Selasa, 09 Juli 2013
Senin, 08 Juli 2013
Bab IX Pengakuan
BAB IX
YURISDIKSI
A Ruang lingkup yurisdiksi
Salah satu bidang yang sangat kontroversial dalam hukum internasional masa kini, berkaitan dengan keleluasaan menerapkan hukum nasional yang mempengaruhi kepentingan negara lain. Keleluasaan menerapkan hukum nasional ini merupakan persoalan yurisdiksi.
Menurut Ian Brownlie, yurisdiksi menunjuk kepada segi khusus kompetensi hukum umum negara-negara yng acap dikaitkan dengan kedaulatan. Yurisdiksi merupakan satu sisi kedaulatan dan ditujukan kepada kompetensi administratif, legislatif dan yudisial.[277] Jadi, yurisdiksi berarti kewenangan suatu negara untuk mengatur atau menetapkan hukum, melaksanakan hukum dalam arti menghadapkan orang yang melanggar aturan-atura hukum tersebut dan memaksakan penaatan aturan hukum itu kepada orang atau barang yang berada di bawah yurisdiksi negara bersangkutan.
Dari penegasan itu, maka yurisdiksi mencakup:
1. Yurisdiksi legislatif
Yurisdiksi legislatif adalah kewenangan suatu negara untuk menetapkan atau membuat aturan hukumnya terhadap orang atau barang yang berada dalam wilayah negaranya, terhadap warganegaranya termasuk mereka yang berada di luar negeri, atau terhadap orang atau kegiatan di dalam kapal atau pesawat udara yang didaftarkan di negaranya, atau terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana tertentu, seperti tindakan pemalsuan uang, kejahatan mata-mata, tindakan perompakan, perdagangan budak, yang dilakukan di luar wilayah negaranya.
Agar yurisdiksi legislatif ini dapat berlaku, di samping memerlukan landasan yang bagi berlakunya yurisdiksi tersebut juga harus memenuhi unsur kewajaran (rationality).[278] Yurisdiksi ini berlaku baik pada perkara perdata maupun pidana.
2. Yurisdiksi eksekutif (administratif)
Yurisdiksi eksekutif (administratif) adalah kewenangan suatu negara untuk mengajukan sesorang ke dalam proses peradilan negara itu. Pada umumnya yurisdiksi ini hanya berlaku dalam bidang pidana.[279] Yurisdiksi eksekutif ini didasarkan atas prinsip teritorial, atau prinsip nasionalitas (personal principle). Jadi, terkait dengan tempat dilakukannya suatu kejahatan (yaitu di wilayah ngara bersngkutan), atau terkait dengan orang yang melakukan kejahatan atau yang menjadi korban kejahatan (adalah warga negara forum).
3. Yurisdiksi penegakan hukum (enforcement)
Yurisdiksi penegakan hukum (enforcement jurisdiction) adalah wewenang suatu negara untuk memaksakan ditaatinya putusan pengadilan nasionalnya. Penerapan yurisdiksi ini harus berdasarkan alasan yang wajar (reasonable), yaitu ada kaitan antara penegakan hukum dan tempat (wilayah) dan kebangsaan (nasionalitas) orang yang terkena dengan putusan itu. Di Amerika Serikat, dasar ini ditambah dengan kepatutan (comity).[280]
B. Macam-macam yurisdiksi
Dilihat dari luas cakupan atau lingkupnya yurisdiksi dibedakan atas:
1. yurisdiksi teritorial.
2. yurisdiksi nasional (personal)
3. yurisdiksi berdasarkan atas asas perlindungan,
4. yurisdiksi universal,
5. yurisdiksi berkenaan dengan pesawat udara,
6. yurisdiksi terhadap kejahatan menurut hukum internasional (crimes under international law jurisdiction).
1. Yurisdiksi teritorial
Yurisdiksi territorial adalah kewenangan suatu negara untuk menjlankan yurisdiksinya atas orang, barang atau peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya. Prinsip ini merupakan prinsip yang diterima secara mendunia, dan dalam bentuknya yang semula (tanpa perluasan) paling mudah dilaksanakan. Ini, mengingat orang, barang atau peristiwanya terjadi di negara tersebut sehingga boleh dikatakan tidak menimbulkan persoalan dengan negara lain. Konsekuensi dari prinsip ini adalah suatu negara tidak dapat melakukan tindakan kedaulatan terhadap negara lain.[281]
Dalam perkembangannya, yurisdiksi teritorial ini diperluas menjadi yurisdiksi teritorial obyektif dan yurisdiksi teritorial subyektif. Yurisdiksi teritorial subyektif, adalah kewenangan negara untuk mengadili pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan yang dimulai dari negara bersangkutan akan tetapi akibatnya terjadi di negara lain.[282] Contohnya, orang yang mengirim paket yang berisi bom kepada orang di luar negeri. Bom tersebut kemudian meledak dan menewaskan si penerima paket. Contoh lainnya, orang yang menembak dari seberang perbatasan negaranya.
Yurisdiksi teritorial obyektif adalah kewenangan yang dimiliki oleh suatu negara untuk mengadili suatu kejahatan yang dimulai di luar negeri tetapi akibatnya timbul di negara forum. Contoh di atas secara kebalikannya dapat dijadikan sebagai contoh pada yurisdiksi teritorial obyektif ini. Dalam kepustakaan hukum internasional contoh yang diajukan dalam kaitannya dengan yurisdiksi obyektif ini adalah kasus Lotus. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut:
Kapal uap Perancis the Lotus bertabrakan dengan kapal Turki the Boz-Kourt di laut bebas. Kapal laut Turki tenggelam dan menewaskan 8 pelaut dan penumpangnya. Karena insiden ini, pejabat Turki serta merta menahan awak kapal the Lotus ketika merawat di pelabuhan Turki. Pihak Perancis memerotes keras tindakan Pemerintah Turki dengan menyatakan bahwa Pemerintah Turki tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara itu. Kasus ini kemudian diserahkan kepada Mahkamah Internasional Permanen untuk mengadili apakah ada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang melarang Turki melaksanakan yurisdiksinya.
Dari hasil penyelidikan, pengadilan berpendapat bahwa suatu negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya. Namun, tidak berarti bahwa hukum internasional melarang suatu negara melakukan yurisdiksi di dalam wilayahnya sehubungan dengan setiap perkara yang berkaitan dengan tindakan-tndakan di luar negeri, dan dalam hal mana tindakan-tindakan tersebut tidak berdasarkan hukum internasonal. Mahkamah menolak argumentasi Perancis bahwa negara benderalah yng memiliki yurisdiksi atas kapal di laut lepas.Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada ketentuan mengenai hal ini di dalam hukum internasional. Hal ini memungkinkan Turki melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial obyektif, tidak dibtasi oleh hukum internasional mana pun juga.
Yurisdiksi teritorial ini tidak dapat diterapkan terhadap negara dan Kepala Negara Asing, perwakilan diplomatik dan konsuler, kapal pemerintah negara asing, angkatan bersenjata negara asing dan organisasi internasional.
Pengecualian negara dan Kepala Negara Asing dari yurisdiksi negara karena negara dan Kepala Negara Asing mempunyai kekebalan yang melekat pada kedaulatan, kemerdekaan dan prsamaan derajat setiap negara. Selain itu kekebalan negara dan Kepala Negara dari yurisdiksi negara asing didasarkan atas prinsip-prinsip:[283]
1. Par in parem non habet imperium, negara berdaulat tak dapat melaksanakan yurisdiksi atas negara berdaulat lainnya,
2. Reciprocitas dan comitas, yaitu atas dasar timbal balik dan kesopanan,
3. Fakta putusan pengadilan suatu negara pada umumnya tak dapat dilaksanakan terhadap negara lainnya, dan percobaan melakukan hal itu akan dianggap sebagai tindakan bermusuhan,
4. Fakta bahwa suatu negara mengijinkan negara lainnya memasuki wilayahnya, secara tersirat telah memberikan kekebalan kepadanya,
5. Obyek sengketa yang menyangkut kebijakan suatu pemerintah asing seyogyanya tidak diselidiki oleh pengadilan -pengadilan negara lain.
Namun, kekebalan ini tidak bersifat mutlak. Kekebalan ini berlaku dalam kedudukan negara sebagai iure imprii, yaitu tindakannya sebagai negara berdaulat (government act) atau sebagai badan publik, dan tidak dalam kedudukannya sebagai iure
gestionist, yaitu kegiatannya dalam biang perdagangan (commercial act).[284]
Perwakilan diplomatik dan konsul dibebaskan dari yurisdiksi negara lain berdasarkan hak istimewa dan kekebalan yang mereka miliki. Para diplomat memiliki kekebalan baik pidana maupun perdata. Kekebalan tersebut berlaku tidak hanya di negara tempat mereka bertugas tetapi juga di negara tempat mereka transit. Ketentuan mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa para diplomat ini diatur dalam Konvensi Wina 1961.
Sebagaimana para diplomat, konsul juga memiliki hak-hak istimewa dan kekebalan dalam bidang pidana maupun perdata. Namun, berbeda dengan para dip,plomat hak-hak istimewa dan kekebalan ini hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tugas resminya. Lagi pula tidak terdapat ketentuan mengenai kekebalan mereka di negara transit. Hak-hak istimewa dan kekebalan para konsul ini diatur di dalam Konvensi Wina 1963.
Kapal pemerintah negara asing kebal dari yurisdiksi suatu negara. Namun, hanya kapal-kapal dengan status kapal umum yang memiliki kekebalan, sedangkan kapal-kapal dagang, tidak.
Kekebalan angkatan bersenjata negara asing atas yurisdiksi suatu negara didasarkan atas kenyataan bahwa angkatan bersenjata merupakan salah satu orgasn negra yang dibentuk untuk emelihara dan mempertahankan kemerdekaan, kekuasaan dan keselamatan suatu negara. Kekebalan ini berlaku sepanjang angkatan bersenjata tersebut menjalankan tugas negaranya, dan bukan dengan maksud pribadi di lur tugas angkatan bersenjata.
Organisasi internasional memiliki kekebalan, yang bisanya diatur di dalam perjanjian internasional. Kekebalan Perserikatan Bangsa-Bangsa misalnya, diatur di dalam the General Convention on the Priveleges and Immunity of the 1946 (Konvensi Umum tentang Hak-hak Istimewa dan Kekebalan, 1946). Berdasarkan Konvensi ini, PBB memiliki kekebalan penuh dari proses hukum (pasal 2). Anggaran Dasar, kekayaan, arsip-arsip dan dokumen-dokumennya tidak dapat diganggu gugat (pasal 3-4), bebas dari pajak langsung dan cukai. Para stafnya bebas dari pajak pendapatan atas penghasilan mereka (pasal 18). Sekretaris Jendral dan Pembantunya memiliki kekebalan diplomatik (pasal 19). Perwakilan negara yang mengikuti sidang-sidang PBB memiliki kekebalan yang sama dengan diplomat. Namun, kekebalan-kekebal itu hanya berlaku dalam kedudukannya sebagai pejabat resmi, dan mereka juga bebas dari beba cukai atas tas-tas pribadinya (pasal 11-16).
Yurisdiksi teritorial berlaku terhadap hal-hal berikut:
a) Hak lintas di laut wilayah
Yurisdiksi teritorial negara pantai sudah lama diakui. Konfrensi Hukum Laut Den Haag 1930 mengakui yurisdiksi pidana dan perdata negara pantai atas kapal laut yang berlayar di laut wilayahnya. Pengakuan ini dipertegas lagi dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 mengenai Laut Wilayah dan Jalur Tambahan.
Konvensi Hukum Laut (KHL) III 1982 yang disahkan di Teluk Montego, Jamaika juga mempertegas pengakuan mengenai yurisdiksi negara pantai terhadap kapal yang melintas di wilayahnya. Pasal 27 (1) KHL 1982 menegaskan: yurisdiksi pidana negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut wilayah untuk menangkap siapa pun atau untuk mengadakan penyidikan di atas kapal selama lintas demikian, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila kejahatan itu dirasakan di negara pantai,
b. mengganggu kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut wilayah,
c. penguasa setempat diminta bantuannya oleh nakhoda kapal atau wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera,
atau tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psichotropika.
Mengenai yurisdiksi perdata, pasal 128 menegaskan bahwa negara pantai tidak bahwa negara pantai tidak dapat melaksanakan eksekusi atau menahan kapal untuk keperluan proses perdata apa pun, kecuali jika berkenaan dengan kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang dipikul oleh kapal itu sendiri dalam melakukan atau untuk maksud perjalanannya melalui perairan negara pantai (ayat 2). Ketentuan ayat 2 ini tidak mengurangi hak negara pantai untuk melaksankana ejsekusid atau penangkapan sesuai dengan undang-udangnya dengan tujuan atau guna kperluan proses perdata terhadap suat kapal asing yang berada di laut wilayah atau melintasi laut wilayah setelah meninggalkan perairan pedalaman (ayat 3).
b) Yurisdiksi teritorial terhadap kapal berbendera asing (floating island) di laut wilayah
Negara pantai memiliki yurisdiksi penuh atas kapal yang melakukan lintas dilaut wilayahnya, kecuali terhadap kapal perang dan kapal-kapal pemerintah asing yang menikmati kekebalan terhadap kedaulatan negara lain. Namun, kapal-kapal perang dan kapal-kapal pemerintah yang dioperasikan dengantujuan komersial tunduk pada yurisdiksi legislatif negara pantai.[285]
Menurut pasal 31 KHL 1982, negara bendera bertanggung jawab untuk setiap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkannya terhadap negara pantai sebagai akibat tidak dipatuhinya oleh suatu kapal perang atau kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non komersial. Peraturan perundang-undangan negara pantai melalui lintas laut wilayah atau ketentuan KHL 1982 atau hukum interasional lainnya. Kapal-kapal tersebut juga bertanggung jawab menurut hukum kebiasaan intrnsional atas setiap pelanggaran hukum yang dalam hal tersebut kapal tersebut harus mematuhinya.
Apabila kapal-kapal tersebut melanggar perundang-undangan negara pantai yang melintas di laut wilayah dan yang tidak mengindahkan penaatan hukum, dapat dituntut untuk meninggalkan laut wilayah dengan segera (pasal 30 KHL 1982) dan dapat mempergunakan senjata yang diperlukan untuk memaksa kapal tersebut supaya meninggalkan laut wilayahnya.[286]
Berkaitan dengan yurisdiksi kapal-kapal umum negara asing terdapat dua teori, yaitu:[287]
1. Teori pulau terapung (floating island theory), bahwa kapal umum harus dipandang sebagai bagian wilayah negara dari kapal itu, yurisdiksi pengadilan teritorial atas kejadian-kejadian di atas kapal harus dikesampingkan.
2. Imunitas kapal umum tidak berdasarkan keadaan kapal sebagai wilayah Asing (teori obyektif) tetapi merupakan pengecualian yng diberikan oleh hukum setempat.
c) Pelabuhan
Pelabuhan merupakan bagian dari laut pedalaman suatu negara, karena itu negara pantai berdaulat penuh atas bagian wilayh ini. Konsekwensinya, maka kapal yang memasuki atau melepaskanjangkar di pelabuhan berada dalam yurisdiksi wilayah negara pantai. Namun, untk masalah-masalah ekonomi intern kapal tersebut, yurisdiksinya tetap berada pada negara bendera kapal tersebut.[288]
Negara pantai memiliki yurisdiksi terhadap setiap tindak pidana yang menggangu perdamaian dan ketertiban negar pantai. Pengadilan Perancis dlam kasus the Tempest (1859) menetapkan beberapa jenis kejahatan seperti pembunuhan. Terlepas dari adanya gangguan perdamaian dan ketertiban terhdap pelabuhan, merupakan alasan bagi negara untuk menrapkan yurisdiksinya. Negara pantai juga menerapkan yturisdiksinya jika diminta oleh konsul negara kapal.[289]
2. Yurisdiksi personal
Yurisdiksi personal (nasional) adalah kewenangan suatu negara untuk mengadili warganegaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Prinsip ini ditderima oleh semua negara. Negara-negara Eropa Daratan cendrung menerapkan prinsip ini dalam arti seluas-luasnya, yaitu mencakup semua jenis kejahatan yang dilakukan di luar negeri. Sedangkan negara-negara Common Law membatasinya hanya pada kejahatan yang sangat serius, seperti pengkhianatan kepada negara, pembunuhan atau bigami yang dilakukan di luar negeri.[290]
Yurisdiksi nasional (personal) ini dalam perkembangannya dibagi dua, yaitu yurisdiksi dengan prinsip nasional aktif dan yurisdiksi dengan prinsip nasional pasif.
a. Nasional aktif
Menurut prinsip ini suatu negara dapat mengadili warganegranya yang melakukan kejahatan di luar negeri. Namun, perlu diingat bahwa peradilan akan efektif jika negara tempat dilakukannya kejahatan mengekstradisi si pelaku kejahatan tersebut dan juga kejahatan tersebut tidak dipandang sebagai kejahatan di negara bersangkutan, sehingga tidak dijatuhi hukuman.
b. Prinsip nasional pasif
Berdasarkanprinsip ini suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap orang yang melakukan kejahatan di luar negeri yang membahayakan warganegara negara bersangkutan, atau dengan kata lain sebagai akibat darei kejahatan itu warganegra negara forum dirugikan atau menjadi korban[291]. Yurisdiksi ini sekalipun mendapat banyak tantangan,[292] tetapi dibenarkan berdasarkan alasan bahwa setiap negara berhak melindungi warganegaranya di luar negeri, dan apabila negara tempat terjadinya pelanggaran itu tidak menghukum orang yang melakukan kejahatan itu, maka negara korban berwenang menghukum mereka kalau mereka berada di wilayah negara tersebut (negara forum).[293] Lagipula peraturan oerundang-undangan untuk melindungi warganegara telah lazim dilakukan khususnya dalam tindakan terorisme jika korban diserang karena kebangsaan atau jabatan resminya. Sekurang-kurangnya dalam pengertian seperti ini prinsip tersbut dapat diterima.[294]
Dalam hukum intenasional acap dijadikan contoh yurisdiksi nasional pasif ini adalah kasus Cutting. Dalam kasus ini Pengadilan di Mexico melaksanakan yurisdiksinya berkaitan dengan publikasi yang bersifat memfitnah oleh seorang warganegara Amerika di sebuah Surat Kabar Texas terhadap seorang warganegra Mexico. Dalam hal ini Pengadilan menerapkan parinsip nasional pasif.[295]
3. Yurisdiksi berdasarkan prisnsip perlindungan
Yurisdiksi perlindungan atau keamanan adalah kewenangan yang dimiliki oleh suatu negara untuk mengadili orang-orang asing yang melakukan tindakan di luar negeri yang membahayakan keamanan dan kepentingannya,[296] atau yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, keutuhan dan kemerdekaannya.[297] Pada umumnya ada pendapat yang menyatakan bahwa prinsip perlindungan ini diterapkan dalam berbagai kejahatan politik, tetapi tidak perlu terbatas pada tindakan politik, seperti pemalsuan mata uang, kejahatan imigrasi dan kejahatan ekonomi,[298] tidak merupakan kejahatan politik tetapi bisa dihukum berdasarkan prinsip perlindungan. Sedangkan kejahatan-kejahatan politik yang berada di bawah yurisdiksi ini adalah persekongkolan untuk menggulingkan suatu pemrintahan negara, tindakan sabotase, dan kegiatan mata-mata.
Yurisdiksi berdasarkan prinsip perlindungan ini juga diakui di dalam KHL 1982. Pengakuan prinsip ini tampak dengan adanya pengaturan mengenai jalur tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 33 KHL 1982. Berdasarkan ketentuan pasal 33 ini negara pantai dapat melakukan pengawasan dalam jalur tambahan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-udangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut wilayahnya, dan menghukum pelanggaran tersebut jika dilakukan di laut wilyahnya (ayat 1 a dan b).
4. Yurisdiksi universal
Yurisdiksi universal adalah kewenangan semua negara untuk menerapkan hukumnya dan menghukum para pelaku kejahatan yang diakui secara umum bersifat universal di mana pun kejahatan itu dilakukan.[299] Yang termasuk kedalam kategori ini adalah perdagangan budak, dan kejahatan prompakan (bajak laut). Brownlie menambahkan adanya kecendrungan untuk memasukkan pembajakan udara dan kejahatan yang berkaitan dengan lalu lintas narkotika berada di bawah yurisdiksi universal.[300]
Namun, Starke menyatakan bahwa hanya ada dua peristiwa yang tegas termasuk ke dalam yurisdiksi universal ini, yaitu perompakan dan kejahatan perang. Mengenai kejahatan lainnya seperti perdagangan candu perdagangan wanita dan anak-anak serta pemalsuan mata uang, kesemuanya telah diatur di dalam Konvensi Internasional, tetapi masih diatur berdasarkan asas aut dederre aut punere, yaitu penghukuman dilakukan oleh negara teritorial aau diserahkan kepada negara yang berwenangan menjalankan yurisdiksi terhadap mereka.[301]
5. Yurisdiksi terhadap pelaku kejahatan menurut hukum internasional (Crimes under International Law)
Ian Brownlie menyebutkan adanya jenis-jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi semua negara tetapi bukan berdasarkan prinsip universsal melainkan semata-mata karena kejahatan tersebut melanggar ketentuan hukum internansional. Pelaku kejahatan ini dihukum oleh suatu negara bukan karena ada ketentuan penghukuman berdsarkan hukum nasional atau bukan karena perbuatan itu dinyatakan sebagai kejahatan oleh negara bersngkutan. Dalam kasus Eichman misalnya, Pengadilan Israel mengaitkan tuduhan atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Eichman sebelum Israel menjadi negara. Demikian pula dalam kasus Berbie, Pengadilan Peracis pada tingkat kasasi berpendapat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dinyatakan di dalam hukum Perancis dengan merujuk kepada Perjanjian Internasional, bukan menurut penegasan Undang-undang Dasar.[302]
Dari uraian di atas kelihatannya memang sulit untuk membedakan kejahatan mana yang termasuk dalam yurisdiksi universal dan mana yang termasuk yurisdiksi berdasarkan pelanggaran atas kejahatan menurut hukum internnasional.
Namun, dari penjelasan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa yurisdiksi universal berlaku atas kejahatan-kejahatan yang memang sejak semula dianggap sebagai kejahatan oleh semua negara dan sifatnya mengganggu kedamaian dan keamanan internansional. Kejahatan jenis ini disebut kejahatan internansional. Sedangkan yang disebut terakhir
dipandang sebagai kejahatan semata-mata karena ditegaskan sebagai demikian dalam konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional (hukum internasional). Karena itu, untuk kejahatan ini dipergunakan istilah kejahatan menurut (berdasarkan) hukum internasional (Crimes under international law).
6. Yurisdiksi berkenaan dengan pesawat udara
Pesatnya perkembangan teknologi bidang penerbangan menyebabkan semakin mudah dan acap terjadi hubungan yang melintasi batas-batas negara. Perkembangan ini perlu dicermati dengan sebaik-baiknya, karena acap menimbulkan masalah yang cukup pelik berkenaan dengan yurisdiksi negara atas kejahatan yang dialakukan di atas pesawat terbang.
Terdapat berbagai konvensi internasional yang mengatur yurisdiksi suatu negara dalam kaitannya dengan pesawat terbang tersebut. Konvensi-konvensi itu adalah:
a. Konvensi Tokyo 1963 (Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircaraft)
Konvensi yang terdiri atas 26 pasal ini berlaku terhadap kejahatan-kejahatan atau tindakan-tindakan yang dilakukan di atas pesawat apa pun yang didaftarkan di negara-negara Konvensi ketika pesawat tersebut sedang terbang (inflight) atau sedang berada di atas laut bebas atau di atas wilayah yang bukan milik suatu negara (pasal 1 ayat 2). Pasal ini tidak berlaku terhadap pesawat udara militer, bea cukai atau digunakan untuk keperluan-keperluan polisi (pasl 1 ayat 4).
Yang dimaksud dengan terbang (in flight) adalah mulai pada saat kekuatan pesawat dikerahkan untuk tingggal landas sampai ketika pendaratan (landing) berakhir (pasal 1 ayat 3).
Yurisdiksi atas kejahatan-kejatan tersebut dilakukan oleh negara-negara tempat tempat pesawat terbang itu didaftarkan (pasal 3). Negara-negara lain pada asasnya tidak dapat melaksanakanyurisdiksinya, kecuali dalam hal-hal berikut (pasal 4):
1. kejahatan itu berpengaruh terhadap negara bersangkutan,
2. kejahatan itu dilakukan oleh atau terhadap warganegara atau penduduk yang tinggal secara permanen di wilayah negara itu,
3. keamanan tersebut dilakukan terhadap warganegaranya,
4. pelaksanaan yurisdiksi tersebut perlu untuk penaatan kewajiban negara tersebut menurut perjanjian internasional.
Konvensi Tokyo 1963 mempunyai beberapa tujuan, yaitu:[303]
1. Untuk menjamin bahwa pelaku kejahatan penerbangan tidak bebas dari hukuman hanya karena tidak ada negara yang berwenang menghukumnya,
2. Untuk tujuan perlindungan dan disipliner, guna memberi wewenang dan kuasa khusus kepada pilot pesawat terbang, para awak pesawat, dan bahkan para penumpang.
b. Konvensi Den Haag 1970 (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft)
Konvensi yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 1970 ini berisi 14 pasal. Menurut Konvensi ini kejahatan yang dilakukan di atas pesawat dinyatakan sebagai kejahatan yang dilakukan secara tidak sah dengan menggunakan kekerasan atau ancaman atau intimidasi, merampas atau menguasai pesawat, atau percobaan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut (pasal 1). Pesawat dianggap sedang terbang pada saat semua pintu luarnya ditutup sampai pada saat pintu-pintu luarnya dibuka kembali untuk menurunkan penumpang (disembarkasi) (pasal 3 (1)).
Menurut pasal 4 setiap negara peserta Konvensi harus mengambil tindakan yang perlu untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan dan setiap tindakan-tindakan kekerasan terhadap penumpang atau awak pesawat dalam hal-hal:
a. kejahatan dilakukan di atas kapal suatu negara tempat pesawat itu didaftarkan,
b. manakala pesawat itu mendarat di wilayahnya dan si pelaku masih berada di atas pesawat tersebut,
c. kejahatan dilakukan di atas pesawat yang diserahkan kepada penyewa yang kedudukan serta kegiatan bisnisnya, atau jika si penyewa tidak mempunyai kedudukan (alamat) bisnis, tetapi tempat tinggalnya berada di negara tersebut.
c. Konvensi Montreal 1971 (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation)
Konvensi ini berisi 16 pasal, disahkan pada 23 September 1971 dan mulai berlaku 26 Januari 1973. Konvensi ini merupakan pelengkap dan memberikan perluasan pengertian atas beberapa ketentuan dengan maksud agar si pelaku kejahatan tersebut tidak terlepas dari jangkauan hukum.
Menurut pasal 1 Konvensi ini, kejahatan di atas pesawat udara, adalah kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang dengan sengaja dan secara melawan hukum:
(a) melakukan kekerasan terhadap seseorang di atas pesawat yang sedang terbang (in flight) yang tampaknya akan membahayakan kselamatan pesawat udara,
(b) menghancurkan suatu pesawat in service atau mengakibatkan kerusakan sehingga pesawat tersebut tak mampu terbang atau jika perbuatan tersebut tampaknya akan membahayakan penerbangan, atau
(c) memanjatkan atau menyebabkan ditempatkannya di atas pesawat udara in service suatu peralatan atau bahan-bahan apa pun yang tampaknya digunakan untuk menghancurkan pesawat udara tersebut, atau menmyebabkan kerusakan terhadapnya yang maksudnya akan menmyebabkan kerusakan pesawat in flight, atau;
(d) menghncurkan atau merusak fasilitas-fasilitas navigasi udara untuk mengganggu pengoperasiannya apabila tindakan-tindakan seperti itu tampaknya membahayakan keselamatan pesawat in flight,
(e) memberikan informasi yang salah yang akan membahayakan keselamatan penerbangan in flight (ayat (1)).
Pengertian in flight dalam Konvensi ini sama dengan pengertian dalam Konvensi Den Haag 1970. Sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara in service, yaitu waktu permulaan penerbangan pesawat oleh para awak di darat atau para awak yang bertugas untuk suatu penrbangan khusus sampai waktu 24 jam setelah pesawat terbang mendarat (pasl 2).
Menurut pasal 5 setiap negara peserta Konvensi harus melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk melaksanakan yurisdiksi terhadp kejahatan-kejahatan berikut:
a. kejahatan itu dilakukan di wilayah negaranya,
b. kejahatan itu dilakukan di atas atau terhadap pesawat udara yang terdaftar di negaranya,
c. pesawat tempat terjadinya kejahatan mendarat di wilayahnya dan si pelaku kejahatan masih berada di dalam pesawat udara itu,
d. kejahatan itu dilakukan terhadap atau di atas pesawat udara yang disewa tanpa awaknya kepada penyewa tempat kedudukan usahanya, atau jika si penyewa tidak memiliki (kedudukan) tempat usaha seperti itu, tetapi ia tinggal di negara tersebut.
[277]Brownlie, op. cit., hal. 289.
[278]Oscar Scachter, International Law in Theory and Practice, Martinus Nijhoff Publisher, Dodrecht, hal. 250.
[281]Oppenheim - Lauterpacht, op. cit., hal. 327.
[283]Starke, op. cit., hal. 192. Adolf, op. cit., hal. 154-155.
[284] Lihat Barry R. Carter dan Philip R. Trimble, International Law, Little Brown & Co., Boston 1991, p. 560.
[285]R.R. Churchil dan A.V. Lowe, The Law of the Sea, sebagaimana dikutif oleh Adolf, op. cit., hal. 150.
[286]Lihat Starke, op. cit., hal. 203.
[288]Starke, loc. cit.
[289]Adolf, op. cit., hal. 151-152.
[291]Brownlie, op. cit., hal.303.
[292] Starke, op. cit., hal. 211.Schacter, op. cit., hal. 254.
[294]Schachter, loc. cit.
[295]Brownlie, loc. cit.
[296]Lihat Schachter, loc. cit.
[297]Adolf, op. cit., hal. 164.
[299]Schachter, loc. cit.
[300]Brownlie, op. cit., hal. 304-305.
[301]Starke, op. cit., hal. 212-213.
[302]Brownlie, op. cit., hal. 305.
[303]Starke, op. cit., hal. 214.
Langganan:
Postingan (Atom)