi khusus dari hukum perang. Ini menghasilkan  penyelenggaraan konferensi:  pertama, di Jenewa 1864 tentang nasib para perajurit yang terluka di medan perang; lainnya,  di St. Petersburg 1868 tentang penggunaan peluru senapan yang meledak. Permulaan yang paling sederhana ini memiliki akar dari dua aliran yang berbeda, masing-masing ditandai dengan sudut pandangnya sendiri. Yang pertama, dikenal sebagai hukum Den Haag (the law of The Hague), terkait dengan perilaku perang dan alat-alat dan cara perang yang diperbolehkan. Yang kedua, disebut hukum Jenewa (the law of Geneva), lebih terkait dengan kondisi korban perang di tangan musuh (seperti tawanan perang, atau interniran sipil).[13]
Sejak saat ini banyak sekali instrument-instrumen hukum humaniter yang dihasilkan melalui konferfensi internasional untuk mengundangkan perjanjian internasional jamak pihak (multilateral convention) di bidang hukum humaniter internasional. Di sini disebutkan beberapa di antaranya.
  1. Konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang terdiri atas empat konvensu, yaitu:
a.    Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field. Geneva, 12 August 1949.
b.    Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Geneva, 12 August 1949.
c.    Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949.
d.    Convention (IV) relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva, 12 August 1949.
  1. Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977 terdiri atas:
a.    Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977.
b.    Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977.
  1. Instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan alat-alat perang
a.    The 1899 Hague Declaration concerning Expanding Bullets

b.    Convention On Prohibitions Or Restrictions On The Use Ofcertain Conventional Weapons Which May Be Deemed To Be Excessively Injurious Or To Have Indiscriminate Effects As Amended On 21 December 2001

C.   Prinsip atau Asas Hukum Umum

Menurut Baron Descamp (Belgia) asas hukum umum adalah “aturan hukum internasional yang diakui oleh kesadaran hukum bangsa-bangsa beradab”. Root dan Phillimore mengaitkan asas ini dengan pengertian peraturan yang diterima dalam hukum negara semua negara beradab.[14]Contoh asas-asas hukum nasional tersebut meliputi asas kepatutan (equity), estopel, pacta sunt servanda, meperkaya diri secara tidak pantas (unjust enrichment), dan penggunaan pembuktian tak langsung (the use of circumstantial evidence.)[15] William merumuskan asas umum hukum sebagai “asas-asas umum mengenai keadilan, hukum alam, analogi dengan hukum perdata, asas-asas perbandingan hukum atau konsepsi-konsepsi umum hukum internasional.[16]
Demikian pentingnya asas-asas hukum ini, sehingga asas-asas ini kemudian banyak diserap kedalam berbagai instumen hukum humaniter internasional. Pengakuan akan pentingnya asas hukum dapat kita jumpai dalam penegasan pembukaan Konvensi Den Haag IV (1907), yang berbunyi: We look to a number of sources to ascertain principles of international law, including international conventions, international customs, treatises, and judicial decisions rendered in this and other countries.[17]  

Banyak prinsip atau asas hukum perang sekarang dituangkan dalam traktat dan hukum kebiasaan iternasional. Arti penting dari hal ini adalah apabila prinsip hukum telah memiliki status hukum kebiasaan internasional, maka prinsip ini mengikat bagi semua Negara, tidak hanya bagi para penandatangan traktat.[18]



D.   Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan, bersama-sama dengan pendapat para sarjana terkemuka merupakan sumber pelengkap dari hukum internasional. Sebagai sumber pelengkap keputuan pengadilan dan juga pendapat para sarjana dapat dikemukakan sebagai bukti adanya suatu kaidah hukum internasional yang berlaku mengenai sesuatu hal tertentu. Putusan pengadilan sebagai sumber hukum internasional tidak hanya menunjuk kepada putusan Mahkamah Internasional tetapi juga pada putusan-putusan badan peradilan lainnya, seperti pengadilan nasional, pengadilan regional bahkan juga putusan badan-badan arbitrasi.[19]
Berbeda dengan Negara-negara Anglo Saxon yang menganut prinsip precedent yaitu pengadilan terikat untuk untuk memutus perkara dalam kasus yang sama mengikuti pengadilan-pengadilan tingkat yang lebih tinggi, Mahkamah internasional tidak menganut prinsip tersebut. Walaupun keputusan pengadilan ini tidak diikuti dalam putusan-putusan berikutnya tetapi putusan pengadilan ini mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum internasional.[20] Keputusan-keputusan pengadilan tersebut akan memperkaya dan mempekuat hukum internasional karena mengandung makna pengakuan dan penerimaan hukum internasional yang telah ada. Banyak kasus yang membuktikan bahwa lewat putusan Mahkamah Internasional mempengaruhi atau mengubah ketentuan hukum internasional lama.[21]

E.    Ajaran Para Ahli Hukum

Seperti halnya dengan putusan pengadilan, ajaran para sarjana terkemuka di negaranya masing-masing, atau la doctrin menurut istilah yang berlaku di Perancis juga tidak mempunyai kekuatan mengikat. Sekalipun demikian ajaran atau pendapat para sarjana ini sangat besar artinya bagi perkembangan hukum internasional. Para pakar ini menyebarkan pemikiran-pemikiran baru dan pendapat yang lebih baik guna memperkaya hukum internasional.[22]
Ajaran-ajaran para pakar ini digunakan secara luas. Pendapat-pendapat para pejabat hukum di Inggris misalnya, memuat rujukan kepada pendapat Vattel, Calvo, dan Hall.[23] Pendapat para ahli tesebut juga dijadikan sebagai bahan rujukan dalam berbagai kasus yang diajukan di pengadilan yang berkaitan dengan persoalan hukum internasional.   
Sama dengan pendapat para ahli tersebut adalah rancangan artikel-artikel yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional, Rancangan Penelitian Harvard (Harvard Research Draft), dasar-dasar pembahasan Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 dan Resolusi Lembaga-lembaga Hukum Internasional dan himpunan para ahli lainnya.[24]
                 









[1]Lieutenant Colonel David P. Cavaleri, US Army (Retired), The Law of War: Can 20th-Century Standards Apply to the Global War on Terrorism?, Combat Studies Institute Press Fort Leavenworth, Kansas, 2001, p. 10.
[2]Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, Constraints on The Waging of War,             An Introduction to International Humanitarian Law, International Committee of the Red Cross, Geneva, 2001, p. 15
[3]Lihat Supardan Mansyur, Diktat Hukum Internasional, 2009, hal.59.
[4]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903,   p. 21
[5]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903,   p. 21
[6]Cavaleri, loc. cit.
[7]Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, Constraints on The Waging of War,             An Introduction to International Humanitarian Law, International Committee of the Red Cross, Geneva, 2001, p. 15
[8]Jean-Marie Henckaerts, ‘Study on customary international humanitarian law: A contribution to the understanding and respect for the rule of law in armed conflict’, International Review of the Red Croos, Volume 87 Number 857 March 2005 , pp. 177-178
[9] Elizabeth Wilmshurst And Susan Breau (ed),  Perspectives On The ICRC Study On Customary International Humanitarian Law, Cambridge University Press, Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo, 2007, pp. 169-170.
[10]Oppenheim - Lauterpacht,International Law, 1955. p. 877.
[11]Kusumaatmadja, op. cit., hal. 109.
[12]Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, loc. cit.
[13] Ibid., p. 15
[14]Brownlie, op. cit., hal.  15-16.
[15]Diane Penneys Edelman,  loc. cit.
[16]John W. Williams, Research Tips in International Law, 15 J. INT’L L. & ECON. 1, 7-10 (1981) dalam Diane Penneys Edelman,  Ibid.
[17]Google, General Principle and the Source of the Law, http://lawofwar.org/principles.htm l, diunduh 24 Oktober 2011.
[18]MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, 2005, International and Operational Law Department The Judge Advocate General's Legal Center and School Charlottesville, Virginia 22903,   p. 21
[19]Supardan Mansyur, op. cit., hal. 75.
[20]Kusumaatmadja, op. cit., hal. 141.
[21]Efendi et. al., op. cit., hal. 82-83
[22]Brownlie, op. cit., hal. 25.
[23]I b i d. hal. 25.
[24]I b i d.

3 komentar:

  1. How the intersection of the humanitarian law, human right and internasional criminal law..?

    mengapa PBB tidak membuat aturan yang melarang atau membatasi cara berperang, karna di zaman sekarang banyak negara yang berlomba-lomba membuat senjata pembunuh masal dengan tehnologi yang dimilikinya.. dan bagaimana sisi keadailan bagi negara yang kuat dan negara yang lemah dalam hukum perang?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. pak bagus2 tulisannya...insyaallah sangat membantu... trimakasih banyak pak,ijin copas ya pak,,buat bahan belajar :)

    BalasHapus